Dalam sepekan terakhir indeks harga saham gabungan (IHSG) dikelilingi oleh sentimen negatif. Pelemahan indeks tak terbendung. Pada perdagangan Rabu (27/1/2021), IHSG ditutup melemah 0,50 persen ke level 6.109,17.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak akhir pekan lalu hingga pertengahan pekan ini, pasar modal dibombardir oleh sentimen negatif yang mengganggu persepsi para pelaku pasar. Namun, koreksi yang terjadi pada indeks saham dinilai masih wajar mengingat secara akumulasi investor asing sepanjang tahun ini masih mencatatkan pembelian bersih.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di zona merah pada perdagangan Rabu (27/1/2021) sebagaimana empat hari sebelumnya. Pada Rabu, IHSG berada di level 6.109,17, terkoreksi 0,5 persen dibandingkan dengan perdagangan hari sebelumnya. Sepanjang perdagangan, IHSG bergerak di kisaran 5.998.89 hingga 6.154,6.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang perdagangan, investor asing mencatatkan aksi jual senilai Rp 6,78 miliar. Dari seluruh saham yang diperdagangkan, sebanyak 140 saham menguat, 359 saham melemah, sementara 220 saham lainnya stagnan.
Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, IHSG dikelilingi sentimen negatif sehingga pelemahan indeks tidak terbendung sepekan terakhir. Kebijakan pemerintah untuk memperpanjang masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah wilayah Jawa-Bali membebani optimisme investor akan tercapainya pemulihan ekonomi.
Persepesi tersebut, lanjut dia, diperburuk dengan jumlah kasus positif Covid-19 yang sudah mencapai 1 juta kasus. ”Apa yang terjadi pada IHSG merupakan koreksi wajar atas respons investor terhadap kebijakan pemerintah terkait ekonomi,” ujar Nafan.
Apa yang terjadi pada IHSG merupakan koreksi wajar atas respons investor terhadap kebijakan pemerintah terkait ekonomi.
Akan tetapi, pelaku pasar masih memercayai mayoritas emiten-emiten pasar modal akan mencatatkan kinerja positif tahun ini. Optimisme tersebut terefleksi dari akumulasi aksi beli investor asing sejak awal Januari hingga 27 Januari 2020 yang tercatat mencapai Rp 11,81 triliun.
Nafan mengungkapkan, sejumlah penyebab investor asing masih rajin melakukan pembelian saham sejumlah emiten, salah satunya disebabkan oleh efek Januari di mana harga saham cenderung menguat seiring dengan kinerja positif para emiten di awal tahun.
”Efek Januari merupakan fenomena tahunan yang terjadi pada pasar modal, yang mana harga saham-saham membukukan kinerja positif di bulan pertama,” ujarnya.
Nafan percaya, jika distribusi dan implementasi vaksin berjalan lancar sesuai dengan yang ditargetkan pemerintah, sentimen pelaku pasar akan pulih sepenuhnya. Kembali berputarnya roda ekonomi akan mengerek kinerja positif dari emiten di sepanjang 2021.
Selain itu, terdapat katalis penguatan IHSG lain yang bersumber dari dalam negeri, yakni perkembangan positif dari Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang ditandai oleh pelantikan anggota Dewan Pengawas LPI oleh Presiden Joko Widodo.
”Pelaku pasar, juga tengah menantikan komitmen pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja,” ujarnya.
Sementara itu, analis Phintraco Sekuritas, Valdy Kurniawan, memprediksi, hingga akhir pekan IHSG cenderung masih berpotensi mengalami pelemahan. Secara teknikal, pergerakan IHSG masih mengindikasikan adanya tekanan penjualan.
”Di samping itu, IHSG juga masih dibayangi sikap wait and see pelaku pasar menjelang pengumuman data pertumbuhan ekonomi AS dan data terbaru sektor ketenagakerjaan AS pada Kamis malam,” ujarnya.
Sentimen eksternal lain, lanjut Valdy, berasal dari penyampaian kebijakan suku bunga acuan The Fed dan konferensi pers Kepala The Fed Jerome Powell pada Kamis dini hari. Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar masih mengantisipasi data inflasi Januari 2021 yang dijadwalkan rilis awal pekan depan.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyatakan, pascapandemi Covid-19, upaya menjaga keseimbangan antara suplai dan permintaan di pasar modal menjadi krusial. Guna menjaga permintaan dan penawaran investasi di pasar modal, OJK akan menggenjot kebijakan dan instrumen dalam menambah pasokan di pasar modal.
”Kalau instrumen tak ditambahi, permintaan dan pasokan bisa tidak seimbang sehingga harga saham bisa terganggu. Hal inilah yang harus dikendalikan sepanjang 2021 dengan cara mempercepat dan mempermudah emiten dalam menghimpun dana di pasar modal,” ujarnya.