KPI memiliki otoritas untuk memanggil seluruh lembaga penyiaran setiap saat. Jangan sampai peran-peran sentral siaran kebencanaan justru diambil oleh platform-platform media lain, seperti di media sosial.
Oleh
FATHORRAHMAN HASBUL
·6 menit baca
Atmosfer bencana nasional seperti datang bertubi-tubi. Ia tidak sebatas menjadi sebuah petaka kemanusiaan yang getir, tetapi juga menjadi subyek yang memikat sebuah diskursus dalam percakapan publik dan agenda media, termasuk secara khusus media penyiaran. Ketika media sosial dianggap rentan membawa misi empati, juga kerap diragukan terkait soal keabsahan, media penyiaran lagi-lagi diharapkan menjadi jalan paling strategis dalam menyuguhkan siaran-siaran kebencanaan.
Peristiwa bencana, seperti pandemi Covid-19; longsor di Sumedang, Jawa Barat; jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182; banjir besar di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara; gempa di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat; serta banjir bandang di Puncak, Bogor. Jabar; diekspos dengan begitu rupa oleh lembaga penyiaran televisi dan radio.
Liputanya masih dengan gaya lama, cenderung melihat bencana sebagai sebuah perfect media event. Beberapa nilai berita di antaranya masih bergantung pada proximity, magnitude, unusualness, dan sejenisnya yang berujung pada potensi kepanikan dan kengerian (Wahyuni, 2008).
Sejak awal, kecenderungan beberapa siaran perihal bencana selalu bergumul dalam kepentingan-kepentingan komersial. Lebih kuat pada pengisahan ”drama” tentang tragedi bencana daripada proses peliputan yang memungkinkan adanya harapan yang dapat menumbuhkan optimisme dan pengetahuan dalam sudut pandang warga.
Anomali lembaga penyiaran
Corak siaran kebencanaan sejatinya membutuhkan transformasi. Media penyiaran perlu menjadi penambal dari kemungkinan rumor dan hoaks yang berkembang di luar lanskap media penyiaran itu sendiri. Ketika media sosial riuh dengan berita kebencanaan yang semakin menyayat nurani dan emosi, justru di sinilah peran lembaga penyiaran tampil sebaliknya menjadi kutub simpati dan jalan pulang bagi harapan-harapan panjang para korban.
Transformasi yang lain adalah menyelempangkan model pemberitaan yang berorientasi pada peristiwa kebencanaan, menjadi pengetahuan tentang kebencanaan. Mitigasi kebencanaan baik melalui iklan layanan masyarakat dan kedalaman liputan adalah dua kunci yang sangat penting.
Jika sebuah peristiwa kebencanaan hanya berdiaspora di area seputar informasi jumlah korban, jumlah kerusakan, dan kerugian; dalam kategori pengetahuan ia lebih universal. Ia menyasar ke persoalan prabencana, tanggap darurat, serta rehabilitasi dan recovery. Namun, siaran-siaran semacam ini nyaris absen, baru merasa perlu untuk dihajatkan ketika bencana sudah menerjang.
Sejauh ini, untuk memperoleh input dan preferensi yang mendalam soal isu-isu kebencanaan, beberapa warga masyarakat justru tidak memperoleh dari media penyiaran, tetapi platform-platform media lainnya. Padahal, lembaga penyiaran menggunakan frekuensi publik, yang seharusnya menjadi jalan substitusi bagi masalah-masalah krusial publik.
Dari waktu ke waktu, habitat beberapa lembaga penyiaran tetap tak berubah, selalu mendeterminasi siaran-siaran kebencanaan dengan kemuskilan-kemuskilan yang miskin rekognisi perihal kebencanaan yang lebih mendalam, menyeluruh, dan membangkitkan asa.
Beberapa lembaga penyiaran di negara-negara tertentu justru tampil trengginas untuk menstimulasi publik terkait isu-isu kebencanaan. Jepang, misalnya, ada Highasi Nippon Broadcasting (KHB), sebuah jaringan siaran Jepang yang berafiliasi dengan All-Nippon News Network dalam soal isu-isu bencana terutama terkait tsunami tahun 2011. Mereka secara konsisten menurunkan siaran perihal ekses tsunami Jepang selama lebih kurang tujuh tahun.
Beberapa media penyiaran yang juga menunjukkan sensitivitas tinggi adalah BBC Media Action yang mengakomodasi masyarakat Nepal dengan melakukan kolaborasi dengan hampir 200 radio untuk sebuah pemulihan gempa dahsyat pada tahun 2015 (Garg, 2020).
Untuk negara yang rentan bencana, seperti Indonesia, sebagaimana yang dilansir Bank Dunia dengan menempatkan Indonesia masuk sebagai satu dari 35 negara dengan tingkat ancaman risiko bencana alam tertinggi di dunia, seharusnya karakter dan kedudukan media penyiaran memiliki tempat yang khusus. Menjadi instrumen yang mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan kebencanaan yang amat genting. Minimal mampu meredam psikis warga baik yang terdampak langsung ataupun tidak.
Absennya KPI-KPID
Anomali siaran kebencanaan tidak bisa dilepaskan dari peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPID seluruh Indonesia. KPI memiliki posisi tawar untuk ”mengambil hati” lembaga penyiaran dalam mendorong siaran secara proporsional dan simpatik.
Melalui aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS), KPI dapat mendorong penyiaran lebih mengedepankan sebuah siaran timbang rasa. Bahkan, pasal mengenai kebencanan dalam P3SPS sudah eksplisit disebutkan dalam satu pasal, yakni Pasal 25, yang pada poin (a) media penyiaran wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya.
Poin ini sangat signifikan untuk ditafsirkan dan dibumikan secara lebih serius, daripada KPI hanya berpangku tangan menunggu aduan soal kemungkinan adanya siaran yang memuat gambar dan suara korban bencana dalam bentuk filler, bumper, ramp yang disiarkan berulang-ulang sebagaimana yang sering dilakukan selama ini.
Bencana telah menciptakan luka kemanusiaan yang menganga. Sementara lembaga penyiaran dan regulator penyiaran tak banyak memberikan sentuhan khusus. Pada tahun 2018, KPI pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor 515/K/KPI/31.2/10/2018 yang memuat sejumlah penekanan berupa larangan dan kewajiban lembaga penyiaran. Kini nyaris tak ada kebijakan apa pun soal kebencanaan dari KPI kecuali hanya sekadar imbauan-imbauan lisan di sejumlah media.
Kondisi yang sama juga terjadi pada hampir KPID di seluruh Indonesia. Dengan jumlah 34 KPID dan 7 komisioner setiap daerah, selayaknya sumber daya ini mampu menstimulasi siaran kebencanaan di daerah secara ekstensif yang mencakup prabencana, tanggap darurat, serta rehabilitasi dan recovery. Sejauh ini, KPID selalu ditempatkan sebagai penjaga gawang garis depan terkait literasi media, tetapi nyaris nihil yang secara spesifik mengkaji subjek kebencanaan secara serius.
Dimensi tema literasi yang digunakan lagi-lagi hanya berkutat pada persoalan sosialisasi televisi digital dan konten siaran seputar tayangan kekerasan, seksualitas, makian, mistik, dan sebagainya. Bahkan ketika musim bencana seperti sekarang pun tak ada program literasi media kebencanaan.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, sejak musim pandemi Covid-19 sulit ditemukan kegiatan KPID DIY yang berbicara pokok pikiran kebencanaan baik pada tataran mitigasi bencana nasional maupun daerah. Padahal, DIY merupakan salah satu daerah rawan bencana.
Ruang gerak KPI dan KPID sejatinya lebih akseleratif. Mereka memiliki mitra lembaga penyiaran swasta, publik, komunitas, dan berlangganan yang semuanya dapat mereka dudukkan dalam satu tarikan napas untuk berbicara sungguh-sungguh soal siaran kebencanaan.
Jika tidak bisa mengeluarkan surat edaran, KPI memiliki otoritas untuk memanggil seluruh lembaga penyiaran setiap saat. Jangan sampai peran-peran sentral siaran kebencanaan justru diambil alih oleh platform-platform media lain seperti layanan media over the top (OTT) di media sosial yang tak punya irisan pada penggunaan spektrum frekuensi radio dan beban anggaran bagi yang memonitornya.
Peran regulator penyiaran idealnya tidak sekadar memberikan imbauan dan mengorbitkan beberapa plakat atau pamflet—dengan logo lembaga—bertuliskan sebuah tajuk ”pray for” untuk kategori bencana tertentu. Sebab, andai hanya strategi semacam ini yang bisa dilakukan, artinya hari ini sedang terjadi sebuah peristiwa rumit; bukan sebatas tentang siaran bencana, melainkan terjadi bencana siaran yang sesungguhnya.
(Fathorrahman Hasbul Peneliti Media dan Komunikasi Politik; Alumnus Magister Ilmu Komunikasi UGM)