Pengawasan Masih Lemah, Pam Swakarsa Berpotensi Menyimpang
›
Pengawasan Masih Lemah, Pam...
Iklan
Pengawasan Masih Lemah, Pam Swakarsa Berpotensi Menyimpang
Rencana menghidupkan kembali pam swakarsa membangkitkan memori kelam atas kekerasan yang dilakukan pam swakarsa saat reformasi 1998. Apalagi, pengawasan dan pembinaan oleh Polri terhadap pam swakarsa, diragukan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR/DIAN DEWI PURNAMASARI/RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Rencana untuk menghidupkan kembali pengamanan atau pam swakarsa membangkitkan memori kelam sebagian publik atas kekerasan yang dilakukan oleh pam swakarsa saat reformasi 1998. Apalagi, pengawasan dan pembinaan oleh Polri terhadap pam swakarsa diragukan. Jika keraguan itu belum bisa dijawab, kehadiran pam swakarsa justru bisa lebih keras dari polisi. Bukannya menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat, tetapi justru sebaliknya.
Saat uji kelayakan dan kepatutan untuk menjadi Kapolri di Komisi III DPR, beberapa waktu lalu, Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan rencananya untuk menghidupkan pam swakarsa guna memelihara keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat.
Soal pam swakarsa ini sebenarnya diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Kemudian diatur pula dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI (Perkap) Nomor 4/2020 tentang Pengamanan Swakarsa yang diteken oleh Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis, Agustus lalu.
Pam swakarsa dalam perkap itu terdiri dari satpam, satuan keamanan lingkungan, dan kelompok yang berasal dari pranata sosial/kearifan lokal. Kelompok kearifan lokal ini seperti pecalang di Bali, kelompok sadar keamanan dan ketertiban masyarakat, siswa bhayangkara, dan mahasiswa bhayangkara.
Meski demikian, Wakil Koordinator II Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar khawatir pembentukan pam swakarsa, khususnya yang berasal dari pranata sosial/kearifan lokal, justru membuat masyarakat tidak aman dan nyaman. Salah satunya karena ia ragu polisi akan bisa mengawasinya.
”Beban pengawasan internal Polri saja belum selesai, kini masih ditambah dengan pam swakarsa,” ujarnya, Minggu (24/1/2021).
Selain itu, bentuk pembinaan Polri terhadap pam swakarsa tidak jelas. Hal itu, menurut dia, tidak dijelaskan dalam Perkap No 4/2020. Tanpa pembinaan dan pengawasan yang jelas, pam swakarsa justru bisa mengusik rasa aman publik. Apalagi, tak ada jaminan mereka bakal bekerja profesional sesuai dengan tugas-tugas yang diamanatkan.
Adapun Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, mengingatkan, tidak ada kalimat di UU Polri yang memberikan wewenang kepada polisi untuk membentuk pam swakarsa. Artinya, pembentukan pam swakarsa hanya bisa terjadi apabila ada kemauan dari masyarakat. Namun yang terlihat dalam Perkap No 4/2020, justru diatur bahwa polisi dapat merekrut anggota pam swakarsa. Anggota pam swakarsa itu bahkan akan menggunakan seragam berwarna cokelat mirip dengan seragam Polri.
Selain itu, menurut Usman, Listyo seharusnya memerhatikan unsur historis pam swakarsa. Ada trauma masa lalu masyarakat dengan keberadaan pam swakarsa yang menjadi alat negara untuk melawan suara kritis masyarakat. Luka masa lalu itu seharusnya dijadikan pelajaran untuk membuat kebijakan dengan lebih hati-hati.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Mudzakkir menambahkan, kesan publik terhadap pam swakarsa negatif dan lekat dengan kekerasan. Tahun 1998, pam swakarsa bahkan pernah dibentuk untuk menekan aksi mahasiswa yang menyuarakan reformasi. Tindak kekerasan ini yang dikhawatirkan terulang ketika pam swakarsa dihidupkan kembali.
”Gaya polisi seperti sipil murni, lalu ada pam swakarsa yang lebih keras. Maka, menjadi bahaya karena rasa takut masyarakat berpindah dari yang mulanya kepada polisi menjadi takut kepada pam swakarsa,” kata Mudzakkir.
Perkuat siskamling
Maka, menurut dia, jika Polri ingin meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan keamanan dan ketertiban, akan lebih baik jika sistem keamanan lingkungan (siskamling) diperkuat. Tidak perlu dengan menghidupkan kembali pam swakarsa.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, juga mengingatkan pentingnya pengawasan dari Polri jika ingin menghidupkan pam swakarsa. Begitu pula peningkatan kapasitas dan kapabilitas. Ini guna memastikan agar pam swakarsa betul-betul menghadirkan rasa aman di masyarakat.
Pengawasan, kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Achmad Dimyati Natakusumah, harus dimulai sejak perekrutan. ”Jangan sampai orang-orang yang residivis malah direkrut. Itu salah besar,” ucapnya.
Bukan preman
Poengky Indarti, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), meyakini, pam swakarsa yang menurut rencana dihidupkan Listyo bukan pam swakarsa yang dibentuk pada 1998. Pam swakarsa yang dibentuk diyakininya akan mengacu pada UU Polri. Karena itu, kehadiran pam swakarsa dapat menjadi solusi di tengah keterbatasan personel Polri untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.
”Berdasarkan Pasal 3 UU Polri adalah satpam, pengamanan seperti di mal, siskamling, dan local wisdom security, seperti pecalang. Praktik tersebut sudah dijalankan sejak lama, bukan seperti preman yang diorganisasi di tahun 1998,” kata Poengky.
Pengamat kepolisian Bekto Suprapto berpandangan, sejak 1980, polisi lebih berorientasi pada pembinaan masyarakat. Kemudian, melalui identifikasi bersama ditemukan bahwa kejahatan besar selalu berawal dari pelanggaran kecil yang tidak segera diatasi. Di situlah kemudian dibentuk kemitraan antara polisi dan masyarakat.
”Pengamanan swakarsa sudah memiliki dasar hukum, berlaku di seluruh dunia, meski sebutannya bervariasi. Di Indonesia, praktik pengamanan swakarsa sudah ada sejak Republik Indonesia belum lahir,” ujar Bekto.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono menyebutkan, pam swakarsa yang ingin dihidupkan kembali oleh Listyo berbeda dengan pam swakarsa pada 1998. ”Kami memahami, kita semua punya trauma dengan kasus ’98, pam swakarsa seperti dahulu memang dipergunakan kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingannya,” kata Rusdi, seperti dikutip dari Kompas.com.
Namun, yang dimaksud dengan pam swakarsa oleh Listyo adalah bagaimana masyarakat memiliki keinginan dan kemauan sendiri untuk mengamankan lingkungannya.