Panti sosial atau tempat penampungan sementara untuk gelandangan belum membuat mereka nyaman. Ruang gerak mereka selama berada di sana terasa terbatas.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY / ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tempat penampungan sementara hingga panti sosial jadi momok bagi gelandangan. Satu sisi kebutuhan makan mereka terpenuhi selama berada di sana. Di sisi lain, mereka merasa terkungkung di sana karena tidak sebebas di jalanan.
Iswandi (65) sudah sepekan berada di GOR Tanah Abang setelah terjaring razia di Kwitang, Jakarta Pusat. Ia bersama sepuluh penghuni lain tengah menanti kepastian pulang atau masuk panti sosial. ”Sepi, yang lain sudah pada keluar. Saya belum, tidak tahu kenapa didiamkan saja. Kalau kaki tidak sakit, saya mau kerja bangunan atau kernet,” kata Iswandi, Selasa (26/1/2021).
Lansia asal Lampung ini kesulitan bekerja karena menderita diabetes melitus. Terdapat luka-luka di kedua kakinya sehingga sulit berdiri atau berjalan untuk waktu yang lama.
Penyakit itulah yang membuat ia menjadi gelandangan di Jakarta karena keluarga di Lampung tak sanggup mengurus. Istrinya bekerja sebagai pembantu rumah saja dan anaknya tukang ojek. ”Saya tidak ada rencana balik ke Lampung. Di sana juga bingung, saya mau ngapain. Saya mau kembali ke Kwitang saja tinggal di masjid,” ujarnya.
Setahun terakhir, mantan tukang bangunan itu tinggal di masjid area Kwitang. Di sana ia mendapatkan uluran tangan warga sekitar, menjaga parkir hingga mulung.
Saat ini ada sepuluh penyandang masalah kesejahteraan sosial di GOR Tanah Abang. Sebagian besar sudah dipindahkan ke panti sosial di Kedoya dan Cipayung. Salah satu di antara mereka adalah laki-laki berinisial R.
Beberapa hari lalu, R terjaring polisi karena dugaan tindak kriminal. Karena tidak bersalah, R yang menggelandang dibawa ke GOR Pasar Minggu. Ia ditampung sementara untuk menjalani tes usap Covid-19 dan diproses untuk ditampung di panti sosial. ”Teman bapak kemarin sudah dibawa ke panti sosial di Kedoya,” kata salah seorang petugas dinas sosial kepada MB (52), kenalan R.
GOR tersebut menampung 13 orang. Adapun sejak fasilitas itu dibuka pemerintah pada April 2020, sudah ada 1.009 penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang ditampung di sana. Seperti R, PMKS yang ditampung hanya akan tinggal beberapa hari. Mereka wajib menjalani tes usap Covid-19 terlebih dulu di puskesmas terdekat.
Selama ditampung di GOR, para PMKS akan dipertimbangkan apakah mereka bisa dipulangkan jika masih memiliki tempat tinggal atau keluarga yang mau menampung. Namun, kebanyakan dari mereka berujung ke panti sosial.
Momok
Panti sosial menjadi momok bagi mereka yang masih hidup di jalanan. Misalnya Heni (38) asal Kepulauan Bangka Belitung yang punya pengalaman buruk ketika masuk ke salah satu panti di Jakarta. Kejadian tahun 2014 masih membuatnya kesal.
”Di situ terkurung seperti penjara. Tidak bisa ke mana-mana. Anak saya sakit di dalam, tetapi sulit dapat perawatan. Saya marah tendang pintu dari tripleks sampai jebol,” ucapnya.
Firmansyah (50) alias Imang, tunawisma yang baru setahun hidup di Jakarta, khawatir masuk panti sosial. Ditemui di kawasan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, Imang yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar mengaku tidak mau jika harus hidup terikat di panti sosial.
”Saya pernah dengar aja, sih, soal panti sosial itu. Kalau saya ditawari, saya enggak mau. Walaupun dapat tempat tinggal dan pelatihan, hidup jadi terikat,” ujar pria yang mengaku berasal dari Surabaya, Jawa Timur, tersebut.