Pastikan Protokol Kesehatan Ketat di Pengungsian Merapi
›
Pastikan Protokol Kesehatan...
Iklan
Pastikan Protokol Kesehatan Ketat di Pengungsian Merapi
Dua ancaman bahaya, yakni erupsi dan pandemi Covid-19, dihadapi warga lereng Merapi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Barak pengungsian mesti dijamin penerapan protokol kesehatannya guna mencegah penularan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Warga lereng Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dihadapkan dua ancaman bencana, yakni erupsi dan penularan Covid-19. Untuk itu, fasilitas protokol kesehatan mesti disiapkan dan dijamin untuk mengantisipasi penularan di lingkungan pengungsian.
Gunung Merapi mengalami peningkatan status dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III) pada 5 November 2020. Peningkatan status itu diikuti rekomendasi untuk mengungsi bagi sejumlah warga di lereng gunung tersebut. Di Kabupaten Sleman, warga yang diminta mengungsi adalah warga Dusun Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan. Dusun tersebut berada dalam radius 5 kilometer dari puncak Merapi.
Warga kelompok rentan, seperti lansia, anak balita, anak-anak, dan ibu hamil, dari Dusun Kalitengah Lor diprioritaskan mengungsi lebih dahulu. Pengungsian bertempat di Balai Desa Glagaharjo. Mereka tinggal di barak tersebut sejak 7 November 2020. Mereka dipulangkan ke rumahnya, Selasa (26/1/2021) karena ada perubahan ancaman rekomendasi bahaya yang mengarah ke sektor selatan dan barat daya lereng Merapi. Adapun Desa Glagaharjo berlokasi di sisi tenggara lereng Merapi.
”Saat ini diputuskan untuk kembali dulu. Namun, ada komitmen siap diungsikan kembali apabila ada ancaman bahaya. Sudah ada rencana kontigensi mitigasi erupsi dari setiap dusun di lereng Merapi,” kata Kepala Seksi Mitigasi Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman, Joko Lelono, Selasa siang.
Joko menyampaikan, sejak awal, barak pengungsian di Balai Desa Glagaharjo disiapkan dengan melengkapi unsur protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Di setiap barak dipasangi sekat-sekat dari tripleks agar pengungsi dapat saling menjaga jarak. Satu petak ruangan juga hanya diisi empat warga dalam satu keluarga guna meminimalisasi risiko penularan. Para pengungsi diwajibkan pula mengenakan masker di area pengungsian.
Di setiap barak dipasangi sekat-sekat dari tripleks agar pengungsi dapat saling menjaga jarak. Satu petak ruangan juga hanya diisi empat warga dalam satu keluarga guna meminimalisasi risiko penularan.
BPBD Sleman juga melengkapi fasilitas protokol kesehatan untuk barak pengungsian di desa lainnya. Hal itu dilakukan guna mengantisipasi apabila warga yang harus mengungsi bertambah banyak. Total ada 12 barak yang sudah disiapkan dengan protokol kesehatan berupa penyekatan dan pemasangan instalasi cuci tangan. Barak tersebut tersebar dari sisi timur hingga barat daya lereng Merapi di Kabupaten Sleman.
Dalam kondisi pandemi Covid-19, kapasitas barak dibatasi hanya 50 persen. Saat kondisi normal, barak yang disiapkan sebenarnya mampu menampung 300 orang. Dengan pembatasan, barak hanya menampung 150 pengungsi.
”Dengan berkurangnya kapasitas, sedangkan jumlah pengungsi terlalu banyak, ini yang sedang kami cari solusinya. Rencana awal, sebagian bangunan balai desa akan dimanfaatkan. Juga, kami sudah bekerja sama dengan sekolah-sekolah setempat untuk menggunakan sebagian bangunannya,” kata Joko.
Bukan hanya instalasi fisik protokol kesehatan yang disiapkan. Mekanisme pengawasan penerapan protokol kesehatan di barak pengungsian juga sudah terbentuk. Nantinya akan ada sukarelawan yang ditugaskan khusus mengawasi hal tersebut.
Tim khusus
Setiap desa telah membentuk tim khusus untuk mengawasi barak pengungsian. Para pengawas diharuskan berasal dari warga setempat untuk meminimalisasi risiko penularan Covid-19. Sebab, secara garis besar, desa-desa di lereng Merapi masih termasuk kawasan yang rendah penularan Covid-19.
Joko menuturkan, kondisi tersebut juga menjadi dasar tidak dilakukannya tes antigen terhadap pengungsi. Diasumsikan, tidak ada warga pengungsi yang terpapar Covid-19. Adapun pihak yang diwajibkan melakukan tes antigen adalah sukarelawan dari luar wilayah desa. ”Namun, jika nanti di desa tempat tinggal warga mulai banyak penularan Covid-19, tes bagi pengungsi akan kami lakukan,” katanya.
Kepala Desa Glagaharjo Suroto mengungkapkan, secara umum, warga sudah memahami protokol kesehatan. Namun, Covid-19 menjadi hal yang baru bagi mereka sehingga penerapan protokol kesehatan itu kadang-kadang terlupakan. Sosialisasi protokol kesehatan bakal digencarkan lagi.
”Di sini, kan, isinya orang-orang tua. Mereka itu sudah tahu dan mau manut disuruh pakai masker. Namun, ya sering kali lupa dipakai (maskernya). Masker dipakai kalau ada petugas saja,” kata Suroto.
Berdasarkan pantauan Kompas, selama aktivitas pengungsian masih berlangsung, sebagian besar pengungsi sudah taat mengenakan masker dan rajin mencuci tangan. Yang masih sulit dihindarkan adalah terciptanya kerumunan. Warga kerap kali duduk berkerumun di teras barak pengungsian. Sejumlah warga juga ada yang mengenakan masker hanya di dagunya.
Hal lain yang juga perlu dicermati yakni kunjungan pemberi bantuan ke barak pengungsian. Para pemberi bantuan masih sering langsung mendatangi area barak. Padahal, mereka seharusnya melaporkan kedatangan lebih dahulu di posko yang tersedia di balai desa. Banyak pula para pemberi bantuan yang mengenakan masker secara tidak benar.
”Ini menimbulkan kekhawatiran bagi kami karena pemberi bantuan itu kan dari luar desa. Selanjutnya, kami akan lebih ketat mengawasi. Semua yang masuk pengungsian harus satu pintu ke posko dulu,” kata Suroto.
Dihubungi terpisah, Riris Andono Ahmad, ahli epidemiologi UGM, menyatakan, meski dalam kondisi mengungsi, kerumunan sebisa mungkin dicegah. Hal itu penting untuk menurunkan risiko penularan Covid-19. Mekanisme pencegahan kerumunan bisa disesuaikan dengan situasi di lapangan.
Sekadar menyekat barak pengungsian, dinilai Riris, belum cukup mencegah penularan. Sirkulasi udara dari ruangan yang dijadikan barak pengungsian perlu dijamin kelancarannya. ”Kalau orang berada dalam satu gedung, ventilasi udara menjadi hal yang penting. Kalau hanya disekat-sekat tetapi ventilasi udara tidak terlalu baik akan mudah menyebarkan (Covid-19),” katanya.
Lalu, Riris menyatakan, apabila zona hijau menjadi dasar tidak dilakukannya penapisan kesehatan terhadap pengungsi, pihak-pihak dari luar desa yang beraktivitas di pengungsian harus dipastikan kondisi kesehatannya. Tingginya mobilitas sukarelawan dari luar daerah meningkatkan risiko penularan terhadap pengungsi. Lebih-lebih pengungsi terdiri dari kelompok rentan. Pengawasan ketat terhadap protokol kesehatan di pengungsian menjadi hal krusial.