Pandemi Covid-19 memaksa kita membangun kolaborasi dengan banyak pihak. Pandemi membuat kita saling tergantung dan perlu menghadapinya bersama-sama.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Virus SARS-CoV-2 dapat menginfeksi dan menjadikan siapa pun sebagai pengantarnya, apakah kaya, miskin, berpendidikan tinggi ataupun rendah, apa pun pekerjaannya, usianya, jenis kelaminnya, sukunya, agamanya, ataupun rasnya.
Negara kaya, negara berkembang, negara miskin, semua terdampak. Covid-19 memengaruhi seisi planet, dan seluruh manusia di planet pun perlu bersama-sama mengatasinya. Slogan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangat jelas: No one safe until every one safe.
Menghadapi situasi yang berat ini, pendekatan kolaborasi terbukti efektif. Vaksin korona menjadi vaksin tercepat yang ditemukan sepanjang sejarah manusia. Setelah China pada awal Januari 2020 membagikan urutan kode genetik SARS-CoV-2, seluruh ahli di dunia mempelajarinya.
Presiden Joko Widodo, saat membuka Kompas100 CEO Forum, pekan lalu, mengajak para pemimpin perusahaan merancang sebuah kolaborasi untuk mengakselerasi pemulihan kesehatan dan ekonomi Indonesia (Kompas.id, 21/01/2021).
Kata kolaborasi mudah diucapkan, tetapi sesungguhnya sangat sulit dipraktikkan. Kolaborasi adalah sebuah proses bekerja sama menyelesaikan masalah yang kompleks secara bersama-sama untuk menuju visi bersama.
Meskipun demikian, Anne Loehr, penulis buku pengembangan kepemimpinan dan manajemen, dalam artikelnya di The Huffington Post, menegaskan bahwa kolaborasi bukanlah sekadar bekerja bersama-sama, saling menyukai, saling mengakomodasi, saling mengalah, ataupun rukun tanpa menantang satu sama lain, dan berkompromi mengatasi perbedaan.
Kata kolaborasi mudah diucapkan, tetapi sesungguhnya sangat sulit dipraktikkan.
Kolaborasi sesungguhnya sebuah proses di mana orang terhubung dan bekerja sama secara interaktif, saling bergantung, bersatu, kooperatif, dan sinergis untuk mencapai tujuan bersama.
Indonesia sesungguhnya memiliki tradisi berkolaborasi. Budaya gotong royong sudah menjadi tradisi, bahkan sebelum negeri ini berdiri. Pendiri bangsa, Bung Karno, kerap mengingatkan arti gotong royong dalam pidato-pidatonya. ”Gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua,” seru Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945.
Tanpa kolaborasi, pandemi akan semakin lama teratasi.
Menjadi pertanyaan adalah sudah seberapa besar semangat berkolaborasi atau bergotong royong itu terbangun dalam menghadapi pandemi, baik itu di antara lembaga negara, dunia usaha, masyarakat, maupun antarketiganya? Rasa saling percaya perlu terus ditumbuhkan.
Perlu menjadi kesadaran bersama juga bahwa kita semua tidak akan selamat sebelum 275 juta penduduk di Nusantara bisa diselamatkan. Kolaborasi seluruh elemen bangsa menjadi harga mati. Tanpa kolaborasi, pandemi akan semakin lama teratasi. Kita hanya bisa menunggu giliran terinfeksi dan terus terjebak di jurang resesi.