Ungkapan koreksi radikal seharusnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Terutama karena hal ini berdampak pada kelangsungan hidup bersama sebagai bangsa dan negara di masa depan.
Oleh
Marenda Ishak S
·4 menit baca
Ungkapan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy terkait bencana banjir pada saat mengunjungi penampungan penyintas banjir Kalimantan Selatan perlu kita apresiasi tinggi. Ini saatnya membuat koreksi radikal terhadap tata lingkungan dan tata tanah karena bencana dimulai dari pengelolaan lahan yang tidak bijak (Kompas, 22 Januari 2020).
Perlu diapresiasi karena sejauh ini dari pelbagai sumber pejabat negara, sering kali menyalahkan curah hujan berlebih yang mengakibatkan banjir. Di satu sisi, ungkapan koreksi radikal penting digarisbawahi, terutama di tengah isu merebaknya degrasi lingkungan, deforestasi, pembakaran hutan, pemanasan global, hingga isu UU Cipta Kerja.
Langkah radikal
Banjir bandang bukan hanya melanda Banjar Baru, Kalsel, tetapi juga terjadi di sejumlah daerah, seperti di kawasan Gunung Mas, Puncak (Bogor), Manado, hingga Papua yang mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan berat. Tentu selain dipengaruhi faktor tingginya curah hujan, tetapi ada pula akibat faktor keteledoran manusia yang berdampak terjadinya banjir dalam skala yang luas.
Telah banyak penelitian mengungkapkan menurunnya jumlah tutupan luas lahan yang mengakibatkan tanah dan hutan tak mampu menampung curah hujan yang tinggi. Ketika jumlah lahan hijau berkurang, curah hujan yang jatuh ke permukaan langsung menjadi aliran permukaan atau run-off. Tingginya run-off ini berpotensi menjadi banjir bandang dan butuh waktu lama untuk surut seperti yang terjadi di Kalsel.
Pada kondisi alami, kemampuan tanah dalam menyerap air pada umumnya berkisar 50 persen dari total curah hujan yang turun. Persentase kemampuan tanah dalam menyerap air akan semakin menurun jika areal terbangun semakin luas. Artinya, setiap pembangunan selalu memiliki konsekuensi terhadap lingkungan. Hal inilah yang kemudian mendesak untuk diformulasikan ulang.
Banjir di Kalsel dan daerah lainnya seharusnya dilihat sebagai tamparan telak bagi kita para pemangku kepentingan. Bagaimana tidak telak, Kalsel merupakan provinsi di mana hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi cukup luas dan menjadi salah satu penyokong gerak perekonomian wilayah. Di samping itu, wilayah ini terdiri dari tanah gambut atau tanah organik di mana kemampuan dalam menyerap air secara alami cukup besar.
Berkaitan dengan hal tersebut, luasan hutan lindung, dan konservasi harus ditinjau kembali. Hal ini termasuk konservasi pada lahan gambut. Perubahan yang terjadi pada lahan gambut, menjadi perkebunan sawit, ditengarai berakibat pada menurunnya kemampuan gambut untuk dapat menyerap air secara maksimal. Koreksi radikal seharusnya dapat diterjemahkan dalam bentuk kertas kerja. Tanpa kertas kerja, ucapan tersebut hanya terkesan slogan semata.
Ganjalan konservasi
Indikasi kehancuran lingkungan sebenarnya sudah dapat terbaca jauh-jauh hari. Kesan pragmatisme yang kental dalam pengelolaan lingkungan mengakibatkan indikator kerusakan lingkungan kurang terperhatikan.
Bahkan peta jalan pembangunan berkelanjutan atau SDGs yang menjadi rujukan pemerintah, sering kali terabaikan karena pragmatisme kepentingan. Perlu digarisbawahi, kerusakan lingkungan berakibat fatal, bahkan merusak sendi-sendi pembangunan itu sendiri. Berbagai kasus bencana sebagai dampak kerusakan lingkungan seharusnya membuat kita lebih berhati-hati.
Pembangunan ekonomi tanpa prinsip kelestarian lingkungan akan menjadi sia-sia. Hal itu menjadi kata kunci, jika kita ingin melanjutkan cita-cita pembangunan.
Penguatan UU Cipta Kerja terutama berkaitan dengan perubahan pasal batasan 30 persen minimal hutan, penghapusan izin pemanfaatan ruang, prinsip analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), dan lainnya berpotensi membawa kita berada di ujung tanduk pembangunan.
Membandingkan pemahaman konservasi dengan ekonomi memang bukan perkara yang didasarkan waktu atau generasi. Juga bukan pemahaman singkat, yang dirumuskan cepat, seperti pada saat pembuatan UUCK. Pemahaman ini harus terus didiskusikan sedari dini. Karena itu, koreksi radikal terhadap kebijakan lingkungan seharusnya dilakukan atas dasar perubahan pemahaman yang terjadi pada prinsip pembangunan berkelanjutan.
Prinsip ekonomistik yang sangat kental pada UUCK seolah melegalkan setiap kegiatan dengan tujuan ekonomi dan mengesampingkan prinsip konservasi. Hal ini yang seharusnya mampu diluruskan pemerintah sekarang dengan menjadikan peristiwa bencana banjir di sejumlah daerah sebagai suatu peringatan.
Secara lebih konkret koreksi radikal terhadap lingkungan seharusnya dapat dituangkan dalam skala yang lebih kecil. Semisal dalam permasalahan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), waduk, dan danau. Pendangkalan dan pencemaran yang berujung pada berkurangnya usia waduk adalah kristalisasi dari prinsip yang selama ini berjalan. Oleh karena itu, ungkapan koreksi radikal seharusnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, terutama karena hal ini berdampak pada kelangsungan hidup bersama sebagai bangsa dan negara di masa depan.
(Marenda Ishak S, Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran)