Ketentuan Teknis Seragam Sekolah Kerap Timbulkan Ketidakadilan
›
Ketentuan Teknis Seragam...
Iklan
Ketentuan Teknis Seragam Sekolah Kerap Timbulkan Ketidakadilan
Sekolah tetap mesti mengedepankan sebagai ruang diseminasi keberagaman. Penggunaan pakaian seragam beserta atributnya semestinya tidak jadi penilaian moral terkait kelompok tertentu.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemakaian seragam sekolah dinilai mampu menyetarakan kondisi siswa. Akan tetapi, di sisi lain, ketentuan teknis pakaian seragam kerapkali menciptakan ketidakadilan.
Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan saat dihubungi Selasa (26/1/2021), di Jakarta, memandang isu pakaian seragam sekolah dengan atribut agama tertentu mesti disikapi secara kritis. Dari sisi preferensi keislaman, misalnya, mewajibkan seragam dengan jilbab mempunyai narasi tidak tunggal. Saat kewajiban seragam sekolah seperti itu berlaku di lembaga pendidikan publik sebagai bagian dari institusi negara, maka hal itu bisa disebut berlawanan dengan dasar negara Pancasila.
Lembaga pendidikan publik, yaitu sekolah negeri, menjadi rujukan semua kalangan masyarakat. Dengan demikian, latar belakang peserta didik ataupun pendidik yang masuk semestinya heterogen.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Sekolah Dasar dan Menengah menyebutkan, pakaian seragam terdiri atas tiga kategori. Ketiganya adalah pakaian seragam nasional, pakaian seragam kepramukaan, dan pakaian seragam khas sekolah.
Pasal 1 Permendikbud No 45/2014 turut menyebutkan pakaian seragam nasional, pakaian seragam khas sekolah, dan pakaian seragam khas muslimah. Pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan siswi muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis seragam sekolah.
Pasal 2 Permendikbud No 45/2014 berisi tujuan-tujuan penetapan pakaian seragam sekolah, antara lain menumbuhkan kesatuan dan persatuan, rasa kesetaraan tanpa memandang kesenjangan sosial ekonomi, dan disiplin peserta didik. Permendikbud tersebut juga menyertakan lampiran-lampiran yang berisi substansi ketentuan teknis dan gambar pakaian seragam sekolah sesuai pasal satu dan tiga.
Halili menilai Permendikbud No 45/2014 tidak mencantumkan substansi yang jelas tentang kebinekaan sebagai nilai dasar di sekolah. Dengan kata lain, ada potensi permendikbud itu memberi ruang tafsir berbeda di daerah sehingga memicu munculnya praktik intoleran. Selama 2007-2019, SETARA Institute menerima laporan tujuh peristiwa yang sama dengan viral kasus penganjuran siswa non-Muslim untuk memakai jilbab di SMK Negeri 2 Padang.
Lebih jauh, dia memandang, pembuat aturan tidak bisa lepas dari narasi favoritisme dan kecenderungan ke kelompok mayoritas tertentu. Oleh karena itu, peran pengawas sekolah semestinya bisa dioptimalkan. Apalagi, mereka hadir sampai ke tingkat kecamatan. Mereka dapat cek kesesuaian substansi kebijakan pakaian seragam dengan prinsip fundamental Indonesia.
Otonomi daerah memang mendesentralisasi urusan pengelolaan dan penanganan sekolah. Namun, pemerintah pusat tetap bisa ikut mengevaluasi peraturan daerah. (Halili Hasan)
”Otonomi daerah memang mendesentralisasi urusan pengelolaan dan penanganan sekolah. Namun, pemerintah pusat tetap bisa ikut mengevaluasi peraturan daerah,” kata Halili.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim saat dihubungi terpisah menyampaikan pandangan senada. Permendikbud No 45/2014 tidak menyebut ”wajib” pakaian seragam khas muslimah. Meski demikian, detail teknis beserta contoh pakaian seragam yang tertera di lampiran Permendikbud kini banyak diterapkan di berbagai daerah.
Sejumlah daerah bahkan punya peraturan daerah tentang pakaian seragam sekolah yang diantaranya mengikutkan narasi kearifan lokal. Viral kasus penganjuran siswa non-Muslim untuk memakai jilbab di SMK Negeri 2 Padang adalah salah satunya. ”Narasi kearifan lokal apa pun itu semestinya bukan dipakai sebagai kebijakan yang mewajibkan mengikuti kelompok mayoritas tertentu,” ujarnya.
Menurut Satriwan, ketegasan pemerintah pusat diperlukan. Penggunaan seragam sekolah khas muslim untuk kelompok siswa beragama Islam semestinya bersifat dapat, alias diserahkan kepada orangtua anak.
Dia menambahkan, pembuatan peraturan mengenai pakaian seragam sekolah beserta atribut tambahannya semestinya melibatkan para pemangku kepentingan dunia pendidikan. Hal yang juga mesti selalu diperhatikan adalah hak anak memperoleh layanan pendidikan.
Secara terpisah, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti memandang, pemahaman sejumlah pejabat bidang pendidikan dan guru berstatus aparatur sipil negara masih susah membedakan area keyakinan pribadi dengan nilai dasar yang dipegangnya sebagai bagian dari institusi negara. Akibatnya, mereka mudah melakukan diskriminasi terhadap siswa yang berbeda agama dan keyakinan.
Mengutip hasil penelitian dari Wahid Institute, dia menyebutkan, sebagian guru, termasuk kepala sekolah, cenderung lebih memprioritaskan kegiatan ataupun nilai kelompok mayoritas. Sebelum viral kasus SMKN 2 Padang, sudah ada kasus serupa terjadi di sejumlah daerah. Misalnya, pada Juni 2019 terdapat surat edaran di SD Negeri 3 Karang Tengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, yang mewajibkan seluruh siswa mengenakan pakaian seragam khas Muslim.
Pada awal tahun 2020, seorang siswa aktivis Kerohanian Islam SMA Negeri 1 Gemolong, Sragen, merundung siswi lainnya karena tidak berjilbab. Kasus itupun viral. Siswi bersangkutan lalu pindah sekolah ke kota lain karena dia merasa tidak aman dan nyaman.
Menurut Retno, KPAI mendorong pengarusutamaan nilai-nilai kebhinekaan di sekolah. Kapasitas kepala sekolah, guru, hingga pejabat negara bidang pendidikan perlu ditingkatkan, terutama menyangkut pemahaman mereka terhadap keberagaman.
Dia berharap pemerintah pusat melalui Kemendikbud, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Badan Ideologi Pancasila bersinergi mencegah intoleransi di sekolah. Dinas pendidikan pun harus diikut sertakan.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri menyebut akan segera meminta Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengevaluasi aturan yang mewajibkan siswi non-Muslim mengenakan jilbab. Langkah ini diperlukan agar persoalan intoleransi di sekolah tidak lagi terjadi di kemudian hari.
Sementara itu, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam rekaman video yang diunggah di akun Instagram pribadinya telah meminta pemerintah daerah segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi semua pihak yang terbukti terlibat, termasuk kemungkinan pembebasan jabatan (Kompas, 25/1/2021).