Satu Juta Kasus Covid-19 dan Kolapsnya Fasilitas Kesehatan
›
Satu Juta Kasus Covid-19 dan...
Iklan
Satu Juta Kasus Covid-19 dan Kolapsnya Fasilitas Kesehatan
Jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat hingga menembus angka satu juta orang. Salah satu kelemahan mendasar penanganan pandemi ini yakni minimnya tes, pelacakan, dan isolasi kasus.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penambahan kasus Covid-19 di Indonesia telah melewati angka 1 juta, tetapi situasi lebih buruk masih bisa terjadi. Lemahnya tes, lacak, dan isolasi di Indonesia menyebabkan lebih banyak lagi kasus belum ditemukan dan berpotensi membesar sehingga bisa menyebabkan layanan kesehatan kolaps.
Penambahan kasus baru Covid-19 pada Selasa (26/1/2021) mencapai 13.094 sehingga secara akumulatif mencapai 1.012.350 kasus. Sedangkan korban jiwa bertambah 336 orang sehingga total menjadi 28.468 orang.
Penambahan korban jiwa dalam sehari ini merupakan rekor tertinggi kedua sejak Maret 2020. Rekor penambahan korban jiwa tertinggi terjadi pada 21 Januari 2021, yaitu mencapai 346 dalam sehari.
Dengan jumlah kasus ini, Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mencapai 1 juta kasus Covid-19. Sedangkan menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penambahan korban jiwa di Indonesia dalam sepekan terakhir merupakan yang tertinggi di Asia dan peringkat ke-12 di dunia.
”Jumlah kasus di Indonesia sebenarnya jauh lebih besar dari satu juta karena jumlah orang yang dites masih sangat kurang,” kata epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan.
Jumlah kasus di Indonesia sebenarnya jauh lebih besar dari satu juta karena jumlah orang yang dites masih sangat kurang.
Di luar kasus yang terkonfirmasi ini, menurut Iwan, masih banyak orang yang telah tertular dan terus menularkan. ”Kita belum mencapai puncak, tetapi fasilitas kesehatan telah kewalahan sehingga korban jiwa terus meningkat. Saya khawatir situasi saat ini bukan yang terburuk yang akan kita hadapi,” katanya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, tren meningkatnya jumlah kematian dalam sehari menandai fasilitas kesehatan telah menuju kolaps. Situasi ini bakal lebih buruk jika kasus terus membesar. ”Jumlah kasus di Indonesia saya perkirakan sebenarnya sudah mencapai tiga kali lipat dari yang telah ditemukan. Itu berarti jauh lebih banyak yang belum ditemukan,” ujarnya.
Mengacu pada pemodelan oleh Centre for Global Infectious Disease Analysis, Imperial College London, penambahan kasus Covid-19 di Indonesia saat ini telah mencapai 257.748 kasus per hari. Menurut Dicky, pemodelan itu dibuat dengan menghitung berbagai faktor, di antaranya tren kematian dan test positivity rate (rasio tes positif).
”Rasio tes positif yang mencapai 28,3 persen dalam sepekan terakhir menunjukkan penularan sudah sangat masif. Jika tes, lacak, dan isolasi kita tidak segera ditingkatkan, kesenjangan antara penularan di komunitas dan kasus yang ditemukan akan semakin besar dan itu sangat berbahaya karena membuat Covid-19 semakin tak terkendali,” katanya.
Pembatasan total
Menurut Iwan, melihat laju penularan saat ini, upaya pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dinilai tidak akan efektif lagi menekan ledakan kasus. Ini karena situasi penularan saat ini jauh lebih dalam dibandingkan dengan saat diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tahun lalu.
”Virusnya sudah telanjur masuk ke komunitas dalam skala mikro. Sekarang orang bisa tertular walau hanya keluar ke tetangga rumahnya. Jadi, harus benar-benar bertahan di dalam lingkaran keluarga terkecil,” ujarnya.
Dengan PPKM yang lebih longgar ketimbang PSBB, menurut Iwan, penularan kasus Covid-19 di Indonesia dikhawatirkan membesar dalam waktu cepat sehingga melumpuhkan layanan kesehatan. ”Seberapa pun ada penambahan fasilitas kesehatan, kalau penularan masih sepeti ini akan sulit menampung pasien,” katanya.
Tes dan lacak
Baik Dicky maupun Iwan mengatakan, salah satu kelemahan mendasar dalam penanggulangan pandemi di Indonesia terjadi karena lemahnya tes, lacak, dan isolasi.
”Sekalipun saat ini ada penambahan jumlah tes, masih jauh dari memadai karena positivity rate kita sudah sangat tinggi. Jumlah tes harus berlipat dari ambang minimal WHO 1 per 1.000 populasi per minggu karena itu jika test positivity rate hanya 5 persen,” kata Dicky.
Iwan menyarankan agar pemerintah segera menggunakan tes cepat antigen untuk mendukung pemeriksaan tes dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR) yang masih menjadi kendala besar.
Fenomena ini, misalnya, dilakukan di India yang berhasil melakukan pemeriksaan hingga 1 juta orang dan saat ini menunjukkan mulai mengalami penurunan jumlah kasus ataupun kematian.
Menurut Iwan, peningkatan jumlah tes harus diiringi dengan kemampuan pelacakan kasus agar sasaran tes tidak keliru. ”Menkes beberapa waktu lalu juga sudah menyampaikan, selama ini tes kita salah sasaran karena lebih banyak untuk syarat orang mau bepergian bukan untuk pelacakan kasus,” ujarnya.
Sesuai dengan standar WHO, dari satu kasus positif harus dilacak 30 kontak eratnya. Sementara kalau menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) Amerika Serikat, minimal 1 banding 10.
”Anehnya di Indonesia, rasio lacak tidak termasuk indikator yang harus dilaporkan daerah. Kami sudah mengusulkan hal ini sejak April 2020, ini indikator epidemologi yang seharusnya ada,” ungkapnya.
Menurut Iwan, kita tidak bisa hanya mengandalkan tenaga kesehatan dari puskesmas untuk melakukan pelacakan. Banyak negara lain, seperti Australia, harus merekrut tenaga khusus untuk melakukan pelacakan. Hal itu harus menjadi prioritas, selain peningkatan tes.