Saat Siswa Kupang Melepas Kangen di Sekolah
Pembelajaran jarak jauh atau dalam jaringan bukan hal yang mudah dilakukan di Kupang. Beragam keterbatasan siswa membuat pembelajaran kurang efektif. Bisa menyerap 30-40 persen materi kurikulum saja sudah bagus.
Satu per satu siswa SMPN 20 Kota Kupang datang dan pergi dari sekolah itu. Mereka mengambil bahan pelajaran untuk dikerjakan di rumah sekaligus bertemu teman, melepas kangen. Lebih dari 10 bulan mereka terpisah dari kebersamaan di sekolah akibat pandemi Covid-19.
Sebagian mereka memilih belajar secara luar jaringan, sebagian besar belajar secara dalam jaringan. Terpenting, kegiatan belajar mengajar tetap berjalan meski penyerapan kurikulum hanya berkisar 30-40 persen.
Marince Otnif (13), siswa kelas VII SMPN 20 Kupang, duduk di depan ruang guru SMPN 20 di Kupang, Kamis (21/1/2021). Ia datang mengambil materi pelajaran untuk dikerjakan di rumah karena materi sebelumnya telah dikerjakan sekaligus ingin berjumpa dengan Ina (13), teman kelas VII C. Sudah dua pekan terakhir mereka tidak bertemu secara fisik.
”Kami hanya bicara lewat telepon. Selama ini ia belajar secara online atau dalam jaringan atau daring, ia tidak pernah ke sekolah. Ia belajar dari rumah saja. Belajar daring lebih tertib karena kita tidak bisa ke mana-mana. Kalau saya, setiap hari Senin datang ambil bahan, kemudian hari Sabtu menyerahkan hasil pekerjaan saya ke sekolah,” kata Marince.
Siswa yang belajar secara luring sering bertemu di sekolah saat datang menyerahkan dan mengambil materi pelajaran. Siswa yang belajar secara daring jarang datang ke sekolah.
Baca juga : Pendidikan Literasi sebagai Pemberdayaan Hidup Masyarakat NTT
Sebenarnya para siswa ini bisa saling bertemu di tempat lain, seperti mal atau warung makan. Tetapi dalam kondisi pandemi seperti sekarang, petugas Satgas Covid-19 selalu mengingatkan masyarakat agar tidak berkumpul.
Mia Ndolu (14), salah satu dari tiga siswa kelas II A, itu, mengatakan, lebih suka belajar secara luring karena tidak terganggu dengan jaringan internet, listrik, ponsel, dan pulsa data.
”Saya tidak mau merepotkan orangtua karena kami di rumah ada empat orang sekolah. Dua kakak sedang kuliah, kakak yang satu di bangku SMA, dan saya masih di SMP. Saya memilih belajar luring demi kakak-kakak dan kedua orangtua,” kata Mia.
Ia lebih suka datang ke sekolah mengambil materi pelajaran selama satu pekan. Biasanya, dia ke sekolah bersama teman perempuannya. Di sekolah itu, mereka masih sempat mengobrol tentang apa saja, termasuk materi pelajaran yang dikerjakan di rumah dan masalah pandemi Covid-19 yang kian meluas di masyarakat Kupang.
Belajar secara daring jauh lebih sulit bagi siswa karena tidak bisa bertanya langsung kepada guru. Kecuali siswa yang orangtuanya berlatar belakang pendidikan guru atau pernah duduk di bangku kuliah. Orangtua berpendidikan tinggi seperti ini sering membantu anak belajar di rumah.
Namun, masalah muncul saat orangtua itu pergi bekerja di kantor. Anak-anak itu kesulitan bertanya. Kecuali di rumah ada kakak yang memiliki pendidikan cukup tinggi dan memahami materi dari sekolah itu.
Baca juga : Pendidikan Tatap Muka di NTT Belum diberlakukan
Amaz Kehagitu (13), siswa lain, diantar ayahnya, Maksi Kehagitu (49), ke sekolah, mengambil rapor. Nilai ujian semester ganjil yang diperlihatkan hari itu rata-rata delapan. Nilai tinggi semacam itulah yang diperoleh mayoritas siswa bahkan juga mahasiswa perguruan tinggi di NTT.
Kehagitu terlambat mengambil buku rapor karena baru pulang bersama orangtua dari Rote Ndao. Ia terlambat mengikuti kegiatan belajar mengajar secara luring di sekolah itu. Ia memilih belajar luring karena keterbatasan ponsel. Di rumah itu hanya ada satu ponsel, digunakan kakak Amaz yang sedang duduk di bangku SMA.
Wakil Kepala SMPN 20 Oesapa Kota Kupang Rufina Milo mengatakan, jumlah 809 siswa di sekolah itu. Mereka itu sering berganti-ganti memilih belajar secara daring dan luring. Mereka ingin mencoba sistem mana yang mempermudah mereka untuk belajar.
Selama Juli 2020-November 2020, dari 809 siswa itu, yang memilih belajar daring 607 orang, sementara belajar luring 202 orang. Desember 2020, yang memilih belajar daring 647 siswa dan luring 162 orang.
”Minat siswa belajar luring dan daring ini tidak tetap. Ada yang bulan ini belajar daring, bulan depan ganti ke luring. Jadi, tertantung situasi dan kondisi siswa seperti ketersediaan ponsel, pulsa data, tingkat kesulitan belajar, dan lain-lain. Soal perolehan nilai ujian, luring dan daring hampir sama saja,” kata Milo.
Baca juga : Kejar Ketertinggalan Pendidikan di NTT
Ia mengatakan, hasil evaluasi sekolah dengan komite sekolah, kebanyakan orangtua, siswa, dan guru lebih suka belajar daring. Tetapi persoalan cukup banyak menghadang, seperti keterbatasan pulsa data, telepon seluler, dan jaringan internet.
Ada siswa memilih belajar daring, tetapi kebanyakan orangtua mengajak anak-anak itu membantu orangtua bekerja di kebun, membersihkan rumput. Anak-anak ini akhirnya tidak mengerjakan soal-soal atau tugas-tugas yang disampaikan secara daring.
Ada pula orangtua yang bekerja sebagai nelayan dan keluarga itu hanya memiliki satu ponsel. Saat ayahnya pergi melaut ponsel itu dibawa sehingga anak tidak lagi mengerjakan soal secara daring. ”Tiba-tiba saja guru-guru tidak tahu informasi soal anak ini. Setelah ditelusuri di rumah, ternyata ponsel itu dibawa orangtua untuk melaut,” kata Milo.
Juga ada siswa yang orangtuanya di luar Kupang, misalnya di Soe, Kefamenanu, Rote Ndao, Atambua, dan Betun. Anak-anak itu tinggal di Kupang mengikuti saudara, paman, atau kerabat. Di saat pandemi Covid-19, kebanyakan di antara mereka pulang ke kampung asal sehingga belajar secara daring pun sangat terganggu.
”Guru harus pergi ke rumah siswa itu, meski jauh sekalipun. Ini demi kebaikan anak itu, sekaligus memastikan penyebab utama yang dihadapi siswa itu, kemudian mencari jalan keluar bersama,” kata Milo.
SMPN 20 memberi laporan secara teratur ke dinas pendidikan terkait kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah masing-masing, rutin setiap bulan mengenai KBM di sekolah itu. Jumlah siswa belajar secara daring dan jumlah secara luring, dan kondisi sekolah secara keseluruhan. Angka kelulusan sekolah itu sejak 10 tahun terakhir selalu 100 persen.
Baca juga : Mutu Pendidikan di Kota Kupang Anjlok Urutan 18
Di SD Inpres Liliba Kupang, dari jumlah 830 siswa, sekitar 750 siswa belajar secara daring dan hanya 80 siswa belajar luring. Setiap hari siswa SD yang belajar luring itu datang ke sekolah mengambil materi pelajaran untuk belajar di rumah.
”Pada periode April-Desember 2020, siswa masih diperkenankan belajar melalui sistem radio, handy talkie. Sekarang tidak diperkenankan lagi karena sistem itu juga memungkinkan siswa berkerumun lagi. Saat ini, Covid-19 makin mengkhawatirkan karena sistem penyebaran melalui transmisi lokal sangat tinggi,” kata Kepala SD Inpres Liliba Yustinus Tukan.
Lain lagi dengan kondisi SMK Wira Karya Kupang. Guru SMK Wira Karya Kupang Benediktus Namang mengatakan, siswa di sekolah itu berasal dari hampir seluruh kabupaten/kota di NTT. Saat pandemi sekarang, kebanyakan anak-anak memilih belajar secara daring karena orangtua kirim ponsel sekaligus pulsa data.
Namun, belajar daring ini tidak ada yang kontrol siswa dari rumah. Kebanyakan siswa tinggal dengan orang lain, seperti om, tante, dan anggota keluarga lain. Ada siswa tiba-tiba tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar selama satu pekan, guru pun terpaksa berkunjung ke rumah, memastikan kondisi siswa.
Guru-guru berupaya agar KBM tetap berjalan dan siswa bisa menyerap 30-40 persen materi Kurikulum 2013. Kondisi pandemi saat ini, pihak sekolah lebih fokus menjaga kesehatan siswa dan guru sendiri. Apalagi kasus transmisi lokal terus mengalami lonjakan.
”Jangan tanyakan mutu pendidikan, saat tidak ada pandemi Covid-19 saja pendidikan kita butuh banyak pembenahan, apalagi dalam kondisi pandemi ini. Intinya kegiatan belajar mengajar jalan dan siswa-siswa aktif,” kata Namang.
Baca juga : Mendikbud dan Cara Melihat Pendidikan di NTT