Meski suap sering terjadi, suap di masa pandemi Covid-19 mesti dinilai lebih berat. Tindak pidana tak semata dinilai dari jumlah kerugian, tetapi juga menimbang psikologi dan sosiologi saat perbuatan terjadi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di masa pandemi Covid-19, terlebih yang terkait dengan Covid-19, akan ditindak tegas penegak hukum. Kejahatan semacam itu dinilai menjadi ironi di tengah masyarakat yang berjuang menghadapi pandemi Covid-19.
Sebelumnya, tim penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara dibantu tim intelijen Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Barat menangkap Imel Anitya dan Teddy Gunawan di Jakarta. Mereka diduga sebagai pemberi suap pengadaan alat pemeriksaan Covid-19 dan pengadaan bahan medis habis pakai dan reagen pemeriksaan Covid-19 dalam program percepatan penanganan Covid-19 Pemprov Sulawesi Tenggara Tahun Anggaran 2020.
Suap yang diduga diberikan kepada oknum pejabat Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara mencapai 13 persen dari nilai kontrak.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Selasa (26/1/2021), mengatakan, Jaksa Agung Burhanuddin telah memerintahkan jajaran kejaksaan turut mengamankan penggunaan keuangan negara ataupun daerah secara profesional dalam rangka pencegahan dan pengendalian Covid-19.
Selain itu, jajaran Kejaksaan juga diminta tidak serta-merta menerapkan hukum pidana atas dugaan penyimpangan penggunaan anggaran penanggulangan Covid-19 yang disebabkan perubahan mata anggaran ataupun kesalahan administrasi lainnya. ”Itu sepanjang tak terdapat kerugian keuangan negara yang nyata akibat niat jahat dan pegawai negeri atau penyelenggara negara tak mendapatkan keuntungan, dan kepentingan umum terlayani,” kata Leonard.
Dalam kasus dugaan suap pengadaan alat Covid-19 di Sultra, suap diberikan terkait dengan pengadaan alat pemeriksaan Covid-19 (RT-PCR) senilai Rp 1,36 miliar serta pengadaan bahan medis habis pakai dan reagen pemeriksaan Covid-19 (RT-PCR) dengan nilai kontrak Rp 1,7 miliar pada program percepatan penanganan Covid-19 Pemprov Sulawesi Tenggara tahun anggaran 2020.
Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sultra Herman Darmawan, kedua orang terduga pemberi suap tersebut telah dibawa ke Kejati Sultra di Kendari. Kedua orang tersebut kini masih diperiksa penyidik di Kejati Sultra.
”Untuk keduanya statusnya sudah ditetapkan sebagai tersangka,” kata Herman.
Sementara itu, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Febrie Ardiansyah mengatakan, terkait kasus pandemi Covid-19, penanganannya dilakukan oleh kejaksaan negeri atau kejaksaan tinggi.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia Yenti Garnasih berpandangan tindak pidana tidak semata dinilai dari jumlah kerugian, tetapi juga mempertimbangkan psikologi dan sosiologi saat tindak pidana terjadi. Meskipun perbuatan suap sering terjadi, tindak pidana suap di masa pandemi Covid-19 mesti dinilai lebih berat.
”Uang suap ratusan juta mungkin kecil bagi koruptor kakap, tetapi angka itu puluhan kali lipat dari upah minimum regional (UMR). Dalam masa pandemi, ketika terjadi korupsi terkait alat kesehatan menurut saya lebih keji dan ini harus ada pemberatan,” kata Yenti.
Sementara itu, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan, dengan masih adanya ruang penyuapan, maka prosedur pengadaan barang dan jasa yang dijalankan tidak transparan. Di sisi lain, penyuap tidak akan menyuap jika pejabatnya tidak memberikan ruang.
Selain penyuapan, para tersangka pada kasus tersebut dapat dikenakan pasal tentang kerugian negara. Sebab dengan dugaan pemberian suap sebesar 13 persen dari nilai kontrak, maka harga yang dibayar pemerintah berarti 13 persen lebih mahal.
”Suap dalam kaitan pengadaan barang dan jasa mungkin adalah praktik dari keseharian. Karena telah menjadi kebiasaan, maka tetap dilakukan di masa pandemi Covid-19. Ini ironis karena orang tidak sensitif lagi,” ujar Agustinus.