Partai Komunis Vietnam Mencari Pemimpin Baru
Partai Komunis Vietnam akan memulai kongres ke-13, Senin (25/1/2021). Salah satu agenda utama adalah mencari pemimpin baru negara yang bisa mengawal visi dan misi Vietnam selama lima tahun mendatang.
HANOI, SENIN — Sebanyak 1.580 orang perwakilan Partai Komunis Vietnam dari seluruh wilayah berkumpul di Ibu Kota Hanoi untuk melaksanakan kongres ke-13 sejak partai itu didirikan 1930. Misi utama kongres adalah untuk mencari dan memilih pemimpin baru Vietnam serta membentuk kebijakan selama lima tahun ke depan.
Selama sembilan hari, mulai Senin (25/1) hingga pekan pertama Februari 2021, para anggota partai akan melakukan pertemuan yang sebagian besar merupakan pertemuan tertutup, untuk memilih tim kepemimpinan baru Vietnam yang bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan ekonomi yang sedang berlangsung dan keabsahan aturan partai.
Rakyat Vietnam telah menyaksikan kinerja perekonomiannya melampaui sebagian besar Asia dalam setahun terakhir, meski resesi ekonomi melanda dunia. Pemerintah Vietnam juga dinilai mampu mencegah pandemi Covid-19 berkat langkah-langkah karantina yang ketat, pengujian dan pelacakan: telah melaporkan lebih dari 1.500 infeksi Covid-19 dan total 35 kematian, jauh lebih sedikit dari kebanyakan negara lain.
Kepempimpinan Nguyen Phu Trong, yang juga merupakan Sekretaris Jenderal CPV, dan Nguyen Xuan Phuc, anggota Politibiro CPV, harus diakui, berhasil ”membuat” Vietnam bernapas lebih lega dalam hal laju infeksi. Bahkan, sejumlah negara siap-siap menggelontorkan investasi ke Vietnam karena negara ini keberhasilannya menangani pandemi.
Baca juga: Negara Sukses Kendalikan Pandemi, Ekonomi Vietnam Siap-siap Melejit
Vietnam adalah satu dari lima negara yang masih menerapkan ideologi komunis selain China, Kua, Laos dan Korea Utara. Pemerintah Vietnam, yang berambisi menjadi negara maju, mengincar pertumbuhan produk domestik bruto sebesar 7,0 persen selama lima tahun ke depan.
Akan tetapi, kepemimpinan baru akan dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan hubungan dengan China dan Amerika Serikat, di mana Vietnam telah menjadi mitra strategis yang penting.
Dikutip dari laman Kantor Berita Vietnam, Vo Van Thuong, anggota Politbiro, anggota tetap Sekretariat Komite Sentral Partai dan Kepala Komisi Informasi dan Pendidikan Komite, mengatakan, agenda kongres adalah menetapkan visi untuk pertengahan abad ke-21 yang bertujuan untuk mengubah Vietnam menjadi negara maju yang berorientasi sosialis.
Sejalan dengan visi itu, menurut Thuong, Vietnam berambisi menjadi negara berkembang dengan industri yang berorientasi pada modernitas dan melampaui tingkat pendapatan menengah ke bawah pada 2025; negara berkembang, dengan industri modern dan pendapatan menengah-tinggi pada 2030; dan negara maju dengan pendapatan tinggi pada 2045.
Baca juga: Vietnam yang Terus Melaju
Kongres juga akan meninjau implementasi resolusi yang diadopsi pada Kongres Partai Nasional ke-12 dan dokumen lain seperti platform konstruksi nasional selama transisi ke sosialisme dan strategi pembangunan sosial-ekonomi untuk 2011-2020, dan penilaian perpanjangan 35 tahunan dan 30 tahun penerapan Platform 1991.
Menurut Thuong, selama lima tahun terakhir, seluruh Partai, rakyat dan tentara telah mengedepankan solidaritas dan melakukan upaya untuk menyelesaikan target dan tugas yang ditetapkan, menciptakan premis untuk masa jabatan berikutnya.
Empat pilar
Dalam bulan-bulan menjelang pertemuan, terjadi persaingan yang ketat untuk memperebutkan sejumlah jabatan teratas. Vietnam secara resmi memiliki ”empat pilar” kepemimpinan politik negara, yaitu Sekretaris Jenderal Partai sekaligus pemimpin tertinggi partai, presiden, perdana menteri dan ketua majelis nasional. Namun, setelah Presiden Tran Dai Quang wafat pada September 2018, empat pilar kekuasaan yang menopang struktur negara berubah menjadi hanya tiga pilar ketika Sekjen Partai Komunis Vietnam (CPV) Nguyen Phu Trong ditunjuk oleh Majelis Nasional untuk mengisi jabatan presiden.
Le Hong Hiep, peneliti pada ISEAS-Yusuf Ishak Institue, dalam tulisannya ”Meninjau Transisi Kepemimpinan Vietnam 2021” di laman lembaga itu pada Mei 2020 menyebutkan, sejumlah pemimpin Politbiro, semacam lembaga pengambil kebijakan di CPV, mengusulkan agar empat pilar itu dirampingkan menjadi tiga pilar, seperti yang dijalankan pasca-kematian Presiden Trong hingga sekarang. Tapi, di sisi lain masih menginginkan empat pilar menjadi format pembagian kekuasaan.
Baca juga: Vietnam Memilih Empat Pilar Kepemimpinan
Presiden Trong sendiri mengisyaratkan bahwa dirinya tidak berminat untuk menyatukan lembaga partai dengan lembaga kepresidenan. Selama memimpin, sejak Desember 2018, dirinya tidak menyatukan kedua kantor, yaitu kantor kepresidenan dan kantor sekretariat partai.
Kandidat utama untuk posisi baru yang akan ditentukan di kongres semuanya dikenal luas di lingkaran politik Hanoi, tetapi secara resmi dinyatakan sangat rahasia pada Desember untuk mencegah perdebatan yang berpotensi kritis.
Meski rahasia, hampir dipastikan Presiden Trong yang kini berusia 76 tahun, tidak akan menjabat lagi, baik di pemerintahan maupun di Politbiro. Sementara PM Nguyen Xuan Puc, yang berusia 66 tahun, dikabarkan masih berambisi untuk duduk di pemerintahan.
Le, di dalam tulisannya menyebutkan peraturan lembaga Politbiro No 35-CT/TW membatasi masa jabatan para petinggi partai di lembaga itu hingga 65 tahun. Artinya PM Phuc hampir pasti akan lengser dari jabatannya.
Tidak hanya Presiden Trong dan PM Phuc yang sudah memasuki usia pensiun berdasarkan aturan itu. Akan tetapi, masih ada enam hingga tujuh orang lainnya yang akan lengser karena usia. Mereka akan digantikan oleh enam atau tujuh orang baru, dari sekitar 1.500, anggota CPV yang akan berkongres sepekan mendatang.
Selain menggantikan tujuh anggota Politbiro, kongres juga hampir pasti akan mencari sosok pengganti presiden dan perdana menteri. Vietnam membutuhkan orang yang bisa membawa negara sosialis ini menuju era industrialisasi modern pada 2025 di tengah upaya pemulihan pandemi lokal, regional, dan global yang saling bertautan satu sama lain.
Hak asasi manusia
Seperti halnya sebuah negara komunis, Pemerintah Vietnam tidak menginginkan adanya ”penantang” atau oposisi, seperti layaknya di sebuah negara demokrasi. Nguyen Khac Giang, analis yang tinggal di Selandia Baru, dikutip dari The Economist, mengatakan, rakyat Vietnam, dalam beberapa dekade terakhir, telah merasakan tingkat pendidikan yang lebih baik dan akses internet yang cepat yang memungkinkan mereka berkenalan dengan ”nilai-nilai” baru yang universal, seperti demokrasi dan hak asasi manusia. Tapi, bukan berarti kebebasan berbicara menjadi sebuah hal yang bisa diterima oleh pemerintah.
Selama lima tahun terakhir, pemerintah telah menangkap 280 orang karena dinilai anti terhadap negara dan pemerintah. Terakhir, pada Selasa (21/1), pengadilan memenjarakan tiga jurnalis dan blogger pro-demokrasi, yaitu Pham Chi Dung (anggota pendiri dan Presiden IJAV atau Asosiasi Jurnalis Independen Vietnam) dengan hukuman 15 tahun penjara; seorang veteran militer, Nguyen Tuong Thuy (69), dengan hukuman 11 tahun penjara; dan Lee Huu Minh Tuan yang dijatuhi hukuman 11 tahun penjara.
Baca juga: Vietnam Nikmati Pasar Bebas di Eropa
Radio Free Asia, gerai berita yang berbasis di AS, tempat Thuy menuliskan buah pikirannya, menyerukan pembebasannya segera. ”Hukuman keras terhadap Thuy dan dua jurnalis independen lainnya adalah serangan terang-terangan terhadap kebebasan dasar dan mengabaikan kebebasan berekspresi yang diabadikan dalam konstitusi Vietnam,” kata Presiden Radio Free Asia Stephen Yates.
Pemerintah meminta pers yang dikelola negara menghapus frasa ”masyarakat sipil” dan ”hak asasi manusia” dari halaman-halamannya. Bulan Oktober lalu, pemerintah mendapatkan janji dari Facebook untuk memenuhi 95 persen permintaannya untuk menghapus postingan ”berbahaya”.
Tindakan keras ini adalah tanda betapa khawatirnya partai tersebut tentang ketidakpuasan populer, kata Tuong Vu dari University of Oregon. Protes, pada dasarnya, ilegal di Vietnam. Pemerintah harus mengubah arah kebijakannya karena tekanan publik yang semakin masif.
Pada 2018, puluhan ribu orang Vietnam turun ke jalan memprotes undang-undang yang akan menciptakan tiga zona ekonomi khusus yang dapat disewa oleh perusahaan China hingga 99 tahun. Setelah bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa, pemerintah membatalkan skema tersebut. Antara 1995 dan 2018 pekerja pabrik di seluruh negeri mengorganisasi lebih dari 6.600 pemogokan, menurut Ben Kerkvliet dari Australian National University. Pemerintah mengubah beberapa undang-undang sebagai tanggapan atas beberapa tuntutan pekerja. (AFP/REUTERS)