Pemerintahan Biden-Haris memberi jaminan kembalinya tatanan global lebih baik. Implikasinya, meski masa depan masih diliputi ketidakpastian, namun gejolak bisa lebih terkelola.
Oleh
A Prasetyantoko - Rektor Unika Atma Jaya
·5 menit baca
”Without unity, there is no peace, only bitterness and fury,” begitu Joe Biden menyerukan persatuan rakyat Amerika Serikat dalam pelantikannya sebagai Presiden ke-46 pada Rabu (20/1/2021) malam. Majalah The Economist (23/1/2021) menyejajarkan pidato Biden ini dengan pidato pelantikan Abraham Lincoln sebagai presiden ke-16 pada 1865 mengakhiri era-perang sipil.
Paling tidak, sebanyak 25.000 orang pasukan Garda Nasional bersiaga di Washington DC, mengawal pelantikan Biden-Harris. Jumlah tentara yang dikerahkan melebihi pasukan yang diterjunkan ke Afghanistan dan Irak. Situasi ini memberi gambaran, Joe Biden dan Kamala Harris, mewarisi persoalan rumit dalam negeri yang belum pernah terjadi sejak perang saudara pada 1861.
Dalam kerumitan domestik ini, berbagai persoalan global juga menanti kebijakan nyata pemerintah baru. Jika di dalam negeri Biden harus berjuang mengupayakan persatuan kembali publik AS yang terpecah, di kancah internasional agenda utamanya adalah mengembalikan rezim multilateralisme yang telah dicabik-cabik Trump. Prinsip ”American First” harus segera direvisi agar dunia tidak semakin terkotak-kotak seiring penguatan gerakan nasionalis-populis di banyak belahan dunia.
Prinsip ”American First” harus segera direvisi agar dunia tidak semakin terkotak-kotak
Multilateralisme
Jayathi Gosh, ekonom dan aktivis asal India, di laman Project Syndicate menyarankan 4 kebijakan yang bisa segera diambil Biden guna memulihkan percaturan global serta memberikan dampak nyata bagi penduduk dunia. Berbagai kebijakan tersebut pada dasarnya tak memerlukan persetujuan Senat sehingga bisa segera dilakukan.
Pertama, mengizinkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membebaskan sementara kewajiban membayar hak kekayaan intelektual penggunaan berbagai obat dan peralatan medis dalam rangka memerangi pandemi Covid-19. Proposal ini diajukan India dan Afrika Selatan untuk memastikan akses kesehatan, khususnya bagi negara miskin. Proposal ini tidak bisa dijalankan karena ditolak AS di masa pemerintah Trump. Biden perlu segera merespons positif proposal ini sebagai langkah mempercepat penyelesaikan krisis kesehatan global.
Kedua, mengizinkan Dana Moneter Internasional (IMF) menerbitkan tambahan Special Drawing Rights (SDRs) bagi semua negara anggota. SDRs adalah semacam alat tukar internasional berupa aset yang dijaminkan pada IMF. Dalam situasi sulit seperti sekarang ini, penambahan alokasi SDRs negara anggota akan meningkatkan kemampuan IMF membantu likuiditas anggota, khususnya negara kecil yang mengalami kesulitan pendanaan menghadapi krisis kesehatan dan resesi ekonomi bersamaan.
AS di bawah Trump menolak penambahan alokasi baru SDRs senilai 500 miliar dollar AS pada April silam. India juga menolak kebijakan ini. Namun, jika Biden mengubah kebijakan, India tak akan bertahan karena hanya memiliki hak suara kecil. Persetujuan ini penting agar IMF mampu membantu kebutuhan pendanaan jangka pendek bagi negara anggota yang mengalami persoalan likuiditas.
Ketiga, berkolaborasi dengan negara lain menerapkan sistem perpajakan global yang efektif bagi perusahaan multinasional. Gosh dalam kapasitasnya sebagai Komisaris Independen lembaga Reformasi Perpajakan Korporasi Internasional menyarankan penerapan pajak global bagi perusahaan multinasional sebesar 25 persen.
Berkolaborasi dengan negara lain menerapkan sistem perpajakan global yang efektif bagi perusahaan multinasional.
Perancis telah menerapkan pajak pada perusahaan multinasional seperti Google, Facebook, dan Apple. Namun, AS di bawah Trump menolak penerapan pajak ini. Gosh menyarankan agar Biden bertindak sebaliknya.
Keempat, mengembalikan AS pada Kesepakatan Paris mengenai perubahan iklim. Pada 2017 Trump menyatakan keluar dari kesepakatan tersebut dan menuduh kepakatan Paris sebagai beban ekonomi yang tak adil. Biden perlu segera mengoreksi kebijakan ini.
Empat usulan Gosh ini sangat relevan dalam rangka mengembalikan multilateralisme dan terciptanya tatanan global berbasis aturan. Pandemi Covid-19 justru membutuhkan kerja sama lebih intensif di tingkat global. Semangat proteksionis yang mengedepankan kepentingan domestik seperti diusung Trump sama sekali tak relevan dan menyulitkan penyelesaian resesi global ini.
Koordinasi dalam produksi dan distribusi vaksin merupakan salah satu persoalan global paling krusial. Mengembalikan peran AS dalam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan menjadi sinyal positif bagi percepatan penyelesaian krisis kesehatan. AS juga perlu mengambil peran penting dalam gerakan global penyediaan akses vaksin secara merata seperti diprakarsai WHO dalam COVAX.
Selain masalah kesehatan, persoalan utama global adalah mendorong pemulihan ekonomi secara berkelanjutan. Memperkuat peran lembaga multilateral seperti IMF, Bank Dunia dan WTO merupakan langkah mendasar. Selain itu, mengadopsi pendekatan pembangunan ramah lingkungan juga tak terelakkan.
Semangat proteksionis yang mengedepankan kepentingan domestik seperti diusung Trump sama sekali tak relevan dan menyulitkan penyelesaian resesi global ini.
Pemerintah China telah menargetkan bebas karbon pada 2060, sedangkan Jepang mencanangkan emisi nol pada 2050. Pada periode tersebut, semua mobil menggunakan baterai serta industri tak lagi menggunakan bahan bakar fosil.
Bagaimana dampaknya pada Indonesia? Pertama, pemerintahan Biden-Haris memberikan jaminan kembalinya tatanan global yang lebih baik. Implikasinya, meski masa depan masih diliputi ketidakpastian, tetapi gejolak bisa lebih terkelola melalui koordinasi yang menghormati aturan bersama. Kedua, Indonesia perlu mengambil peran lebih progresif dalam mata rantai global yang berubah ini.
Perubahan mata rantai global akan mengakibatkan disrupsi dalam pasar ekspor-impor. Kita perlu mengantisipasi perubahan ini dengan memetakan kembali mata rantai global pascapandemi Covid-19. Pasar di kawasan Asia serta Afrika yang selama ini belum tergarap dengan baik, bisa jadi di masa depan akan lebih penting peranannya bagi perekonomian domestik.
Kesadaran lingkungan tak sekadar menjadi standar moral, melainkan juga menjadi standar global yang sangat mungkin menjadi hambatan nontarif baru. Kita harus mengantisipasinya dengan mengidentifikasi kemungkinan mendapatkan posisi yang lebih baik dalam percaturan ekonomi hijau ke depan. Indonesia berpotensi menjadi pemain penting dalam mobil listrik karena memiliki kandungan nikel terbesar dunia sebagai bahan baku baterai listrik.
Kesadaran lingkungan tak sekadar menjadi standar moral, melainkan juga menjadi standar global yang sangat mungkin menjadi hambatan nontarif baru.
Gerimis salju tipis yang mengiringi pelantikan Joe Biden, meski menusuk, tetapi memberikan gairah baru bagi perekonomian global.