Penghentian Sidang Gugatan Pilkada Bandar Lampung Cegah Masalah Baru
›
Penghentian Sidang Gugatan...
Iklan
Penghentian Sidang Gugatan Pilkada Bandar Lampung Cegah Masalah Baru
MK hentikan sidang sengketa hasil Pemilihan Wali Kota Bandar Lampung yang diajukan M Yusuf Kohar dan Tulus P Wibowo. Selain gugatan telah dicabut, MA sebelumnya juga memenangkan gugatan pihak lawannya, Eva dan Deddy.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi tidak melanjutkan sidang gugatan perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah Kota Bandar Lampung. Keputusan tersebut bertujuan agar tak membuat masalah di daerah tersebut menggantung dan justru memunculkan masalah baru pasca-putusan MK mengabulkan gugatan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak.
Sidang perkara Nomor 25/PHP.BUP-XIX/2021 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Wali Kota Bandar Lampung Tahun 2020 yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, Kamis (28/1/2021), tidak dilanjutkan oleh majelis hakim. Hal tersebut disebabkan pemohon, pasangan calon Muhammad Yusuf Kohar-Tulus Purnomo Wibowo, telah mencabut gugatan pada 8 Januari 2020.
Saat sidang dimulai, Hakim Suhartoyo mempertanyakan penarikan gugatan permohonan oleh pemohon. Kuasa hukum pemohon kemudian membenarkan hal tersebut. Setelah mendengar jawaban, sidang pada perkara tersebut kemudian dihentikan.
”Untuk sementara tidak ada relevansinya lagi kami mempertimbangkan permohonan saudara, tetapi sikap resmi Mahkamah nanti akan ditetapkan dalam bentuk putusan.”
”Untuk sementara tidak ada relevansinya lagi kami mempertimbangkan permohonan saudara, tetapi sikap resmi Mahkamah nanti akan ditetapkan dalam bentuk putusan,” kata Hakim Suhartoyo.
Untuk diketahui, paslon Yusuf-Tulus sempat memasukkan permohonan gugatan perselisihan hasil Pilkada ke MK pada 18 Desember 2020. Namun, pada 8 Januari 2021, pemohon menarik kembali gugatan tersebut. Meski demikian, MK tetap meregister gugatan sehingga sidang tetap dijadwalkan pada hari ini.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, keputusan MK tidak melanjutkan gugatan menjadi bentuk penghormatan terhadap putusan Mahkamah Agung (MA). Dengan tidak melanjutkan sidang, MK tidak membuat hasil Pilkada Bandar Lampung menggantung dan tidak menimbulkan masalah baru.
Sebelumnya, putusan MA memenangkan gugatan paslon Eva Dwiana-Deddy Amarullah yang didiskualifikasi pada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bandar Lampung atas rekomendasi Badan Pengawas Pemilu Provinsi Lampung. MA memerintahkan KPU Bandar Lampung untuk menetapkan kembali dan menerbitkan surat keputusan baru yang menyatakan penetapan paslon Eva-Deddy tetap berlaku dan berkekuatan hukum.
Dalam pertimbangannya, MA berpendapat bahwa KPU Bandar Lampung melanggar kewenangan dari segi waktu (onbevoegdheid ratione temporis) karena telah menetapkan keputusan pembatalan paslon melampaui tahapan yang ditentukan dalam Undang-Undang Pilkada juncto Peraturan KPU.
Bawaslu Provinsi Lampung mengeluarkan rekomendasi pembatalan penetapan paslon Eva Dwiana-Deddy Amarullah terbukti melakukan pelanggaran administrasi secara terstruktur, masif, dan sistematis (TSM), Rabu (6/1/2021) lalu. Rekomendasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh KPU Bandar Lampung pada Jumat (8/1/2021). Diskualifikasi itu terjadi ketika tahapan rekapitulasi suara tuntas dan memasuki masa perselisihan hasil pilkada di MK.
Dengan demikian, hasil akhir pemenang Pilkada Bandar Lampung tidak perlu menunggu putusan MK. Sebab, MA telah memutuskan paslon Eva-Deddy yang memperoleh suara terbanyak kembali menjadi salah satu paslon.
”Seandainya hasil sidang perselisihan hasil pilkada di MK berseberangan dengan putusan MA, akan menimbulkan pertanyaan, meskipun hasil akhir tetap di MK,” kata Feri menambahkan.
Batasan waktu
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, putusan MA telah mempertimbangkan soal batasan kewenangan Bawaslu, khususnya dari segi waktu tahapan pilkada dalam penyelesaian dugaan pelanggaran administrasi pilkada yang bersifat TSM. Ada konsen waktu yang sebetulnya sudah lewat bagi Bawaslu dalam menerima dan memutus dugaan pelanggaran ini.
”Saya rasa putusan MA ini tepat karena memang sanksi mendiskualifikasi peserta pilkada setelah adanya penetapan peraih suara terbanyak bukan lagi domain Bawaslu, sebab itu sudah berkaitan dengan keterpilihan.”
”Saya rasa putusan MA ini tepat karena memang sanksi mendiskualifikasi peserta pilkada setelah adanya penetapan peraih suara terbanyak bukan lagi domain Bawaslu, sebab itu sudah berkaitan dengan keterpilihan,” ujarnya.
Dari kasus di Bandar Lampung, lanjut Fadli, Bawaslu harus menyadari batasan kewenangannya, terutama pelaksanaan kewenangan yang harus konsisten dengan tahapan dan jadwal pilkada. Sebab, jika pelaksanaan kewenangan itu tidak memperhatikan waktu dan tahapan pilkada, yang terjadi adalah tumpang tindih dan ketidakpastian.
”Karena prinsipnya, tahapan pilkada itu berbatas waktu dan tahapannya dapat di prediksi. Tetapi, dengan kasus penanganan pelanggaran yang tidak memperhatikan batas waktu, tentu tumpang tindih dan ketidakpastian akan muncul. Kasus di Bandar Lampung mengonfirmasi hal itu,” tuturnya.