Vaksin Covid-19: Tantangan 2021
Masih akan ada tantangan yang dihadapi para ahli kesesehatan sepanjang tahun 2021, terutama yang bergerak dalam bidang vaksin, masih akan rumit dan penuh komplikasi. Namun, cahaya optimistis sudah di ujung terowongan.
Setelah vaksin dilahirkan, secercah cahaya di ujung terowongan sudah mulai tampak. Sekalipun kasus di awal 2021 sangat menggila, baik yang sakit maupun meninggal, adanya harapan merupakan sesuatu yang sangat positif.
Sudah cukup panjang proses yang dilalui vaksin Covid-19 selama 2020. Ada banyak cerita negatif dan positif di sini. Pada 2021, tampaknya kisah masih akan lebih panjang. Inilah masa penentuan apakah semua yang telah dikerjakan akan menunjukkan efek yang sesuai harapan.
Seperti diketahui, ada banyak cara menilai keberhasilan vaksin. Mulai dari peningkatan kadar antibodi, efikasi, efektivitas, sampai dampak. Per awal Januari 2021, tiga vaksin telah mendapat izin penuh, tujuh lainnya mendapat izin darurat, dan hampir 90 lain sedang dalam uji klinik fase 1-2-3 yang semuanya seharusnya selesai pada 2021 juga. Belum lagi 200 vaksin lain yang masih dalam tahap praklinik.
Efektivitas dan efikasi
Yang tampak setelah uji klinik fase 3 adalah efikasi. Benar bahwa ada lebih dari satu cara untuk menentukan efikasi, namun ”ada hasil efikasi, apa pun cara penghitungannya”, sudah relatif memenuhi persyaratan minimal.
Efektivitas tidak akan persis sama dengan efikasi.
Selanjutnya, ketika vaksin diluncurkan, pengamatan (atau penelitian) untuk menentukan efektivitas dimulai pula. Efektivitas tidak akan persis sama dengan efikasi. Fase 3 uji klinik dilakukan dalam suasana yang dibuat sehomogen mungkin dan dengan jumlah pasien relatif terbatas (sekalipun secara absolut mungkin angkanya cukup besar).
Dalam kehidupan nyata, ada banyak faktor yang ikut bermain dan penerima vaksin sekarang menjadi ribuan kali lipat. Jumlah penerima ini menentukan kemampuan kita mendeteksi hal yang di alam ini relatif jarang.
Dalam sejarah vaksin, umumnya efikasi lebih tinggi daripada efektivitas, tetapi ada 1-2 vaksin yang memberi hasil sebaliknya. Adanya kekebalan kelompok (herd immunity) merupakan salah satu alasan mengapa efektivitas jadi meningkat. Setelah efektivitas, keberhasilan vaksin dalam skala yang lebih besar akan disebut dampak.
Musnahnya tiga penyakit di dunia, yakni cacar, poliomyelitis, dan rinderpest, adalah contoh dampak yang sangat nyata terlihat di dunia.
Inilah aspek pertama yang akan dilihat di 2021: bagaimanakah efektivitas vaksin yang telah berada di pasaran. Para ahli kebanyakan bersepakat, dampak belum akan terlihat dalam waktu setahun ke depan.
Aspek kedua menyangkut kecepatan produksi dan distribusi, terutama di negara dengan penduduk banyak. Hal ini sebenarnya sudah diantisipasi sejak awal. Itu sebabnya, ada puluhan pabrik tambahan atau yang dimodifikasi dilahirkan di Amerika Serikat tahun lalu. Toh, tetap saja kekurangan vaksin sangat terasa. Maklumlah, target mereka saat ini adalah 1,5 juta orang sehari.
Di Inggris, kekurangan vaksin disiasati dengan memundurkan suntikan kedua hingga 12 minggu. Tentu hal ini bukan keputusan politis semata. Tetap ada dasar sains yang digunakan. Karena alasan sains ini juga, usulan untuk mengurangi volume vaksin yang disuntikkan tidak diterima oleh para ahli.
Kekurangan produksi dan distribusi membuat nasib negara yang lebih miskin agak menggantung dan berharap pada kemampuan produksi pabrik di negara seperti India.
Setiap komunitas di negara yang berbeda punya alasan berbeda juga.
Aspek penerimaan
Aspek ketiga menyangkut penerimaan masyarakat. Bagaimanapun semua ahli tahu, vaksin hanya efektif apabila sudah masuk ke tubuh manusia. Vaksin di kulkas tak berefek apa-apa. Ada banyak alasan yang membuat berbagai komunitas belum rela menerima vaksin Covid-19. Setiap komunitas di negara yang berbeda punya alasan berbeda juga.
Survei di Indonesia menunjukkan hasil yang relatif baik dengan hampir 70 persen masyarakat siap menerima vaksin (data Kementerian Kesehatan RI). Di komunitas antivaksin, yang boleh dibilang tak akan menerima segala penjelasan ilmiah yang diberikan, angka nyata sesungguhnya tidaklah sangat besar. Tetap saja, kelompok ini merupakan penghalang signifikan karena gerakan yang masif.
Di era Presiden Donald Trump, kelompok tersebut mendapat angin tambahan. Di negara lain, termasuk Indonesia, kelompok anti-vaksin selalu ada. Sejauh ini, di negeri kita tindakan mereka terbatas pada persuasi verbal dan visual dan belum melampaui batas masuk ke gerakan fisik. Tindakan merusak vaksin, misalnya, tidak terdengar, mungkin karena ancaman pidana yang cukup signifikan.
Aspek lain yang juga sangat merusak dan memengaruhi kepercayaan publik adalah hoaks. Semua orang yakin hoaks akan makin subur tahun 2021 sehingga upaya menanggulangi harus dinaikkan berlipat-lipat.
Kejadian ikutan pasca-imunisasi
Aspek keempat adalah soal KIPI (kejadian ikutan pasca-imunisasi). KIPI mengandung dua jenis kejadian, yang berhubungan dengan vaksin dan tidak.
Sejauh ini, efek samping vaksin relatif bisa dikendalikan. Sekalipun ada laporan kasus alergi berat yang memerlukan obat darurat epinefrin, serta kasus anafilaksis terutama di Amerika Serikat dan Inggris, secara persentase angka pada vaksin mRna tersebut tidak besar.
WHO sendiri hingga sekarang tidak berani memberi rekomendasi vaksin mRNA untuk penderita alergi berat. Karena pencatatan harus mencakup semua kejadian medik setelah vaksinasi, akan banyak gejala dan tanda yang terekam. Sesungguhnya dari semua data KIPI, yang berhubungan dengan vaksin tidak banyak.
Pengalaman selama lebih dari 10 tahun terakhir menunjukkan dari semua kasus KIPI, 99,99 persen adalah kejadian kebetulan atau koinsiden. Sayangnya bagi kelompok yang kurang memahami ataupun bagi kelompok anti vaksin, semua kejadian medis setelah imunisasi adalah tanggung jawab vaksin.
Pemberitaan yang bernuansa negatif di media massa dan media sosial akan berpengaruh besar.
Diperlukan kerja ekstra keras untuk menjernihkan persoalan dan membuat pihak lain mengerti duduk perkara yang sebenarnya. Pemberitaan yang bernuansa negatif di media masa dan media sosial akan berpengaruh besar. Apalagi ketika berita tersebut dikoreksi, penempatan dan gema koreksi sangat tidak setara.
Dalam konteks efek samping vaksin, beberapa ketakutan sebelum vaksin diluncurkan yang menyangkut fenomena ADE (antibody dependent enhancement) seperti yang tampak pada virus SARS 2002 serta dengue belum terbukti muncul pada Covid-19. Penjelasan ilmiah hingga ke tingkat molekuler sejauh ini mampu menerangkan mengapa hal ini tidak ditemukan.
Secara sederhana, ADE berarti adanya kekebalan yang tidak utuh membuat penderita berisiko sakit lebih berat jika terkena. Itu mengapa pada demam berdarah, infeksi terparah adalah pada serangan kedua.
Daya tahan kekebalan
Aspek kelima, salah satu holy grail lain, untuk vaksin Covid-19 adalah informasi mengenai berapa lama kekebalan akan bertahan. Sejauh ini, kita terus mengumpulkan data dari segala penjuru dunia. Jurnal Science minggu pertama Januari mengungkapkan pada mereka yang sembuh kekebalan masih tinggi setelah delapan bulan. Pasti kondisi berat ringannya sakit berpengaruh pula.
Dalam hal vaksin, data terpanjang adalah sejak fase 1 dimulai, sekalipun jumlah subyek terbatas. Dulu, vaksin pertama yang masuk di fase 1 adalah Moderna. Tahun ini akan makin gamblang berapa lama kita bisa mempertahankan kekebalan. Pengalaman menunjukkan, vaksin HPV bisa bertahan sangat lama, sekitar 20 tahun dan masih berlanjut, tanpa perlu diulangi.
Sebaliknya, vaksin HIV bertahan begitu singkat sehingga gagal lolos uji klinik. Secara realistis ahli memperkirakan vaksin Covid-19 akan bertahan tidak terlalu lama sehingga diperlukan pengulangan berkala. Vaksin influenza, misalnya, perlu diulangi setiap tahun. Vaksin difteri diberikan sedikitnya tujuh kali dalam hidup.
Salah satu tantangan besar dalam urusan kekebalan adalah adanya mutasi. Yang paling terkenal pasti mutasi VUI 202012/01 yang pertama kali diidentifikasi di Inggris. Perubahan yang cukup banyak yang terjadi pada protein spike (protein paku) yang digunakan sebagai senjata utama pada vaksin menimbulkan kekhawatiran akan khasiat vaksin. Memang yang sudah jelas berubah itu kemampuan transmisi virus. Bahkan sampai ke taraf yang menggetarkan banyak orang.
Pada hakikatnya mutasi adalah cara semua makhluk hidup mempertahankan kelangsungan kaumnya.
Hingga saat ini, seluruh ahli masih yakin bahwa kekebalan tidak akan terlalu banyak terpengaruh. Namun, pengujian tambahan sekarang sedang masif dilakukan. Pasti antisipasi di masa depan masih akan berlangsung karena ilmu dasar virus mengatakan bahwa mutasi adalah hal yang selalu terjadi. Pada hakikatnya, mutasi adalah cara semua makhluk hidup mempertahankan kelangsungan kaumnya.
Aspek keenam adalah bagaimana nasib begitu banyak vaksin yang dalam tahap penyelesaian? Apakah akan diterima pasar dan bagaimana perkiraan distribusi. Saat ini, tampaknya semua vaksin akan diterima pasar, bahkan sekalipun kemampuannya relatif lebih rendah. Alasan utama adalah karena kebutuhan yang sangat besar dengan situasi tiap negara yang beragam.
Delapan miliar manusia sungguh luar biasa banyak. Vaksin mana yang akan didistribusikan di negara tertentu tampaknya juga ditentukan beberapa hal, seperti kemampuan ekonomi, lokasi perusahaan, skema Covax, serta adanya ”nasionalisme vaksin”. Adanya vaksin yang telah mendapat izin edar juga mengubah skema uji klinik.
Saat ini sudah tidak etis untuk mengadu vaksin penelitian dengan plasebo. Jika dicermati, sebagian pembuat vaksin yang bersiap ke fase 3 telah mengubah protokol mereka pula. Biaya dan diplomasi untuk mendapatkan vaksin pembanding sekarang merupakan beban tambahan yang tidak dapat ditolak.
Masih ada lagi beberapa tantangan di depan, seperti desain penelitian vaksin di masa depan, potensi vaksin untuk penyakit lain dengan platform termodern yang digunakan di Covid-19, serta rencana penyelesaian vaksin Merah Putih. Semua tantangan akan membuat pekerjaan ahli kesehatan, terutama yang bergerak dalam bidang vaksin, masih akan rumit dan penuh komplikasi sepanjang tahun 2021.
Sekalipun demikian, perlu diulangi bahwa cahaya sudah berada di ujung terowongan. Inilah yang membuat kita makin optimististis menatap tahun 2021 dan seterusnya.
(DOMINICUS HUSADA
Kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Tropik Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran; Anggota Tim Peneliti Vaksin Covid-19, Universitas Airlangga)