Perketat Aturan Pengelolaan Limbah Kapal di Pelabuhan
›
Perketat Aturan Pengelolaan...
Iklan
Perketat Aturan Pengelolaan Limbah Kapal di Pelabuhan
Mayoritas pelabuhan perikanan di Indonesia cenderung tercemar. Pengelola pelabuhan dapat menerapkan aturan yang lebih ketat untuk menghentikan pencemaran yang berdampak pada lingkungan, ekonomi, dan kesehatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi mayoritas pelabuhan perikanan di Indonesia cenderung mengalami pencemaran yang berasal dari darat dan laut. Pengelola pelabuhan dapat menerapkan aturan yang lebih ketat untuk memastikan sampah atau limbah dari kapal tidak dibuang ke laut secara sembarangan.
Direktur Kepelabuhan Kementerian Perhubungan Subagiyo menyampaikan, setiap tahun Kemenhub menangani limbah di sejumlah pelabuhan di Indonesia. Hasilnya, Pelabuhan Panjang (Bandar Lampung, Lampung) menjadi pelabuhan dengan volume limbah dari air pemberat (water ballast) kotor terbanyak mencapai 66.827 meter kubik per tahun, disusul Pelabuhan Boom Baru (Palembang, Sumatera Selatan) dengan 32.631 meter kubik per tahun, dan Pelabuhan Banten 15.929 meter kubik per tahun.
Sementara pada limbah yang berasal dari pencucian tangki minyak, tiga pelabuhan tercatat memiliki limbah terbanyak, yakni Pelabuhan Panjang, Banten, dan Teluk Bayur (Padang, Sumatera Barat) dengan volume limbah mencapai 26.731 meter kubik per tahun. Selain tiga pelabuhan tersebut, Pelabuhan Boom Baru tercatat memiliki volume limbah 13.052 meter kubik per tahun.
”Khusus Pelabuhan Tanjung Pandan (Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung) dan Cirebon (Jawa Barat), data yang ada di kami memiliki volume limbah paling sedikit dibandingkan pelabuhan yang lain,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Mengatasi Sampah Laut yang Bersumber dari Kegiatan di Kapal dan Pelabuhan Komersil”, Rabu (27/1/2021).
Koordinator Restorasi Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, Hery Gunawan Daulay, menyampaikan, 80 persen kebocoran sampah ke laut berasal dari darat dan 20 persen merupakan kegiatan di laut. Beberapa kegiatan yang berpotensi mencemari itu di antaranya perikanan tangkap, budidaya laut, dan pencemaran dari aktivitas transportasi laut.
”Menurut data kami, ada 37 kasus tumpahan minyak mentah dari tahun 1998 hingga 2017 yang sampai saat ini juga belum selesai permasalahan ini. Terdapat juga sekitar 9 juta ton per tahun sampah yang masuk ke laut,” tuturnya.
Hery menjelaskan, selain mengganggu sektor pariwisata, pencemaran laut juga berdampak pada kehidupan biota laut yang dilindungi ataupun dikonsumsi manusia. Dalam jangka panjang, akumulasi dari bahan kimia ataupun mikroplastik dari biota laut yang dikonsumsi manusia akan menjadi racun dan menimbulkan penyakit berbahaya.
Kapal-kapal yang bekerja di lepas pantai biasanya tidak kembali ke daratan hingga satu bulan sehingga kebutuhan akan disposal (pembuangan) juga perlu diperhatikan.
Guna mengatasi pencemaran laut ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta kementerian terkait lainnya menerapkan sejumlah strategi, di antaranya gerakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengelolaan sampah yang bersumber dari darat.
”Bagi pengelola pelabuhan juga diharapkan dapat menerapkan aturan yang ketat. Pengelola pelabuhan perlu memastikan sampah dari kapal perdagangan ataupun kapal penumpang agar dikelola pada fasilitas pengelolaan limbah yang ada dan tidak dibuang ke laut secara sembarangan,” katanya.
Kepala Bidang Organisasi dan Keanggotaan Indonesia National Shipowners Association (INSA) Zaenal Hasibuan berharap, fasilitas pengelolaan limbah di semua pelabuhan dapat diperbanyak. Fasilitas pengelolaan limbah tersebut juga harus bersifat dinamis karena banyak kapal yang tidak membutuhkan waktu lama untuk bersandar.
”Selain kapal, perhatian yang serius juga perlu dilakukan pada pengeboran yang berada di tengah laut dengan jumlah penggunaan bahan bakar yang besar. Kami harap pengaturan ini tetap dalam satu atap Kementerian Perhubungan. Sebab, kapal-kapal yang bekerja di lepas pantai biasanya tidak kembali ke daratan hingga satu bulan sehingga kebutuhan akan disposal (pembuangan) juga perlu diperhatikan,” tuturnya.