Laju penularan Covid-19 yang makin tinggi mengakibatkan kondisi layanan kesehatan kolaps. Kondisi itu mengakibatkan sejumlah pasien kesulitan mendapatkan layanan kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi fasilitas pelayanan Covid-19 yang kolaps menyebabkan pasien tidak tertangani dengan baik. Peningkatan kapasitas layanan kesehatan kian mendesak dengan keterbukaan data ketersediaan tempat tidur serta sarana penunjang lainnya.
Di lain sisi, pembatasan sosial yang amat ketat harus dilakukan untuk menekan laju penularan kasus di masyarakat. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menyebutkan, kasus baru yang terkonfirmasi positif pada 25 Januari 2021 bertambah sebanyak 9.994 kasus dengan 297 kematian. Dengan begitu, total kasus di Indonesia mencapai 999.256 kasus dengan 28.132 kematian.
”Sejak akhir Desember 2020 hingga 21 Januari 2021, setidaknya LaporCovid-19 mendapat 34 laporan kasus pasien yang ditolak rumah sakit karena penuh. Kami juga menerima laporan pasien yang meninggal di perjalanan, termasuk di transportasi umum, di rumah, di unit gawat darurat (UGD), serta di puskesmas karena kesulitan mendapatkan perawatan intensif,” ujar Irma Hidayana dari LaporCovid-19 di Jakarta, Senin (25/1/2021).
Salah satu pasien di Tangerang Selatan yang sempat dibantu lewat LaporCovid-19 bahkan sampai meninggal di puskesmas karena sulitnya mendapatkan akses pelayanan intensif di rumah sakit.
Kondisi pasien yang meninggal dalam keadaan kegawatdaruratan di layanan primer bisa menjadi tanda bahwa fasilitas kesehatan sudah kolaps. Ini tidak hanya terjadi di Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, dan Bekasi, tetapi juga di wilayah lain, seperti Jawa Timur.
Yurdhina Meilissa dari Pusat Inisiatif dan Strategi untuk Pembangunan (Center for Indonesia\'s Strategic Development Initiative/CISDI) menambahkan, peningkatan kapasitas layanan kesehatan yang digaungkan oleh pemerintah dinilai tidak akan efektif mengatasi persoalan penanganan pasien Covid-19 tanpa disertai pembenahan data ketersediaan rumah sakit. Masyarakat saat ini seperti dibiarkan mengatur dan mencari rujukan perawatannya sendiri.
”Peningkatan kapasitas rumah sakit tidak pernah diikuti instruksi dan panduan yang jelas bagaimana mengatur lalu lintas pasien. Itu membuat pasien harus berputar-putar dan tidak jelas harus pergi ke mana untuk mencari rumah sakit yang masih tersedia tempat tidur,” ujarnya.
Peningkatan kapasitas rumah sakit tidak pernah diikuti instruksi dan panduan yang jelas bagaimana mengatur lalu lintas pasien.
Yurdhina menambahkan, pemerintah tidak pernah menyediakan data yang bisa diakses publik terkait ketersediaan kapasitas rumah sakit. Padahal, data ini amat diperlukan agar pasien bisa segera dirujuk ke rumah sakit yang masih memiliki kapasitas tempat tidur. Selain tempat tidur, kapasitas terkait fasilitas lain, seperti ventilator, obat, dan tenaga kesehatan yang dibutuhkan, juga perlu disampaikan kepada publik secara terbuka.
”Pemerintah juga perlu membenahi sistem rujukan yang terintegrasi yang menghubungkan di antara setiap layanan. Integrasi itu tidak hanya antarrumah sakit milik pemerintah ataupun swasta, tetapi juga layanan lain, seperti puskesmas,” ucapnya.
Irma menuturkan, pembenahan sistem rujukan di rumah sakit hanya solusi teknis untuk menangani jumlah pasien yang terus melonjak. Tingginya pasien yang harus ditangani di rumah sakit merupakan akibat dari laju penularan yang semakin tidak bisa dikendalikan.
”Harus ada perbaikan keras di hulunya. Pembatasan sosial yang sangat ketat diperlukan untuk menekan laju penularan sampai ke tingkat komunitas. Pengetatan wilayah (lockdown) akan semakin mempermudah upaya 3T (tes, telusur, dan tindak lanjut penanganan),” katanya.