Tewasnya seorang siswa Diktuk Bintara Polri Polda Maluku Utara saat pendidikan, diduga karena masih adanya cara-cara kekerasan selam pendidikan. Polri diminta menindaklanjuti pengaduan itu secara transparan.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polri diminta menghentikan penggunaan kekerasan dalam proses pendidikan di tubuh institusinya. Adanya dugaan kasus kekerasan yang menewaskan seorang siswa Diktuk Bintara Polri Polda Maluku Utara perlu ditindaklanjuti secara transparan.
Hal ini disampaikan Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Adelita Kasih, Selasa (26/1/2021), dalam konferensi pers yang dilakukan secara daring. Adelita mengatakan, praktik-praktik kekerasan itu tidak sejalan dengan Polri yang seharusnya memenuhi HAM dalam tugas sehari-hari.
Ia juga meminta agar Polda Maluku Utara transparan dalam menangani kasus terkait adanya dugaan praktik-praktik penyiksaan yang dialami oleh Rian Assidiq, siswa Diktuk Bintara Polri Polda Maluku Utara, yang tewas akhir November lalu.
”Praktik-praktik kekerasan itu tidak sejalan dengan Polri yang seharusnya memenuhi HAM dalam tugas sehari-harinya.”
Informasi ini diperoleh KontraS dan LBH Marimoi dari keluarga yang mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasan Boesoire pada 29 November 2020. Keesokan harinya, keluarga melihat luka-luka lebam dan luka melepuh pada jenazah pemuda berusia 19 tahun itu.
Ibu Rian, Achmet Kusnawati Muksin, mengatakan, hingga saat ini keluarga tidak mendapatkan hasil visum. Mereka mendapat keterangan yang simpang siur, mulai dari epilepsi dan dugaan Covid-19. Akan tetapi, informasi itu jauh berbeda dengan fakta yang dilihat keluarga di jenazah korban. ”Awalnya dibilang, pusing. Terus waktu kembali ke barisan, teriak-teriak, lalu lari dan jatuh. Karena jatuh itu jadi luka-luka semua,” kata Achmet.
Pengacara Andi Muhammad Rezaldy mengatakan, adanya indikasi tindak kekerasan membuat keluarga melaporkan Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Maluku Utara ke Propam Polda Maluku Utara pada tanggal 14 Desember 2020. Selain itu, keluarga juga melapor ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komnas HAM dan Ombudsman RI.
Andi mempertanyakan, ada Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang menyatakan, belum menemukan adanya kesalahan. Namun, ia menyesalkan informasi dari Kabid Humas Polda Maluku Utara kepada media yang menyatakan, kasus itu sudah ditutup. ”Sesuai Surat Edaran Kapolri Tahun 2018, untuk hentikan penyelidikan harus ada surat SP 2 Lidik,” kata Andi.
Diminta transparan
”Komnas HAM juga perlu memantau dan melakukan investigasi terkait dugaan penyiksaan ini.”
Saat dikonfirmasi tentang kasus ini, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono tidak memberikan jawaban. Sementara Andi maupun Achmet meminta agar Polda Maluku Utara bersikap transparan. Ketidaktransparanan ini menimbulkan berbagai dugaan seperti penyiksaan-penyiksaan yang dialami korban, bahkan ketika ia sedang sakit. ”Visum tidak pernah dikasih, diperlihatkan saja tidak. Katanya Covid, tetapi kata dokter, anak saya tidak pernah di-swab,” kata Achmet.
Adelita menggarisbawahi, ada berbagai dugaan pelanggaran yang terjadi. Ia mengatakan, Kompolnas selaku lembaga pengawas kepolisian terlibat dalam proses pemeriksaan ulang. Pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk menjawab penyebab luka-luka yang dialami oleh korban sebagaimana fakta-fakta yang disampaikan oleh pihak keluarga.
Ombudsman RI juga diminta untuk mengawasi terkait dugaan proses malaadministrasi yang dilakukan oleh Bid Propam Polda Maluku Utara dalam menindaklanjuti laporan pihak keluarga korban. ”Komnas HAM juga perlu memantau dan melakukan investigasi terkait dugaan penyiksaan ini,” kata Adelita.