Pemerintah dinilai perlu memperkuat sanksi atas ketidakpatuhan perusahaan dalam mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BP Jamsostek. Banyak program bantuan dan jaminan terkendala karena keterbatasan kepesertaan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerataan program bantuan dan jaminan sosial bagi pekerja terkendala cakupan kepesertaan BP Jamsostek yang masih terbatas. Pemerintah mesti memperjelas dan memperkuat sanksi terhadap ketidakpatuhan perusahaan mengingat kasus pemutusan hubungan kerja dan merumahkan karyawan terus meningkat selama pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, akibat pandemi Covid-19, jumlah peserta BP Jamsostek turun 2,69 juta orang, dari 54,45 juta orang pada 2019 menjadi 51,75 juta orang. Cakupan kepesertaan turun baik untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Pensiun, maupun Jaminan Hari Tua akibat banyaknya perusahaan yang terdampak pandemi.
Sebagai perbandingan, total jumlah penduduk Indonesia yang bekerja per Agustus 2020 ialah 128,45 juta orang, dengan jumlah pekerja formal 50,77 juta orang dan pekerja informal 77,68 juta orang. Dengan demikian, kepesertaan BP Jamsostek saat ini baru mencakup sekitar 40 persen dari total penduduk bekerja.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Minggu (24/1/2021), mengatakan, persoalan klasik kepesertaan jaminan sosial semakin krusial diselesaikan di tengah pandemi. Banyak program pemerintah untuk membantu pekerja terdampak Covid-19 yang berpatokan pada data BP Jamsostek, seperti bantuan subsidi upah dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang akan diluncurkan pemerintah.
Isu kepesertaan tidak bisa terus-menerus menjadi polemik tanpa solusi konkret dan terkoordinasi. ”Ketidakpatuhan pemberi kerja untuk menjalankan kewajibannya mendaftarkan pekerja ke BP Jamsostek harus segera dicarikan solusinya mengingat hal itu merugikan pekerja dan berkaitan dengan berbagai program penting pemerintah ke depan,” kata Timboel saat dihubungi di Jakarta.
Tata cara pengenaan sanksi kepada perusahaan yang lalai dari kewajiban sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Akan tetapi, pada penerapannya, pengenaan sanksi itu belum tegas. ”(Pengenaan sanksi) ini harus dipertegas lagi sehingga seluruh pemberi kerja mengikutsertakan pekerjanya di BP Jamsostek. Tentunya penerapan sanksi ini juga melibatkan kementerian dan lembaga lain,” katanya.
Di sisi lain, pekerja juga harus diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai peserta jaminan sosial jika perusahaannya abai. Selama ini, faktanya, pekerja yang belum didaftarkan ke BP Jamsostek tidak bisa mendaftarkan diri sendiri. Padahal, hal ini sebenarnya sudah diatur juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-IX/2011 dan Putusan MK Nomor 82/PUU-X/2012.
Dalam putusan itu, MK membuat norma baru pada Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional bahwa pekerja berhak mendaftarkan diri sebagai peserta BP Jamsostek jika perusahaan atau pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya ke program-program jaminan sosial ketenagakerjaan.
”BP Jamsostek seharusnya membuka desk khusus untuk menerima pendaftaran dari pekerja. Pendaftaran peserta harus diterima dan BP Jamsostek berwenang untuk menagih pembayaran iuran dari peserta dan pemberi kerja,” ujarnya.
Sedang dievaluasi
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, pemerintah saat ini tengah mengevaluasi program jaminan sosial ketenagakerjaan. Salah satu isu krusial yang menjadi sorotan pemerintah adalah kepesertaan di BP Jamsostek yang menurun dan banyaknya perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban karena terdampak Covid-19.
”Kami telah melakukan kajian program reformasi jaminan sosial. Hasilnya, ada banyak masalah hukum dalam regulasi sistem jaminan sosial dan badan penyelenggara,” ujar Ida.
Bukan hanya isu mengenai kepesertaan pekerja formal, melainkan juga cakupan kepesertaan yang perlu diperluas untuk peserta bukan penerima upah (BPU) yang umumnya terdiri dari pekerja informal, pekerja kontrak (PKWT), pekerja harian lepas, atau pekerja borongan. ”Memang perlu ada pengaturan yang lebih fleksibel dan khusus untuk pekerja kontrak dan harian lepas,” katanya.
Ida menambahkan, pandemi juga menyadarkan bahwa kasus pekerja yang dirumahkan lebih banyak daripada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Banyak perusahaan menghindari PHK karena biaya untuk memberikan pesangon lebih besar. Kementerian Ketenagakerjaan pun mengusulkan agar ada pengembangan program untuk pekerja yang dirumahkan itu.
”Dalam kondisi sekarang ini, kita tahu ada banyak sekali pekerja yang dirumahkan, sementara mereka itu belum terlindungi dalam program BP Jamsostek jika terjadi apa-apa,” kata Ida.
Saat ini, pemerintah menyelesaikan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
JKP diberikan kepada pekerja yang di-PHK karena penggabungan atau efisiensi perubahan status kepemilikan perusahaan, karena perusahaan rugi, tutup, dan pailit, atau jika pengusaha melakukan kesalahan terhadap pekerja. Pekerja kontrak (PKWT), pekerja yang pensiun, meninggal dunia, dan cacat total dikecualikan dari cakupan kepesertaan JKP.
Sejauh ini, dalam draf desain sistem JKP, peserta yang tergabung ialah peserta penerima upah yang sudah terdaftar selama 24 bulan dengan masa iuran 12 bulan dan sudah membayar iuran berturut-turut selama enam bulan.
Akan tetapi, substansi RPP itu masih bisa berubah. ”Dalam waktu dekat kami akan membahas draf RPP tentang JKP ini bersama tripartit (pemerintah, pengusaha, dan pekerja). Ini masih draf karena kami masih dalam proses penyusunan RPP,” kata Ida.