Kerugian Bangunan Dominan, Standar Konstruksi Mendesak Ditingkatkan
›
Kerugian Bangunan Dominan,...
Iklan
Kerugian Bangunan Dominan, Standar Konstruksi Mendesak Ditingkatkan
Gempa yang mengguncang wilayah Sulawesi Barat menimbulkan kerugian mencapai Rp 829 miliar dan diperkirakan terus bertambah. Penataan wilayah dan aturan konstruksi mendesak dilakukan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
MAMUJU, KOMPAS — Gempa yang mengguncang wilayah Sulawesi Barat menimbulkan kerugian mencapai Rp 829 miliar dan diperkirakan terus bertambah. Kerusakan rumah dan bangunan mendominasi nilai ini, sekaligus menyebabkan korban meninggal akibat tertimpa bangunan. Penataan wilayah dan aturan konstruksi mendesak dilakukan.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah kerugian akibat gempa Sulbar mencapai Rp 829,1 miliar. Secara wilayah, nilai kerugian di Majene mencapai Rp 449,8 miliar, sementara di Mamuju Rp 379 miliar. Nilai ini diperkirakan terus bertambah seiring pendataan yang dilakukan.
Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Rifai menyampaikan, nilai ini bertambah karena data bangunan yang rusak terus masuk. Ribuan bangunan di Mamuju khususnya, baru dikompilasi ke dalam data yang dikumpulkan.
Dari nilai tersebut, nilai kerugian dari permukiman mendominasi dengan angka sekitar 7.000 rumah. Jumlah ini sekitar Rp 630 miliar atau lebih dari 75 persen dari total nilai kerugian. ”Selebihnya adalah sektor sosial, seperti kantor, pendidikan, dan kesehatan, serta ekonomi juga infrastruktur,” katanya di Mamuju, Sulbar, Rabu (27/1/2021).
Menurut Rifai, pendataan bangunan rusak juga masih terus dilakukan. Jumlah bangunan akan divalidasi untuk dikirimkan segera ke pusat sebagai dasar penerima bantuan ke depannya.
Selebihnya adalah sektor sosial, seperti kantor, pendidikan, dan kesehatan, serta ekonomi juga infrastruktur. (Rifai)
Gempa dengan magnitudo 6,2 yang menguncang Majene, Sulawesi Barat, pada Jumat (15/1/2021), menyebabkan 105 orang meninggal dan 3 orang dilaporkan masih hilang. Gempa ini juga menimbulkan kerusakan bangunan parah, termasuk Kantor Gubernur Sulawesi Barat, longsor yang menutup jalan, dan ribuan rumah yang rusak.
Kerusakan bangunan parah banyak terjadi di Mamuju dan Majene. Rumah sakit juga rusak parah dan rumah-rumah rata dengan tanah. Warga banyak yang meninggal akibat tertimpa bangunan. Sebagian besar warga kini hidup di tenda pengungsian karena trauma akan gempa susulan.
Konstruksi tahan gempa
Amry Dasar, pengajar di Fakultas Teknik Universitas Sulawesi Barat, menjabarkan, besarnya dampak kerusakan bangunan dari gempa yang terjadi beberapa waktu lalu menunjukkan sebagian besar rumah tidak dibangun dengan konstruksi tahan gempa. Standar teknis bangunan tidak laik fungsi dan sebagian besar bangunan memiliki struktur lemah.
”Bangunan itu harus menerapkan sistem rangka pemikul momen khusus (SPRMK), dalam hal ini di Sulbar adalah gempa. Dalam desain struktur bangunan itu, menganut prinsip kolom kuat balok lemah karena gempa bekerja secara horizontal. Makanya yang harus diperkuat itu tiang sebagai pengikat,” ujar Amry yang mengambil studi doktoral terkait konstruksi tahan gempa di Universitas Kyushu, Jepang.
Terlebih lagi, sambung Amry, wilayah Sulbar merupakan daerah rawan bencana kategori tinggi. Pemerintah pusat bahkan telah mengeluarkan dasar pembangunan konstruksi yang menyesuaikan skala gempa di wilayah Sulbar, khususnya Majene dan Mamuju. Sebelumnya yang hanya berada di skala II, sejak 2017 meningkat menjadi skala V, sesuai dengan pemetaan potensi gempa dan kerawanan bencana.
Hal ini berkorelasi dengan mutu beton yang harus ditingkatkan dalam membangun bangunan, juga terkait struktur kolom (tiang), fondasi, dan berbagai hal teknis lainnya. Sayangnya, hal ini belum menjadi perhatian utama selama ini sehingga sebagian besar bangunan dibangun tanpa memperhitungkan risiko gempa.
”Padahal, kita hidup berdampingan dengan daerah bencana. Struktur bangunan tahan gempa menjadi poin penting, selain penataan wilayah, setelah masa darurat bencana berlalu. Dan, semoga saja pemerintah juga mengaudit semua bangunan sebelum digunakan. Sebab, gempa susulan berpotensi merusak bangunan yang telah goyang dan rapuh,” katanya.
Tidak hanya skala gempa yang tinggi, wilayah Mamuju dan Majene juga memiliki nilai percepatan tanah maksimum (peak ground acceleration/PGA) dengan kategori lumayan tinggi. Daerah ini dalam peta Persyaratan Beton Struktural 2019, memiliki nilai 1,2 gal hingga 1,5 gal.
Percepatan tanah
Kepala Pusat Kebencanaan Universitas Hasanuddin Adi Maulana menuturkan, nilai ini sebenarnya termasuk moderat dalam skala percepatan tanah maksimum. Angka tersebut didapatkan dari mengukur percepatan tanah batuan dasar saat menerima energi. Jenis batuan dasar, dan jarak dengan sumber gempa, akan memengaruhi angka PGA ini.
”Semakin kecil nilai PGA, berarti jauh dari sumber gempa dan jenis batuan yang kemungkinan besar menyimpan energi. Sementara jika angkanya besar, maka berarti semakin dekat dengan sumber gempa. Belum lagi jenis batuan yang berada di daerah tersebut,” ucap Adi.
Di wilayah Mamuju dan Majene, terdiri dari batuan vulkanik dan karang. Dua jenis batuan ini sifatnya akan patah saat menerima energi, yang akan menimbulkan daya destruktif yang cukup besar. Dua wilayah ini juga berdekatan dengan Sesar Naik Mamuju. Pusat gempa Majene kali ini sangat berdekatan dengan sumber gempa yang memicu tsunami pada 23 Februari 1969 dengan kekuatan 6,9 pada kedalaman 13 kilometer.
Oleh sebab itu, tutur Adi, konstruksi bangunan harus ditingkatkan dengan menggunakan acuan gempa sebelumnya. Dengan sejarah pernah mencapai kekuatan 6,9, konstruksi bangunan minimal dibangun dengan daya tahan gempa di atas magnitudo 7.
”Di satu sisi, ada bangunan yang roboh, tetapi di sampingnya berdiri, berarti struktur bangunan sangat berbeda. Sebab, patahan akibat gempa akan membentuk jalur dan tidak timbul titik demi titik,” katanya.