Surplus produksi daging ayam tahun ini diperkirakan 771.373 ton, sementara kelebihan produksi telur ayam diprediksi 32.261 ton. Para peternak ayam mencemaskan dampaknya terhadap harga jual daging dan telur.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan pelaku perunggasan nasional menghadapi tantangan menangani potensi surplus produksi daging dan telur ayam nasional tahun ini. Tanpa solusi jitu, surplus bakal kembali memukul usaha peternak ayam pedaging maupun petelur, terutama karena harga jual anjlok di bawah ongkos produksi.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami menyatakan, suplai telur dan daging ayam berpotensi berlebih pada 2021. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, produksi daging ayam ras diperkirakan 3,97 juta ton, sementara kebutuhan nasional 3,19 juta ton. Artinya, kelebihan produksi daging ayam ras mencapai 771.373 ton tahun ini.
Adapun kelebihan produksi telur ayam diperkirakan bisa mencapai 32.261 ton. Sebab, produksinya diprediksi 5,09 juta ton, sementara kebutuhan nasional berkisar 5,06 juta ton.
”Akan seperti apa strategi penyeimbangan permintaan dan penawarannya? Apakah harus afkir lagi?” kata Dawami dalam diskusi ”Kebijakan Berbasis Evidence dalam Industri Unggas” yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), dan IPB University, secara daring, Selasa (26/1/2021).
Menurut Dawami, pemerintah seharusnya tak hanya memantau produksi, tetapi juga meningkatkan konsumsi telur dan daging ayam. Caranya antara lain dengan menyerap telur dan daging ayam yang diproduksi oleh peternak dalam negeri sebagai bagian dari program bantuan sosial terkait pandemi Covid-19.
Dampak kelebihan suplai dinilai telah dirasakan oleh peternak ayam petelur. Presiden Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi menyebutkan, DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan 60 persen pangsa pasar telur peternak nasional. Pandemi menekan permintaan dari kedua provinsi tersebut sehingga menekan harga di tingkat peternak. ”Stok kami tertahan dan tidak bisa keluar 3-4 hari ini. Terkadang kami terpaksa membuang telur hasil produksi,” katanya.
Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University Muladno menyatakan, karut-marut data menjadi problem yang belum tuntas. Sejumlah lembaga pemerintah memiliki versi data yang berbeda. Akibatnya, kelebihan produksi tak tertangani, tak jarang peternak harus berunjuk rasa untuk memprotes harga jual yang terlampau rendah.
Selain data yang akurat, transparan, dan mencerminkan situasi terkini, upaya membangun industri perunggasan nasional memperlukan kerja sama yang solid antarkementerian dan lembaga negara. Menurut Muladno, problem kelebihan produksi tidak bisa semata diselesaikan oleh Kementerian Pertanian di sisi produksi atau Kementerian Perdagangan di sisi perdagangan.
Dalam dua tahun terakhir, harga jual daging dan telur ayam di tingkat peternak berulang anjlok. Pada Maret-April 2020, misalnya, harga ayam hidup anjlok hingga Rp 4.500-Rp 5.000 per kg. Padahal, ongkos produksinya mencapai Rp 18.000 per kg, sementara Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 menetapkan harga acuan ayam di tingkat peternak Rp 19.000-Rp 21.000 per kg.
Upaya penting guna menangani surplus produksi adalah dengan menggenjot konsumsi nasional. Menurut Dawami, selama ini intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga ditempuh dengan cara mengendalikan produksi, antara lain melalui pemotongan telur tertunas dan afkir dini.
Padahal, upaya meningkatkan konsumsi daging dan telur ayam oleh penduduk tidak kalah penting. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam survei konsumsi bahan pokok memperkirakan konsumsi daging ayam nasional pada tahun 2019 mencapai 12,13 kg per kapita per tahun.
Kendalikan produksi
Terkait fluktuasi harga unggas, Kementerian Pertanian berulang menerbitkan surat edaran guna mengendalikan produksi. Sejak 26 Agustus 2020 hingga Januari 2021, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian menerbitkan enam surat edaran pemotongan produksi guna menstabilkan harga.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasrullah, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (26/1/2021) menyatakan, upaya pengendalian produksi menunjukkan hasil yang positif. Menurut laporan Petugas Informasi Pasar, harga ayam hidup nasional rata-rata naik 9,45 persen selama September 2020 hingga Januari 2021. Di tingkat peternak, harga berangsur naik dari Rp 17.124 per kilogram (kg) pada September menjadi Rp 20.200 per kg pada pekan ketiga Januari.
Menurut Nasrullah, kenaikan harga ayam hidup yang sesuai harga acuan sebagaimana diatur dalam Permendag Nomor 7 Tahun 2020, berpengaruh pada kenaikan permintaan bibit ayam (day old chick final stock/DOC FS). Harga DOC FS pun naik dari Rp 5.000 per ekor jadi Rp 7.000 per ekor.
Guna melindungi kepentingan peternak skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), kata Nasrullah, setiap perusahaan pembibit diminta memprioritaskan distribusi 50 persen DOC FS produksinya untuk peternak rakyat dengan harga sesuai acuan Permendag, yakni Rp 5.500 per ekor hingga Rp 6.000 per ekor.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menambahkan, pemerintah tengah membenahi sektor perunggasan nasional guna meningkatkan kesejahteraan peternak rakyat. Pihaknya mengharapkan masukan, usulan, saran, kritik, dan bantuan pengawasan masyarakat agar target stabilisasi dan meningkatkan kesejahteraan peternak dapat tercapai.