Dunia Perangi Penolakan Vaksin Covid-19
Resistensi masyarakat pada vaksin Covid-19 terjadi di hampir semua negara. Pemerintah perlu merumuskan cara berkomunikasi yang bernas kepada publik agar faktor psikologis dan ideologis tak menjadi kendala vaksinasi
Saat ini, hampir setiap negara mulai menjajaki program vaksinasi demi memerangi penyebaran virus Covid-19. Sayangnya, upaya ini masih terkendala oleh keraguan dan penolakan dari sebagian masyarakat.
Studi membuktikan, faktor psikologis dan emosional memengaruhi sikap resistensi. Tak ayal, dibutuhkan perumusan strategi komunikasi yang ampuh demi meyakinkan masyarakat untuk mau divaksinasi.
Nyatanya, isu resistensi terhadap vaksinasi Covid-19 tak hanya menjadi persoalan negara dunia ketiga. Ironisnya, salah satu negara dengan penolakan vaksin yang tinggi adalah Perancis.
Negara kelahiran Louis Pasteur, salah satu pionir vaksin yang menciptakan vaksin Rabies, ini justru menjadi salah satu negara dengan tingkat penolakan vaksin yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara satu kawasannya.
Meskipun sempat mengalami perbaikan dari bulan Oktober-November 2020, hanya 40 persen dari masyarakat Perancis yang mengaku bersedia untuk diberikan vaksin Covid-19.
Sementara itu, hasil temuan survei dari Institut Francais d’Opinion Publique (IFOP) pada awal Januari 2021 menunjukkan, kepercayaan masyarakat terhadap vaksin cenderung menguat di angka 54 persen.
Namun, angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah negara Eropa lainnya. Di Inggris, jajak pendapat serupa menunjukkan, penerimaan vaksin Covid-19 di negara tersebut berada di kisaran 77 persen. Selain Inggris, masyarakat Jerman juga cukup menerima kehadiran vaksin Covid-19 dengan tingkat penerimaan sebesar 65 persen.
Sedikit lebih kecil di angka 62 persen, sebagian besar masyarakat di Italia dan Spanyol juga cukup percaya dengan keampuhan dan keamanan vaksin Covid-19 yang kini telah tersedia.
Variabel penolakan
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan beberapa variabel memiliki korelasi dengan sikap resisten terhadap vaksin. Variabel pertama yang berpengaruh dengan tingkat penerimaan vaksin ialah golongan umur.
Di Perancis, menurut temuan Public Health France pada Desember tahun lalu, golongan muda justru jauh lebih resisten ketimbang para golongan tua. Studi tersebut menunjukkan, tak sampai sepertiga masyarakat kategori umur 18-49 tahun mau divaksin. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan vaksin di kategori umur di atas 65 tahun yang berada di kisaran 61 persen.
Temuan serupa tampak dari hasil studi yang dilakukan oleh Jamie Murphy dkk dalam studi bertajuk ”Psychological characteristics associated with COVID-19 vaccine hesitancy and resistance in Ireland and the United Kingdom” yang dimuat dalam jurnal Nature.
Menurut studi yang dilakukan di Inggris ini, golongan umur 18-24 tahun memiliki tingkat penolakan tujuh kali lipat lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berada dalam golongan kategori umur di atas 65 tahun. Fenomena ini juga terjadi di Irlandia yang sebagian besar dari masyarakat yang menolak berusia di antara 35 tahun dan 44 tahun.
Selain umur, tampak juga perbedaan tingkat penolakan jika dilihat dari segi tingkatan pendapatan. Menurut studi di atas ditemukan bahwa sebagian besar dari mereka yang menyatakan tidak bersedia untuk diberikan vaksin Covid-19 termasuk ke dalam kategori tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang mau menerima vaksin Covid-19.
Fenomena ini terjadi baik di Irlandia maupun di Inggris. Selanjutnya, khususnya di Inggris, sebagian besar dari mereka yang menolak untuk mendapat vaksinasi Covid-19 ini lebih banyak yang tinggal di wilayah pinggiran kota (Sub-urban).
Tak kalah menarik, jenis kelamin juga nyatanya menjadi variabel yang cukup berkorelasi dengan tingkat penerimaan vaksin Covid-19. Menurut studi dari Muphy di atas, perempuan ternyata cenderung lebih resisten untuk menerima vaksin Covid-19, baik di Inggris maupun di Irlandia.
Fenomena ini pun tak hanya terjadi di kedua negara tersebut. Menurut jajak pendapat dari Public Health France pada Desember lalu, hanya 29 persen dari warga perempuan yang mau divaksinasi. Angka tersebut jauh di bawah angka penerimaan vaksin di tengah masyarakat pria, yang lebih dari 53 persen menyatakan bersedia untuk menerima vaksinasi Covid-19.
Faktor psikologis, emosional, dan ideologis
Memahami penolakan atas vaksin Covid-19 tentu tak dapat dilakukan dengan hanya memandangi angka statistik demografi. Pemerintah perlu memahami alam pikiran masyarakatnya untuk mengetahui musabab rendahnya kepercayaan publik terhadap vaksin yang sebetulnya bisa menjadi juru selamat. Maka, melihat faktor psikologis dan emosional dari masyarakat menjadi penting dalam hal ini.
Tak hanya vaksin Covid-19, penolakan terhadap vaksin secara umum sebetulnya bukanlah hal yang baru. Menurut Wen-Ying Sylvia Chou dkk., dalam studinya yang bertajuk ”Considering Emotion in Covid-19 Vaccine Communication: Addressing Vaccine Hesitancy and Fostering Vaccine Confidence”, sebelum masa pandemi Covid-19 pun telah ada kelompok masyarakat yang resisten terhadap vaksin.
Utamanya lewat media sosial, kelompok anti-vaksinasi ini menggalang massa dengan narasi teori konspirasi, menabur kebingungan dan menyebarkan berita bohong terkait dampak buruk vaksinasi. Tak hanya itu, mereka juga mengaitkan vaksinasi dengan isu pelanggaran kebebasan sipil.
Sayangnya, argumentasi golongan tersebut lebih banyak didasarkan kepada emosi dan kemarahan kepada pemerintah ketimbang data dan fakta kesehatan. Tak ayal, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun menjadi krusial dalam hal penerimaan vaksin.
Ketidakpercayaan terhadap pemerintah ini diperparah juga dengan ketidakpercayaan publik terhadap tenaga kesehatan, ilmuwan, dan negara. Sebagian besar dari masyarakat yang tidak mau divaksin di Inggris dan Irlandia memiliki kepercayaan yang rendah terhadap ketiga pihak tersebut.
Diperlukan upaya yang ekstra bagi pemerintah untuk dapat meyakinkan masyarakat karena masifnya disinformasi yang bertebaran di sosial media. Menjamurnya informasi yang menyesatkan ini menjadi persoalan pelik. Hal ini mengingat rendahnya konsumsi media konvensional serta tingginya kepercayaan para penolak vaksin terhadap media sosial sebagai sumber berita utama mereka.
Ujungnya, situasi ini bisa menjadi riskan untuk dipolitisasi oleh pihak oposisi sehingga pada akhirnya diskursus tentang vaksinasi bukan lagi soal kesehatan publik, melainkan komoditas politik.
Belum lagi perkara penolakan vaksin ini juga berkelindan dengan aspek ideologis, seperti politik serta keyakinan agama. Kasus penolakan vaksin di Amerika Serikat, misalnya, di mana para pemilih Partai Republikan, yang lebih cenderung konservatif, dua kali lipat lebih enggan untuk menerima vaksinasi Covid-19 dibandingkan dengan mereka yang condong ke Partai Demokrat.
Konservatisme ini tidak hanya terjadi dalam hal politik, tetapi juga agama di mana sebagian besar dari warga yang menolak vaksinasi di Inggris dan Irlandia juga cenderung konservatif dalam hal beragama.
Komunikasi bernas jadi kunci
Maka dari itu, persoalan komunikasi vaksin menjadi kunci keberhasilan vaksinasi di tiap negara saat ini. Melihat hasil studi sebelumnya, publik perlu diyakinkan dengan cara komunikasi yang bernas. Strategi ini musti dilakukan dengan narasi yang berdasarkan dengan bukti nyata, bukan hanya pernyataan saintifik tentang vaksin.
Tentu, cara komunikasi ini juga baiknya dilakukan oleh Indonesia yang juga masih menghadapi persoalan penolakan vaksin Covid-19. Setali tiga uang dengan negara-negara di Eropa, persoalan penolakan vaksin di Indonesia pun tak sepenuhnya berbeda.
Menurut hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan pada Januari 2021, selain perbedaan dalam hal umur di mana resistensi justru lebih banyak ditunjukkan oleh masyarakat yang termasuk ke dalam golongan umur tua, penolakan banyak diserukan oleh golongan perempuan dan mereka yang termasuk ke dalam kelas ekonomi bawah.
Tidak hanya itu, utamanya di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat, penolakan juga diwarnai dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Dalam hal politik, ada indikasi di mana resistensi vaksinasi lebih banyak diekspresikan oleh mereka yang memang sejak awal memilih berseberangan sikap dan pilihan politik pada pemerintahan saat ini. (LITBANG KOMPAS)