Memotret Anggaran Penanganan Covid-19 di Sejumlah Negara
Banyak negara yang tidak siap menghadapi Covid-19 dan tidak menduga pandemi ini akan berlangsung lama.
Kecepatan dan efektivitas negara-negara dalam menangani pandemi Covid-19 ditentukan oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan fiskal atau anggaran yang memadai. Seberapa besar anggaran yang dialokasikan negara-negara di dunia untuk menangani Covid-19?
Setahun lebih virus korona baru menyerang dunia. Perekonomian global terpukul cukup dalam akibat pandemi Covid-19. Output dunia hingga kuartal III tahun 2020, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), menyusut menjadi minus 4,4 persen. Kondisi ini merupakan krisis terdalam yang pernah dialami. Dibandingkan dengan krisis finansial tahun 2008-2009, perekonomian saat itu hanya mengalami kontraksi 0,1 persen.
Banyak negara yang tidak siap menangani pandemi ini dan tidak menyangka pandemi akan berlangsung lama. Bencana kesehatan dan ekonomi yang ditimbulkan virus korona baru jenis SARS-CoV-2 ini menyedot biaya untuk penanggulangan yang tidak sedikit.
Kebijakan negara-negara dalam mengalokasikan dana untuk menangani penyakit Covid-19 dan memulihkan ekonomi sangat beragam. Tidak ada pola baku atau standar minimal yang disepakati bersama tentang berapa dana yang harus dialokasikan untuk itu. Alokasi dana tidak dibuat berdasarkan perkiraan jumlah kasus terkonfirmasi positif atau jumlah yang meninggal ataupun berdasarkan kategorisasi jumlah penduduk dan daya sebar virus.
Kebijakan anggaran untuk penanganan Covid-19 sangat bergantung pada kemampuan keuangan suatu negara dan keseriusan pemerintahnya untuk menyudahi pandemi. Namun, besar atau kecilnya alokasi tidak lantas menjamin efektivitas penanganan.
Baca juga: Covid-19 Menekan APBN
Dari data IMF bisa kita lihat kebijakan fiskal negara-negara dalam mengatasi pandemi Covid-19. Dari besaran dana penanganan Covid-19 yang dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) setiap negara, secara subyektif bisa dibuat kategorisasi.
Negara yang mengalokasikan anggaran cukup besar, yaitu di atas 20 persen PDB, antara lain, Jepang, Perancis, dan Selandia Baru. Negara yang mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 kategori sedang, yaitu 10-20 persen dari PDB, antara lain Kanada, Australia, Turki, dan Amerika Serikat. Adapun negara dengan alokasi anggaran penanganan Covid-19 kategori rendah, yaitu kurang dari 10 persen dari PDB, antara lain, China, Jerman, Arab Saudi, dan termasuk Indonesia.
Tahun 2020, Indonesia mengalokasikan anggaran Rp 695,2 triliun (5-6 persen dari PDB) untuk penanganan Covid-19 sekaligus untuk pemulihan ekonomi. Jika dikonversikan ke dollar Amerika Serikat, jumlahnya sekitar 49,7 miliar dollar AS.
Dana sebesar itu dibagi ke dalam enam kelompok program, yaitu program kesehatan (Rp 99,5 triliun), perlindungan sosial (Rp 203,21 triliun), kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (Rp 67,86 triliun), insentif usaha (Rp 120,61 triliun), stimulus usaha mikro, kecil, dan menengah (Rp 116,31 triliun), serta stimulus korporasi (Rp 60,73 triliun).
Hingga akhir November 2020, anggaran yang terpakai baru sekitar 70 persen. Anggaran yang belum tersalurkan atau digunakan, terutama pada bidang kesehatan, secara otomatis akan digunakan untuk program tahun 2021, terutama untuk vaksinasi Covid-19.
Baca juga: Melawan Pandemi, Kapasitas Pelayanan Kesehatan Harus Ditingkatkan
China
Satu kelompok dengan Indonesia yang alokasi anggaran penanganan Covid-19 kategori rendah (kurang 10 persen dari PDB) adalah China, negara asal bermulanya penyebaran virus korona baru. Data IMF menunjukkan, kebijakan fiskal Pemerintah China untuk penanganan pandemi diperkirakan 4,8 triliun RMB (4,7 persen dari PDB). Jika dikonversikan ke dollar AS, jumlahnya adalah sekitar 720 miliar dollar AS.
Dana sebesar itu meliputi anggaran untuk pencegahan dan pengendalian wabah, memproduksi peralatan medis, percepatan pembayaran asuransi bagi pengangguran dan perlindungan untuk pekerja migran, keringanan pajak dan pembebasan iuran jaminan sosial, serta penambahan investasi publik.
Di awal wabah merebak di Wuhan pada awal Januari 2020, Pemerintah China langsung memberlakukan pembatasan ketat, termasuk menutup (lockdown) Provinsi Hubei. Pembatasan pergerakan skala besar di level nasional juga ditempuh. Pekerja migran yang baru kembali harus menjalani karantina selama 14 hari. Akibat upaya ini, perekonomian China pada kuartal I-2020 mengalami kontraksi 6,8 persen (year on year).
Pada pertengahan kuartal II, Pemerintah China secara bertahap mengurangi pembatasan kegiatan. Kegiatan ekonomi mulai dibuka dengan prioritas pada sektor-sektor penting serta industri, wilayah, dan populasi khusus yang ditentukan berdasarkan penilaian tingkat risiko.
Sekolah juga mulai dibuka, tetapi protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, tetap diterapkan. Pergerakan di pintu-pintu masuk tetap dibatasi untuk mencegah kasus-kasus penyakit yang impor alias dibawa masuk oleh orang luar.
Langkah-langkah ini membuat penyebaran virus menjadi terkontrol. Pengetesan dan penelusuran orang yang terkait dengan suspek penderita dilakukan dengan menggunakan kode QR kesehatan individu. Dengan mulai normalnya kegiatan ekonomi, GDP China meningkat pada kuartal II sebesar 3,2 persen (year on year) dan terus membaik sehingga naik menjadi 4,9 persen pada kuartal III-2020.
China merupakan satu-satunya negara dalam G-20 yang perekonomiannya pulih pada 2020. Sampai dengan 25 Januari 2021, jumlah kasus positif Covid-19 di China hanya 89.115 kasus dengan jumlah kematian kurang dari 5.000 kasus.
Amerika Serikat
AS memuncaki tangga dari 219 negara dalam laporan jumlah kasus positif terjangkit Covid-19. Per tanggal 25 Januari 2021, jumlah kasus positif akibat virus SARS-Cov-2 di seluruh dunia hampir 100 juta kasus dengan jumlah kematian 2,14 juta kasus.
Dari jumlah tersebut, jumlah kasus positif yang ditemukan di AS sebanyak 25,702 juta kasus. Seperempat dari jumlah dunia. Jumlah kematiannya sudah lebih dari 429.000 kasus.
Kasus pertama positif Covid-19 terkonfirmasi di AS pada Januari 2020. Penyebarannya semakin meluas pada Maret dan April, tetapi menurun setelah dilakukan pembatasan di sejumlah wilayah.
Penanganan Covid-19 di AS bervariasi antarnegara bagian. Infeksi mulai meluas kembali ketika aktivitas ekonomi dan perjalanan kembali dilanjutkan di awal musim panas. Setelah sempat menurun, jumlah kasus kembali naik pada September dan terus menanjak hingga Desember.
Data IMF menyebutkan diperkirakan terdapat dana 2,3 triliun dollar AS (sekitar 11 persen dari PDB) dialokasikan untuk penanganan pandemi di AS yang dituangkan dalam Coronavirus Aid, Relief and Economy Security Act (CARES Act). Dana tersebut, antara lain, diperuntukkan bagi talangan pemotongan pajak bagi individu, tunjangan bagi orang yang kehilangan pekerjaan, penyediaan bantuan makanan bagi kelompok rentan, penyediaan pinjaman bagi korporasi dan kelompok usaha kecil, bantuan bagi rumah sakit, dan sebagainya.
Pada 28 Desember 2020, setelah pemilihan umum, mantan Presiden AS Donald Trump menandatangani rancangan anggaran untuk penanganan dampak virus korona senilai 877 miliar dollar AS (4,5 persen dari PDB). Dana tersebut dialokasikan untuk tambahan tunjangan bagi orang yang kehilangan pekerjaan, pengadaan vaksin, pengetesan dan penelusuran (testing and tracing), dana bantuan pendidikan, dan sebagainya.
Selanjutnya, Presiden AS terpilih Joe Biden pada 14 Januari 2021, menjelang pelantikannya sebagai presiden ke-46 AS, merencanakan dana stimulus 1,9 triliun dollar AS untuk penanganan kesehatan dan penyelamatan ekonomi AS dari pandemi. Fokus kerja Presiden Biden adalah penyelamatan dan pemulihan (rescue and recovery).
Rencana yang tertuang dalam proposal berjudul American Rescue Plan itu membagi stimulus ke dalam empat bagian. Pertama, sebanyak 400 miliar dollar AS untuk mengatasi virus korona, termasuk untuk vaksin dan pengetesan. Kedua, 1 triliun dollar AS untuk bantuan langsung bagi keluarga AS.
Ketiga, sebanyak 400 miliar dollar AS untuk bantuan bagi komunitas dan kalangan bisnis. Terakhir, 400 dollar AS per minggu yang antara lain untuk tambahan tunjangan bagi orang yang kehilangan pekerjaan sampai dengan September 2021.
Baca Juga: Jutaan Warga AS Bergantung pada Bantuan Sosial
Jepang
Sama seperti AS, kasus pertama positif Covid-19 terkonfirmasi di Jepang pada Januari 2020. Sebagai respons untuk menahan penyebaran virus korona baru tersebut, Pemerintah Jepang memberlakukan larangan masuk ke negaranya bagi total 152 negara. Perdana Menteri Shinzo Abe memberlakukan situasi kedaruratan negara untuk semua prefektur pada 6-25 Mei 2020.
Dalam situasi kedaruratan negara ini, setiap gubernur meminta warganya untuk tetap berada di rumah, menutup sekolah dan fasilitas publik, membangun fasilitas kesehatan, serta menyediakan dukungan medis dan bahan makanan untuk warga. Akibat pemberlakuan situasi darurat ini, Olimpiade Tokyo 2020 terpaksa diundur ke 23 Juli-8 Agustus 2021.
Infeksi gelombang kedua terjadi pada Juli 2020 yang menyebabkan Tokyo meningkatkan status kewaspadaan ke level tertinggi. Masyarakat diminta menahan diri untuk bepergian keluar Tokyo. Setelah jumlah kasus positif baru menurun, tren infeksi kembali meningkat pada pertengahan November.
Pada 7 Januari 2021, PM Suga kembali memberlakukan situasi kedaruratan negara untuk wilayah Tokyo dan tiga prefektur berdekatan, yaitu Saitama, Kanagawa, dan Chiba. Pemerintah meminta jam operasional restoran dan bar ditutup lebih cepat (pukul 8 malam) dan menerapkan teleworking untuk mengurangi jumlah pekerja di kantoran sebanyak 70 persen.
Warga juga diminta tetap berada di rumah dan tidak keluar setelah pukul 8 malam. Kegiatan keramaian tidak boleh melebihi 5.000 orang.
Untuk mencegah masuknya varian baru virus korona, Jepang melarang warga asing memasuki wilayahnya mulai dari 28 Desember 2020 hingga 31 Januari 2021. Khusus bagi warga Inggris dan Afrika Selatan, dilarang masuk sejak 24 Desember 2020 hingga batas waktu yang akan diumumkan kemudian.
Baca juga: Meski Sering Salah Langkah, Kematian akibat Covid-19 di Jepang Rendah
Jepang merupakan salah satu negara yang mengalokasikan anggaran penanganan pandemi Covid-19 dalam kategori besar. Pada April 2020, Pemerintah Jepang mencanangkan Paket Ekonomi Darurat Melawan Covid-19 senilai 117,1 triliun yen (20,9 persen dari PDB). Jika dikonversikan ke dollar AS, jumlahnya adalah sekitar 1,13 triliun dollar AS.
Selanjutnya pada Mei 2020, Pemerintah Jepang mengumumkan paket anggaran tambahan senilai 117,1 triliun yen (20,9 persen dari PDB). Pada Desember 2020, Pemerintah Jepang kembali menyampaikan paket yang ketiga senilai 73,6 triliun yen (13,1 persen dari PDB) atau 710 miliar dollar AS. Sampai dengan 25 Januari 2021, jumlah kasus positif Covid-19 di Jepang tercatat 360.418 kasus dengan jumlah kematian sekitar 5.000 kasus.
Selain mencukupi kebutuhan dana untuk memerangi Covid-19 di dalam negerinya, sebagai kontributor utama bagi IMF untuk fasilitas pinjaman, Jepang juga membantu program pendanaan bagi negara-negara miskin dan rentan untuk menghadapi Covid-19.
Pada April 2020, Jepang berkomitmen menambah kontribusinya sebesar 100 juta dollar AS. Di bulan Oktober 2020, Jepang mengumumkan tambahan senilai 10 juta dollar AS untuk program The Covid-19 Crisis Development Initiative.
(LITBANG KOMPAS)