Jokowi Serukan Kemitraan Global untuk Adaptasi Iklim
›
Jokowi Serukan Kemitraan...
Iklan
Jokowi Serukan Kemitraan Global untuk Adaptasi Iklim
Cuaca ekstrem dan bencana terkait iklim telah memakan korban 410.000 jiwa lebih dalam satu dekade terakhir. Presiden Jokowi menekankan pentingnya kemitraan global sebagai salah satu pilar untuk mengatasi problem ini.
Oleh
FX LAKSANA AS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya kemitraan global sebagai salah satu pilar agenda dunia dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim. Hal ini disampaikan Presiden Jokowi pada Pertemuan Puncak Adaptasi Iklim (Climate Adaptation Summit/CAS) 2021, Senin (25/1/2021).
Hadir dalam acara virtual tersebut, antara lain, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, Co Chair Global Commission on Adaptation Ban Ki-moon, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, pemimpin sejumlah institusi perekonomian dan pembangunan internasional, serta peserta yang terdiri atas 22 kepala negara atau pemerintahan. Sebagai tuan rumah adalah Pemerintah Belanda.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyatakan, dampak iklim sangat nyata. Apalagi untuk negara-negara kepulauan seperti Indonesia.
”Perubahan siklus iklim mengharuskan petani dan nelayan beradaptasi menghadapi ketidakpastian. Meningkatnya permukaan laut mengharuskan penduduk pesisir dan pulau kecil berjuang untuk tetap dapat bertahan. Meningkatnya bencana alam dan kekeringan mengharuskan rakyat bersiap siaga,” kata Presiden Jokowi.
Pandemi Covid-19, Presiden Jokowi melanjutkan, membuat tantangan semakin kompleks dan berat. Untuk itu, Pemerintah Indonesia mempromosikan lima langkah luar biasa. Di antaranya adalah penguatan kemitraan global.
”Indonesia memprioritaskan kerja sama, meningkatkan kapasitas dalam menghadapai perubahan iklim bagi sahabat kami di Pasifik. Tentunya negara maju harus memenuhi komitmennya,” kata Presiden.
Pemerintah Indonesia melibatkan masyarakat untuk mengendalikan perubahan iklim melalui program Kampung Iklim yang mencakup 20.000 desa di 2024.
Hal lainnya adalah bahwa semua negara harus memenuhi kontribusi nasional bagi penanganan perubahan iklim. Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia telah memutakhirkan komitmennya untuk meningkatkan ketahanan dan kapasitas adaptasi.
Hal penting lainnya adalah menggerakkan semua potensi rakyat. Sejalan dengan hal ini, Pemerintah Indonesia melibatkan masyarakat untuk mengendalikan perubahan iklim melalui program Kampung Iklim yang mencakup 20.000 desa di 2024. Terakhir adalah pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik.
”KTT ini (Climate Adaptation Summit2021) harus dapat melipatgandakan aksi iklim dunia melalui solidaritas, kolaborasi, dan kepemimpinan kolektif global, dan mengawal detail pelaksanaannya di setiap negara,” kata Presiden Jokowi.
Dalam kesempatan yang sama, Guterres menyatakan, dunia tengah menghadapi darurat iklim. Iklim ekstrem dan penuh gejolak yang belum pernah terjadi sebelumnya memengaruhi kehidupan dan mata pencarian di semua benua.
Berdasarkan Organisasi Meteorologi Dunia, telah terjadi lebih dari 11.000 bencana akibat cuaca, iklim, dan bahaya yang berhubungan dengan air selama 50 tahun terakhir. Bencana ini mengakibatkan kerugian yang mencapai sekitar 3,6 triliun dollar Amerika Serikat.
Dunia tengah menghadapi darurat iklim. Iklim ekstrem dan penuh gejolak yang belum pernah terjadi sebelumnya memengaruhi kehidupan dan mata pencarian di semua benua.
Cuaca ekstrem dan bencana terkait iklim juga telah menewaskan lebih dari 410.000 orang dalam dekade terakhir. Sebagian besar terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. ”Itulah mengapa saya menyerukan terobosan dalam adaptasi dan ketahanan,” kata Guterres.
Dunia, menurut Guterres, membutuhkan triliunan dollar dari pembayar pajak untuk mendanai pemulihan dari pandemi Covid-19 guna memulai masa depan rendah karbon dan dunia yang berdaya tahan tinggi.
”Namun, pemulihan tidak hanya untuk negara maju. Kita harus memperluas penyediaan instrumen likuiditas dan keringanan utang ke negara-negara berkembang dan berpenghasilan menengah yang kekurangan sumber daya untuk meluncurkan kembali ekonomi mereka secara berkelanjutan dan inklusif,” kata Guterres.