Vaksin Covid-19 adalah barang publik, bukan komoditas niaga. Akses terhadap kesehatan harus tetap mengedepankan prinsip kesetaraan dan keadilan serta dasar-dasar epidemiologi, bukan kemampuan finansial semata.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
”Kenapa tidak?” kata Presiden Joko Widodo, menanggapi usulan pengusaha untuk melakukan vaksinasi Covid-19 secara mandiri, di acara pembukaan Kompas 100 CEO Forum, Kamis (21/1/2021) lalu. Dengan dua kata itu, lampu hijau vaksinasi mandiri diberikan. Regulasi untuk mengatur teknis pelaksanaan vaksinasi oleh sektor swasta pun disepakati disiapkan dengan beberapa catatan.
Pertama, pengusaha harus memberikannya secara gratis dan merata kepada karyawan tanpa mengistimewakan golongan tertentu. Kedua, vaksinasi mandiri harus memakai merek yang berbeda dari vaksinasi gratis. Bagaimana mekanisme teknis keterlibatan swasta itu belum diputuskan.
Namun, tidak hanya untuk karyawan, pengusaha juga ternyata berniat menjual vaksin ke publik dan meminta pemerintah mengatur harga maksimalnya. Beberapa pengusaha sudah bernegosiasi dengan perusahaan produsen vaksin. Analogi mereka, ibarat berbaris masuk Disneyland, orang yang bisa membayar lebih, bisa masuk lebih cepat tanpa perlu mengantre.
Perdagangan barang medis selama pandemi memang menyimpan keuntungan yang besar. Dalam laporannya ”Trade in Medical Goods in The Context of Tackling Covid-19: Development in The First Half of 2020”, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencatat, bisnis produk medis selama paruh awal 2020 tumbuh pesat karena Covid-19.
Ketika perdagangan barang di dunia pada paruh pertama 2020 menurun 14 persen, ekspor-impor barang medis justru tumbuh hingga 16 persen dengan nilai 1.139 miliar dollar AS. Nilai ekspor-impor barang medis khusus penanganan Covid-19, seperti masker, alat pelindung diri, disinfektan, dan alat oksimeter, pada semester I-2020 mencapai nilai 191,725 miliar dollar AS, tumbuh 30,8 persen dibandingkan 2019.
Laporan WTO itu baru menggambarkan situasi di paruh awal 2020. Bisnis medis dan farmasi akan tumbuh semakin pesat ke depan, terutama dengan hadirnya vaksin. Dengan asumsi bahwa 181,5 juta orang penduduk Indonesia akan ditanggung pemerintah lewat program vaksinasi gratis, sektor swasta praktis memiliki potensi ceruk pasar yang menggiurkan sekitar 80 juta orang.
Dengan asumsi bahwa 181,5 juta orang penduduk Indonesia akan ditanggung pemerintah lewat program vaksinasi gratis, sektor swasta praktis memiliki potensi ceruk pasar yang menggiurkan sekitar 80 juta orang.
Dalam ”The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism”, jurnalis Amerika Serikat, Naomi Klein, menggambarkan bagaimana ekonomi pasar bebas berjaya dengan memanfaatkan momen bencana dan tragedi dalam empat dekade terakhir. Mitigasi bencana disikapi lewat privatisasi sektor strategis dan kepentingan publik yang menguntungkan konglomerat tetapi memperparah kesenjangan di masyarakat.
Praktik memetik keuntungan dari bencana—atau meminjam istilah Klein, kapitalisme bencana (disaster capitalism)—harus dihindari. Vaksin adalah barang publik, bukan komoditas dan bukan barang niaga. Akses terhadap kesehatan harus tetap mengedepankan prinsip kesetaraan dan keadilan serta dasar-dasar epidemiologi, bukan berdasarkan kemampuan finansial semata.
Akses terhadap kesehatan harus tetap mengedepankan prinsip kesetaraan dan keadilan serta dasar-dasar epidemiologi, bukan berdasarkan kemampuan finansial semata.
Belajar dari pengalaman tes usap (swab) PCR, sekalipun pemerintah sudah mematok harga maksimal, mekanisme pasar tetap bergerak dinamis dan liar. Sampai hari ini saja, masyarakat kebanyakan tetap sulit mengakses tes usap PCR lantaran terlalu mahal.
Upaya pengendalian harga di pasar menjadi sulit dilakukan ketika hukum permintaan-penawaran berlaku di tengah kelangkaan pasokan dan lonjakan permintaan. Keterlibatan swasta dalam pengadaan vaksin juga membuka potensi masalah lainnya, dari pasar gelap, penjualan vaksin palsu, sampai penimbunan stok vaksin yang bisa membuat harganya semakin melejit. Alih-alih mengakselerasi vaksinasi, bisnis vaksin yang tidak terkontrol justru menambah persoalan dan memperlambat proses.
Di sisi lain, kesenjangan sosial yang sudah kentara akan semakin menjadi-jadi karena hanya golongan masyarakat tertentu yang bisa mengakses vaksin, sementara yang lain harus mengantre atau tidak kebagian jatah.
Saat ini saja, kesenjangan mulai terasa di level global. Negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa membeli vaksin hingga berkali-kali lipat populasinya, sementara negara miskin seperti Bangladesh, Peru dan Nigeria baru bisa mendapat jatah vaksin pada 2024 karena suplai terbatas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kondisi ini sebagai “kegagalan moral yang dahsyat”, mengingatkan bahwa pendekatan yang mementingkan diri sendiri hanya akan memperlambat keberhasilan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi global.
Kolaborasi
Upaya melawan Covid-19, termasuk program vaksinasi nasional, memang membutuhkan kolaborasi. Namun, pihak swasta dapat berkontribusi tanpa perlu menjual vaksin dan mengeruk keuntungan pribadi dari bencana yang saat ini telah memakan jutaan nyawa.
Perusahaan swasta dapat berkontribusi mengerahkan dukungan untuk distribusi rantai dingin (coldchain) agar kualitas vaksin tetap terjaga sampai ke pelosok tanah air. Contohnya, inisiatif PT Unilever Indonesia Tbk untuk membantu pemerintah menyiapkan mesin pendingin dalam distribusi rantai dingin.
Contoh lainnya, kontribusi perusahaan negara PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk membuat sistem pendataan vaksin dan calon penerima secara digital berbasis kode QR untuk memastikan proses vaksinasi terpantau real time. Sektor lain, seperti logistik, juga bisa mengerahkan armada kendaraan angkutnya untuk mendukung distribusi rantai dingin.
Pemerintah dalam kesempatan terbaru mengingatkan pengusaha bahwa vaksin tidak boleh dikomersialisasikan. Namun, kendati tetap gratis, program vaksinasi mandiri untuk karyawan tetap harus disikapi dengan cermat. Pertama, ada kemungkinan perusahaan meminta kompensasi sebagai pengganti vaksinasi gratis. Kedua, sistem pendataan terpadu pemerintah-swasta harus terlebih dahulu disiapkan agar vaksinasi mandiri tetap terkontrol dan terukur.
Ketiga, pengawasan harus ketat agar tidak ada dosis vaksin yang dijual diam-diam secara komersial. Keempat, mengingat suplai vaksin dunia terbatas, vaksinasi mandiri jangan sampai mengambil stok pemerintah dan mengacaukan program vaksinasi nasional. Apalagi, lepas dari negosiasi yang sedang dijajaki pengusaha Indonesia, sampai sekarang, produsen vaksin juga belum bersedia menjual langsung bisnis ke bisnis (business to business).
Jangan sampai ada kelompok rentan dan prioritas yang terlangkahi demi program vaksinasi mandiri, jangan sampai ada pihak-pihak yang mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan bencana dan tragedi.
Agar tidak mengganggu fokus pemerintah dalam negosiasi pengadaan vaksin, vaksinasi mandiri sebaiknya dilakukan setelah vaksinasi gratis selesai digelar. Stok vaksin yang masih terbatas harus didahulukan untuk kelompok rentan dan prioritas demi mencapai kekebalan kelompok (herd immunity).
Mengutip Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, ”vaksin bersifat amat sosialis, tidak individualis”. Jangan sampai ada kelompok rentan dan prioritas yang terlangkahi demi program vaksinasi mandiri, jangan sampai ada pihak-pihak yang mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan bencana dan tragedi.