Profesor Bambang Kaswanti Purwo, dengan tulisan kebahasaannya, banyak mengayakan kita pembaca antara lain dengan pengetahuan seputar aspek makna kata. Izinkan di sini saya menyinggung satu tulisannya, "Bahasa Lepas Konteks" (Kompas, 18 Maret 2017) sambil kemudian membubuhkan sedikit catatan seperlunya.
Menurut Prof Bambang Kaswanti, sekalipun makna sebuah kata dapat lebih dari satu (polisemi), "kata cenderung bermakna satu manakala dipakai dalam rangkaian dengan kata lain". Makna kata muka pada membasuh muka berbeda dari muka pada berdiri di muka rumah; lain pula muka pada daratan di muka bumi.
Penyandingan konteks berbeda-beda itu menyiratkan bukan hanya bahwa satu kata muka sebenarnya punya berbagai makna sebab pada saat yang sama, satu makna pun bisa punya beragam leksem (kata) sebagai bentuk representasinya. Pengertian atau konsep dalam kata muka pada tiap kalimat contoh tadi dapat kita nyatakan dengan bentuk yang lain: (1) membasuh wajah, (2) berdiri di depan/hadapan rumah, (3) daratan di permukaan bumi. Contoh lain. Perasaan senang punya macam-macam bentuk representasi: bahagia, gembira, girang, riang, suka cita.
Mari kita lihat kehati-hatian Profesor Bambang. Ia menulis, "kata cenderung (baca: tidak niscaya) bermakna satu manakala dipakai dalam rangkaian dengan kata lain." Mengapa tidak niscaya? Sebab, kata yang sama, muka, pada proposisi "Coba anda lihat muka perempuan itu", belum tentu semakna dengan muka pada "membasuh muka", yaitu muka dalam artian fisis--apakah ada bekas cacar atau bentol jerawat di sana. Pada proposisi tadi, muka yang dimaksud tentu bisa saja muka fisis, tapi bisa juga menunjuk air atau roman muka: emosi tertentu (girang, sedih, malu, marah) yang terungkapkan lewat ekspresi muka.
Tampaknya keterbatasan ruang--ruang fisik bidang di carik koran ini maupun lingkup pembicaraan--menyebabkan Prof Bambang tidak leluasa memerikan konteks lebih panjang lebar. Aspek konteks, kita tahu, meliputi siapa yang bertutur, ditujukan kepada siapa, kapan penuturan itu berlangsung, dan apa bentuk media penyampaiannya. Maka, tidak cukup bila hanya dikatakan, dalam (konteks) kalimat, sebuah kata cenderung bermakna satu. Di ranah berbeda, puisi, kecenderungan bermakna tunggal malah mengingkari ambiguitas sebagai sifat dasarnya.
Kita nukil larik pertama sajak "Z" Goenawan Mohamad:
Di bawah bulan Marly
Seorang mahasiswa menafsirkan kata Marly di sana sebagai semacam akronim March dan July, dan mengartikan bulan sebagai rentang waktu dalam sistem kalender. Tafsir itu mengagetkan sang dosen, A Teeuw, sebab, bagi A Teeuw, Marly adalah nama tempat berhutan, dekat Paris, tujuan orang Prancis "pergi piknik di hari Minggu". Dan menurut penafsiran Teeuw, bulan berarti rembulan (lihat http://lakonmassa.blogspot.com/2017/10/a-teeuw-tentang-paham-dan-salah-paham.html?m=1)
Di sini sampailah kita pada dalil, fitrah kata adalah punya sekian dimensi makna, dan fitrah makna selalu siap berubah, dengan pelbagai cara, kapan saja dan di mana saja.
EKO ENDARMOKO
Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia