Sebagian Ikan Karang Beradaptasi terhadap Penghangatan Air Laut
›
Sebagian Ikan Karang...
Iklan
Sebagian Ikan Karang Beradaptasi terhadap Penghangatan Air Laut
Peneliti mengamati spesies ikan kardinal dan ekor kuning untuk melihat perubahan fisiologis mereka saat suhu lingkungannya meningkat.
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
Peningkatan rata-rata suhu global yang turut berdampak pada lautan mengakibatkan ekosistem terumbu karang di berbagai belahan dunia terancam kolaps. Seperti terumbu karang penghalang besar (Great Barrier Reef) di Australia yang berulang kali terkena gelombang panas air laut pada tahun 2016, 2017, dan 2020.
Selain mematikan karang, gelombang panas itu pun berdampak pada kelangsungan hidup ikan karang. Ada yang mati, ada pula yang bertahan karena mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu tersebut.
Untuk menjawab bagaimana ikan-ikan tersebut bertahan dan terdampak, sekelompok ilmuwan dari Pusat Unggulan dari Badan Penelitian Australia (ARC) yang bermarkas di Universitas James Cook mengambil contoh jenis ikan kardinal garis lima dan ekor kuning perut merah (fusilier) dari Great Barrier Reef. Mereka menempatkan setiap ikan tersebut dalam akuarium terkontrol dengan memberikan perlakuan peningkatan suhu dan mencatat respons fisiologisnya dari waktu ke waktu.
Penelitian ini bisa memberikan informasi kepada masyarakat yang mengandalkan ikan terumbu karang untuk makanan, budaya, pekerjaan, dan mata pencarian.
Studi ini diterbitkan dalam jurnal eLife pada 26 Januari 2021 berjudul Aklimatisasi Panas pada Ikan Karang Tropis terhadap Gelombang Panas Global.
Jodie Rummer dari Pusat Keunggulan ARC untuk Studi Terumbu Karang mengatakan, dalam penelitian ini suhu dalam akuarium tersebut ditambah secara perlahan-lahan hingga 3 derajat celsius. Ini merupakan suhu musim panas rata-rata yang dialami bagian utara Great Barrier Reef. Selanjutnya, tim peneliti mengukur dan mencatat 18 ciri fisiologis pada kedua spesies selama lima minggu.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memperkirakan suhu permukaan laut naik 2-4,8 derajat celsius pada akhir abad ke-21. Kondisi itu juga mengakibatkan peningkatan frekuensi dan keparahan gelombang panas ekstrem yang dialami di seluruh dunia.
”Hanya dalam beberapa hari, gelombang panas ini dapat meningkatkan suhu air sebesar 5 derajat celsius di atas suhu rata-rata musiman, dan gelombang panas tersebut dapat berlangsung selama beberapa minggu,” kata Rummer dalam laman ARC, 27 Januari 2021.
Dia mengatakan, ikan fusilier menunjukkan respons cepat terhadap tekanan termal dengan perubahan yang hampir langsung terdeteksi pada morfologi insang dan parameter darah. Namun, respons ikan kardinal tertunda, dan mereka tampaknya jauh lebih tidak dapat menyesuaikan diri dengan suhu yang meningkat.
Tim mengidentifikasi tujuh parameter di kedua spesies yang mungkin berguna sebagai penanda biologis untuk mengevaluasi seberapa cepat dan sejauh mana ikan terumbu karang dapat mengatasi suhu tinggi. ”Temuan kami sangat meningkatkan pemahaman kami saat ini tentang respons fisiologis yang terkait dengan ancaman dan gangguan termal yang sedang berlangsung, termasuk spesies mana yang paling berisiko,” kata asisten Jacob Johansen dari Institut Biologi Laut Hawaii.
Para peneliti mengatakan, studi ini tepat waktu mengingat penurunan cepat terumbu karang tropis di seluruh dunia, termasuk peristiwa pemutihan dan kematian massal terumbu karang yang belum pernah terjadi sebelumnya dan berulang kali di Great Barrier Reef pada 2016, 2017, dan 2020—semuanya disebabkan oleh gelombang panas musim panas.
”Pemenang dan pecundang perubahan iklim pada akhirnya akan ditentukan oleh kapasitas mereka untuk mengompensasi tekanan termal baik dalam jangka pendek berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, maupun juga dalam jangka tahun, dekade, dan abad yang lebih panjang,” kata rekan penulis Lauren Nadler dari Nova Southeastern University di Amerika Serikat.
Rummer mengatakan, temuan ini sangat berguna bagi para ilmuwan, pengelola, dan perencana konservasi, serta pembuat kebijakan yang bertugas melindungi ekosistem terumbu karang. Selain itu, tak kalah penting, penelitian ini bisa memberikan informasi kepada masyarakat yang mengandalkan ikan terumbu karang untuk makanan, budaya, pekerjaan, dan mata pencarian.
”Secara kolektif, kita perlu memiliki indikasi spesies mana yang akan bertahan hidup dan mana yang paling rentan terhadap perubahan iklim sehingga kita dapat mengambil tindakan. Keputusan yang kita buat pada hari ini akan menentukan seperti apa terumbu karang di masa depan,” katanya.