Kontras kehidupan di lingkar tambang merupakan gambaran penderitaan masyarakat yang menunggu janji sejahtera investasi. Perlu komitmen tinggi untuk benar-benar menepati asa tersebut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Pertambangan hadir di Kalimantan Selatan dengan menawarkan asa sejahtera bagi masyarakat. Namun kenyataannya, masyarakat lingkar tambang dipaksa untuk bertahan hidup di tengah kerusakan.
Itulah yang tergambar di Desa Pengaron, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Saat Kompas menelusuri wilayah hulu Sungai Martapura, Pengaron menjadi wilayah di bagian hulu yang penuh sejarah.
Untuk ke desa ini, dari Kota Banjarmasin menempuh perjalanan selama lebih kurang 3 jam dengan jarak lebih kurang 100 kilometer. Perjalanan dimulai dengan melewati beberapa kecamatan yang direndam banjir, seperti Martapura, Anambul, Mataraman, lalu masuk ke Kecamatan Simpang Empat.
Di Kecamatan Simpang Empat, jalan aspal menyapa. Bangunan pertokoan ada di kiri dan kanan jalan. Hampir tiap rumah di pinggir jalan memiliki sebuah motor bahkan mobil. Mulai dari mobil pikap sampai mobil sedan baru. Di sebuah persimpangan bahkan terlihat rumah bak istana yang di halamannya terparkir sekitar 10 truk besar pengangkut batubara.
Murjani (37) sedang asyik menyesap kopinya di warung sebelah. Di luar hujan turun perlahan dengan sedikit angin. Murjani bersama teman sopir truk lainnya masih bersenda gurau. Banjir membuat mereka memiliki banyak waktu luang untuk beristirahat.
Rumah mereka di Simpang Empat relatif aman dari banjir. Meski berada di sisi Sungai Martapura, mereka tidak terlalu khawatir karena luapan sungai itu tidak sepenuhnya merendam rumah mereka.
Rumah-rumah beton dan batu bata berdiri kokoh di pinggiran sungai dan berada di kanan-kiri jalan besar. Rumah Murjani, salah satunya, berada di seberang sungai dan terletak di bukit. Rumahnya tak tersentuh luapan air.
Murjani sudah enam tahun bekerja di sebuah perusahaan penyewaan alat berat dan truk. Ia setidaknya sudah dua kali gonta-ganti perusahaan pertambangan batubara, sesuai dengan perjanjian kontrak perusahaannya dengan pengusaha tambang.
”Sejak dua tahun lalu, saya masih angkut batubara dari Pengaron ke Banjarmasin, sebelumnya saya di (kabupaten) Hulu Sungai Tengah,” ungkapnya saat ditemui Kompas, Jumat (22/1/2021).
Bapak tiga anak itu digaji bulanan sebesar Rp 6 juta. Terkadang ia mendapat lebih jika sedang rajin mengambil lembur. ”Alhamdulillah, anak-anak sekolah semua, yang sulung sudah selesai kuliah,” ujarnya.
Selama banjir, ia dan anak-anaknya hanya tinggal di rumah. Tidak mengungsi seperti tetangganya di seberang rumahnya, Zahrani (43).
Zahrani mengungsi di rumah kerabatnya lantaran tanah di belakang rumahnya perlahan ambruk ”dimakan” arus Sungai Martapura. Zahrani tidak sendiri, ada 11 rumah lainnya yang juga terancam longsor.
”Saya mau aja pindah kalau pemerintah belikan atau mencarikan tanah yang lebih aman dari di sini,” ungkap Zahrani.
Bapak dua anak itu baru berhenti bekerja jadi sopir truk di pertambangan lantaran sakit. Kini, ia membuka kios di rumahnya. Istrinya, Siti Maimunah, berjualan sayur di pasar.
Di Simpang Empat, hampir tak ada warga yang mengungsi. Mereka bertahan dengan persediaan yang ada di rumah. Jika habis, pasar tetap buka, pertokoan pun tersedia.
Pemandangan berbeda ketika Kompas mulai memasuki Desa Pengaron. Letaknya tak jauh dari Simpang Empat sekitar 5 kilometer. Sepanjang sungai, rumah-rumah kayu berdiri di pinggirnya.
Ada rumah yang dibangun setengah tembok, rumah panggung, hingga rumah lanting yang hanya ditambat di sungai. Mereka menyebutnya Sungai Pengaron. Sungai ini merupakan bagian hulu dari Sungai Martapura.
Saat banjir besar melanda, Desa Pengaron lima hari terisolasi. Mereka yang memilki rumah di pinggir sungai mengungsi ke desa sebelah, Desa Maniapun. Di desa itu datarannya cukup tinggi.
Mereka yang berasal dari Pengaron bertahan di desa tetangga. Mereka membuat tenda posko pengungsian mandiri, bahkan sebagian besar menginap di rumah rumah warga Maniapun.
Pada Jumat siang, meski banjir sudah surut, mereka masih memasak untuk warga Pengaron yang jadi korban banjir. Di tenda-tenda, terlihat asap mengepul dari tumpukan kayu. Mereka membuat tungku darurat untuk memasak. Kuali-kuali besar terpanggang di atas tungku itu. Menyibak harum hujan dengan dengan wangi bumbu merah, masakan khas Banjar.
Syahroni, warga Desa Pengaron, mengungkapkan, selama lima hari mereka menyantap mi instan. Itu saja persediaan yang ada yang sudah dikumpulkan oleh warga Pengaron dan Maniapun.
”Baju terbawa arus, bahkan celana dalam. Hanya baju di badan yang tersisa. Bahkan kami, bapak-bapak ada yang menggunakan pakaian istrinya karena sisa itu yang masih kering,” ungkap Syahroni.
Syahroni dan sebagian besar warga Pengaron tidak bekerja di tambang. Mereka memiliki kebun-kebun di bukit-bukit yang terlindungi dari banjir. Mulai dari kebun karet, jagung, pisang, padi ladang, hingga jahe.
Tanaman-tanaman itulah yang menyelamatkan mereka setelah banjir surut. Meski harga karet tak selalu baik, Rp 7.500 per kilogram, mereka tetap membutuhkan uang itu untuk bertahan hidup setelah bencana.
Bahkan kami, bapak-bapak ada yang menggunakan pakaian istrinya karena sisa itu yang masih kering. (Syahroni)
Ada juga warga yang harus gigit jari lantaran kebun karetnya tak bisa dipanen. Terendam hujan. ”Kalau yang terendam gak bisa dipanen, hujan saja kami gak bisa panen,” ungkap Syahroni.
Beruntung, sebelum hujan banyak masyarakat sudah menyadap getah karet. Disimpan di gudang meski ikut terendam, getah itu masih bisa dijual.
Sial bagi Nuryana (56), warga Pengaron. Jumat pagi ia sibuk sendiri menjemur padinya yang terendam banjir. Benih yang ia siapkan sebanyak 10 kilogram untuk ditanam berubah warna menjadi coklat lumpur. Meski begitu, ia tak punya pilihan selain menjemurnya.
”Daripada dibuang (benih padinya). Mungkin nanti masih bisa ditanam,” ujar Nuryana.
Nuryana tinggal di dekat jembatan menuju desa-desa lainnya. Di bawah jembatan itu melintas Sungai Pengaron yang meluap sehingga membuat dirinya mengungsi. Ibu empat anak itu mengungsi tanpa bisa menyelamatkan bulir-bulir gabah kering yang siap digiling.
Kompas mencoba menelusuri wilayah di Desa Pengaron, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel. Di lokasi itu masih terdapat bekas lubang tambang yang belum ditutup.
Lubang bekas tambang pertama bisa dilihat karena memang terdapat plang destinasi wisata di pinggir jalan dengan tulisan Wisata Alam Danau Biru Pengaron.
”Banyak yang berjualan di danau itu, tetapi kalau sudah musim hujan, binatang saja gak bisa masuk ke situ karena lumpurnya dalam,” kata Nuryana.
Seluruh warga Pengaron percaya banjir yang melanda Kalsel kali ini disebabkan gundulnya hutan di ujung hulu sungai. Mereka tak membencinya, mereka hanya pasrah. Namun, kuat berpegangan tangan saat bencana. Mereka tak mau itu terulang.