Bisnis Satwa Langka di Bekasi Dibongkar, Satu Orangutan Ditemukan
›
Bisnis Satwa Langka di Bekasi ...
Iklan
Bisnis Satwa Langka di Bekasi Dibongkar, Satu Orangutan Ditemukan
Cara hidup orangutan di alam liar menjadikannya sebagai pelestari lingkungan sejati. Orangutan membuang biji buah yang dimakannya ke berbagai titik dan membantu rehabilitasi hutan.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya membongkar bisnis jual-beli satwa dilindungi yang dijalankan YI, seorang warga di Kabupaten Bekasi. Dari penggeledahan di tempat YI menyembunyikan hewan langka, petugas mendapatkan seekor orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang masih bayi.
Polisi juga menemukan tiga burung beo nias (Gracula robusta) dan tiga lutung jawa (Trachypithecus auratus). Pelaku mengaku sudah menjual owa jawa, elang jawa, rangkong, kakatua jambul kuning, dan kucing hutan. ”Sudah dijalankan sejak Agustus 2020, tetapi ini baru pengakuannya. Kami masih dalami terus,” tutur Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus di Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Sebagai kamuflase, YI berjualan hewan yang bukan tergolong satwa dilindungi di sebuah kios di Desa Sukadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi. Sementara bisnis haram perdagangan satwa langka dijalankan secara diam-diam dengan menyiapkan tempat tersembunyi untuk menyimpan hewan.
Bayi orangutan kalau di sini Rp 35 juta, kalau di luar negeri bisa 10.000 dollar AS-15.000 dollar AS (Rp 141,2 juta-Rp 211,8 juta). (Wiratno)
Yusri mengatakan, pihaknya juga memeriksa ada atau tidaknya kemungkinan tersangka terlibat dalam jaringan internasional, mengingat selama ini banyak satwa dilindungi asal Indonesia yang diselundupkan ke luar negeri.
Pengungkapan berawal dari adanya informasi masyarakat terkait jual-beli satwa ilegal yang ditindaklanjuti dengan penyelidikan oleh tim Subdirektorat III/Sumber Daya Lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, tanggal 19 Januari. Petugas mendapatkan kabar bahwa bisnis dijalankan YI, pemilik kios burung di Pasar Sukatani.
Modusnya dengan mencari penjual satwa langka, membeli satwa yang diinginkan, lalu menjualnya kembali. YI tergabung dalam sebuah grup media sosial untuk mencari satwa dilindungi dan masuk grup media sosial lain untuk menawarkan satwa yang sudah dibelinya. Dari penjualan setiap hewan, pelaku mendapatkan keuntungan berkisar Rp 1 juta-Rp 10 juta.
Polisi menyamar dan masuk sebagai anggota grup yang diikuti YI, kemudian memesan satwa langka dari dia. Setelah sekitar tiga hari, satwa dikirimkan. Ini jadi dasar petugas untuk menggerebek tempat YI.
Terkait orangutan sumatera yang disimpan YI, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno menuturkan, cara hidup satwa ini menjadikannya sebagai pelestari lingkungan sejati. Orangutan per hari bergerak dengan jarak hingga lebih kurang 5 kilometer sambil makan buah yang ditemuinya. Dari buah yang dimakan, orangutan membuang biji ke berbagai titik sehingga membantu rehabilitasi hutan.
Itu menjadi alasan pentingnya pelestarian orangutan, selain karena populasinya yang minim sehingga berisiko menghadapi kepunahan. Populasi orangutan sumatera, menurut Wiratno, sekitar 13.000 individu.
Harga yang tinggi kemungkinan membuat perburuan orangutan, terutama yang masih bayi, sulit diberantas karena begitu menggiurkan bagi para pelaku. ”Bayi orangutan kalau di sini Rp 35 juta, kalau di luar negeri bisa 10.000 dollar AS-15.000 dollar AS (Rp 141,2 juta-Rp 211,8 juta),” ujar Wiratno.
Upaya pemberantasan perburuan satwa langka di habitat asli mereka terkendala oleh minimnya jumlah petugas. Wiratno mengatakan, luas kawasan konservasi se-Indonesia 27,4 juta hektar atau lebih luas dari wilayah Britania Raya di Eropa.
Sementara pengelola kawasan konservasi hanya berjumlah 10.000 orang, terdiri dari 6.000 pegawai aparatur sipil negara (ASN) dan 4.000 ASN. Setiap pegawai berarti mengurus rata-rata 2.740 hektar kawasan konservasi atau seluas lebih dari 2.500 lapangan sepak bola. KLHK berupaya mengatasi kendala itu, antara lain, dengan mendorong masyarakat melapor jika ada perburuan dan perdagangan satwa ilegal.
Yusri menyebutkan, YI dijerat dengan Pasal 40 Ayat 2 juncto Pasal 21 Ayat 2 Huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman hukumannya penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta.
Ia mengingatkan, pembeli satwa dilindungi meski hanya untuk dijadikan koleksi atau peliharaan juga bisa dihukum dengan jeratan pasal dari UU No 5/1990. Sebab, Pasal 21 Ayat 2 Huruf a juga berlaku bagi orang yang menyimpan, memiliki, dan memelihara.