Dampak perubahan iklim dan kerusakan alam mewujud dalam beragam bencana hidrometeorologis, awal tahun ini. Perbaikan tata kelola lahan dan rencana pembangunan yang memperhitungkan risiko bencana menjadi krusial.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bencana silih berganti mendera Tanah Air pada awal 2021. Selain gempa di Sulawesi Barat dan erupsi sejumlah gunung, bencana hidrometeorologis juga mendominasi. Mulai dari Aceh hingga Papua, sebagian kawasan hulu longsor dan di hilir banjir. Ini menjadi peringatan akan pentingnya tata kelola lahan dan perencanaan pembangunan yang juga memperhitungkan risiko bencana.
Di Aceh, banjir pada awal tahun ini melanda Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Besar, Pidie, dan Langsa. Sebanyak 305 desa terendam dan 33.380 warga terdampak.
”Bencana hidrometeorologis semakin masif karena hujan ekstrem dan kondisi lingkungan yang buruk,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Ilyas, Senin (25/1/2021).
Sepanjang 2019, laju deforestasi hutan di Aceh mencapai 15.140 hektar atau setara dengan 14.000 kali lapangan sepak bola profesional. Sebagian besar kerusakan dipicu perambahan perkebunan dan pembalakan liar.
Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) juga memicu banjir di Aceh. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Krueng Aceh mencatat, dari 974 DAS dan sub-DAS di Aceh, sebanyak 20 DAS kondisinya rusak. DAS yang rusak di antaranya DAS Tamiang, Peureulak (Aceh Timur), Jambo Aye (Aceh Utara), Peusangan (Bireuen), Meureudu (Pidie Jaya), dan Panga (Aceh Jaya).
”Banjir sering terjadi di kawasan 20 DAS (yang rusak),” kata Kepala BPDAS Krueng Aceh Eko Nur Wijayanto.
Banjir terparah melanda Kalimantan Selatan. Tercatat 712.129 jiwa terdampak banjir, 113.420 jiwa di antaranya mengungsi. Sebanyak 24 orang tewas dan 3 orang hilang. Banjir juga melanda sebagian Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara.
Di Pulau Jawa, banjir merendam lumbung pertanian di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pekan lalu. Sedikitnya 5.287 hektar sawah terendam banjir, ratusan hektar di antaranya terancam puso. Banjir juga melanda Sidoarjo, Jawa Timur.
Hujan lebat kembali menyebabkan banjir dan longsor di beberapa lokasi di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (22/1/2021). Ini bencana hidrometeorologis kedua dalam sepekan setelah pada Sabtu (16/1/2021) terjadi longsor yang disebabkan hujan deras dan menewaskan enam orang.
Papua tak luput dari bencana hidrometeorologis. Banjir bandang dan longsor dipicu hujan deras terjadi di Kabupaten Paniai, Selasa (19/1/2021). Sebanyak 30 rumah rusak berat dan 45 rumah terendam lumpur. Sekitar 400 jiwa terdampak dalam bencana ini.
Longsor
Awal tahun ini juga diwarnai dua kejadian longsor di Jawa Barat yang cukup menonjol. Longsor akibat hujan deras terjadi di Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Sabtu (9/1/2021), menelan 40 korban tewas. Longsor dan banjir bandang juga terjadi di Cisarua, Bogor, Selasa (19/1/2021). Ratusan warga dievakuasi.
Dua kejadian itu memiliki kesamaan karakter. Berdasarkan laporan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), kedua lokasi bencana berada di lembah melengkung atau daerah tapal kuda dengan kemiringan lebih dari 45 derajat.
”Bentuk tapal kuda salah satu indikator yang menunjukkan area tangkapan hujan lokal. Jika tidak ada pohon besar yang berfungsi sebagai tangkapan air, tidak ada yang menahan terjadinya longsor,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Agus Budianto.
Longsor saat hujan juga terjadi di lubang tambang ilegal di Tanah Bumbu, Kalsel, Minggu malam. Sepuluh orang masih terperangkap di timbunan. Sementara longsor di bantaran Sungai Liliba, Kupang, Nusa Tenggara Timur, menewaskan dua warga.
Cuaca ekstrem yang menyebabkan hujan lebat dan bencana hidrometeorologis menandakan pemanasan global terus terjadi. Guna mengurangi dampak yang ditimbulkan, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia Mahawan Karuniasa menyarankan, setiap kebijakan tata ruang dan pengendalian pembangunan wilayah disesuaikan dengan potensi dampak perubahan iklim. Warga yang membangun permukiman di pinggir sungai, misalnya, harus berada pada jarak aman dari banjir alami.
Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi, menilai, pengendalian tata ruang sering terlambat saat bangunan sudah berdiri.
Menyikapi banjir besar Kalsel, Pemerintah Provinsi Kalsel akan meninjau kembali Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kalsel 2015-2035. ”Perda akan direvisi agar lebih memperkuat antisipasi dan penanganan bencana banjir ke depan,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kalsel Nurul Fajar Desira.
Pengamat kebencanaan dari Universitas Padjadjaran, Dicky Muslim, menyatakan, pemahaman mitigasi menjadi kunci menekan jatuhnya korban saat terjadi bencana. Dengan mengetahui karakter wilayahnya, penduduk menjadi lebih waspada jika terjadi kondisi ekstrem yang dapat berujung pada bencana alam.