Partai Politik Butuh Variabel ”Game Changer” agar Unggul di Pemilu 2024
Konfigurasi partai politik masih belum beranjak jauh dari hasil Pemilu 2019. Oleh karena itu, untuk unggul di Pemilu 2024 kelak, tiap parpol memerlukan variabel-variabel yang dapat mendongkrak perolehan suara mereka.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya partai politik menemukan daya pengungkit bagi keunggulan masing-masing akan menentukan keuntungan yang akan mereka peroleh dalam Pemilu 2024. Partai politik memerlukan variabel yang dapat menjadi game changer untuk bisa meningkatkan daya saing mereka.
Hal itu karena sejumlah riset politik oleh lembaga survei politik belakangan ini menempatkan konstelasi parpol yang tidak jauh berbeda daripada Pemilu 2019. Survei terbaru dari Charta Politika yang dirilis Minggu (28/3/2021) menunjukkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) masih unggul dibandingkan parpol lainnya jika pemilu digelar saat survei dilakukan.
Dari 1.200 responden yang dihubungi melalui telepon selama rentang 20-24 Maret 2021, 20,7 persen responden memilih anggota legislatif yang diusung PDI-P, diikuti Gerindra (14,2 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (9,7 persen), Partai Keadilan Sejahtera (8,2 persen), dan Golkar (7,8 persen).
Adapun hasil survei Kompas pada Desember-Januari 2021 juga menunjukkan tren tak jauh berbeda. Elektabilitas PDI-P tertinggi, yakni 19,7 persen, diikuti Gerindra 9,6 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5,5 persen. Survei Kompas yang dilakukan secara tatap muka terhadap 2.000 responden itu menunjukkan PDI-P masih memiliki elektabilitas tertinggi. Namun, elektabilitas itu sedikit turun apabila dibandingkan dengan hasil survei Oktober 2019 (21,8 persen) dan Agustus 2020 (23,1 persen).
Sementara itu, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis 22 Februari 2021 juga menunjukkan tiga parpol besar bercokol di peringkat teratas dan menjadi top of mind (paling diingat di benak publik). Tiga partai itu adalah PDI-P (20,1 persen), diikuti Gerindra (11,0 persen), dan Golkar (8,3 persen).
Dari tiga survei itu, dua partai besar selalu muncul dalam tiga besar, yaitu PDI-P dan Gerindra, sementara PKB muncul di tiga besar dalam dua survei, sedangkan dalam satu survei lainnya posisi itu ditempati Golkar. Namun, dari tiga survei itu terlihat partai-partai besar masih menjadi yang paling mungkin dipilih responden, sementara partai-partai baru masih harus berjuang untuk dapat masuk dalam benak responden.
Baca juga: Menakar Konfigurasi Partai Politik
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, saat dihubungi Senin (29/3/2021) dari Jakarta mengatakan, hasil survei-survei tersebut menunjukkan perlu perjuangan keras bagi partai-partai baru masuk dalam benak warga. Sejumlah partai yang baru dideklarasikan, seperti Partai Gelora dan Partai Ummat, misalnya, bahkan tidak masuk dalam 10 besar partai yang mungkin dipilih responden. Di sisi lain, hasil survei itu juga menunjukkan dominasi partai-partai besar dalam konstelasi politik nasional.
Kendati demikian, Yunarto mengatakan, masih terlalu dini memprediksi partai mana yang akan menguasai parlemen di Pemilu 2024 karena politik masih sangat dinamis. Dalam dua tahun menjelang pemilu, yakni pada 2023 dan 2024, pergerakan parpol akan kian terasa, dan upaya pencalonan presiden akan menjadi daya ungkit tersendiri bagi masing-masing parpol menaikkan potensi elektabilitas mereka dalam pemilu.
”Karena ada coattail effect yang biasanya punya pengaruh terhadap elektabilitas partai. Sekarang hal itu belum terbaca karena publik masih belum mengetahui siapa yang akan maju. Biasanya dalam dua tahun terakhir menuju 2024, persepsi publik itu akan sangat mungkin dipengaruhi oleh siapa yang akan menjadi capres,” kata Yunarto.
Dalam konteks ini, siapa capres yang diajukan partai, lanjut Yunarto, dapat juga menjadi nilai tambah bagi daya saing partai. Sebagai contohnya PDI-P dalam Pemilu 2014 dan 2019 yang dapat mengapitalisasi keunggulannya dari sisi ideologis dengan hadirnya sosok Joko Widodo sebagai capres. Pada poin ini, tiap partai perlu mengetahui keunggulan masing-masing dan berusaha mencari variabel lain yang bisa mendongkrak keunggulan itu dari partai lain.
Menurut Yunarto, ada tiga jenis parpol di Indonesia. Pertama, parpol yang unggul dari sisi ideologis. Hanya dua parpol yang memenuhi hal ini, yaitu PDI-P dan PKS. Partai-partai jenis ini memiliki basis massa yang akan bertahan sekalipun mereka memiliki capres ataukah tidak. Namun, hadirnya capres akan menjadi variabel yang memperbesar keunggulan mereka dengan efek ekor jas.
Kedua, parpol yang unggul dari sisi infrastruktur atau organisasional. Partai Golkar, misalnya, adalah partai yang memiliki kekuatan infrastruktur dan jaringan yang mengakar ke daerah-daerah, dan memiliki tokoh di setiap daerah. Sebagai partai lama, Golkar cukup dikenal oleh lapisan masyarakat, terutama yang mengalami era pemerintahan Orde Baru. Selain Golkar, partai pecahannya, seperti Nasdem, juga memiliki tokoh daerah yang relatif kuat.
Ketiga, menurut Yunarto, partai yang unggul karena ketokohan seseorang. Sebagai contoh Demokrat dengan Susilo Bambang Yudhoyono, atau Gerindra dengan Prabowo Subianto. Partai lain yang memiliki kecenderungan serupa adalah Hanura pada masa Wiranto.
”Apa pun jenis partainya, mereka harus menghitung apakah terjadi degradasi dari keunggulan mereka di bidang ideologi, infrastruktur, dan ketokohan yang mereka miliki. Misalnya, Golkar, pemilih lama pada Pemilu 2024 akan banyak tergantikan dengan pemilih muda yang dominan, sehingga mesti dihitung bagaimana mengoptimalkan infrastruktur yang dimiliki itu dengan fenomena pemilih yang lebih muda ini,” katanya.
Partai lain, seperti Gerindra, sekalipun unggul dengan ketokohan Prabowo, tetapi sebaiknya menemukan variabel lain yang membuatnya terus unggul di mata publik. Hal ini mesti pula dihitung sebab jika elektabilitas Prabowo sebagai capres turun, hal itu akan berpengaruh pada keterpilihan pada parpol.
Menurut Yunarto, perhitungan serupa harus pula dilakukan bagi partai-partai berbasis ideologi. Mereka harus pula menemukan variabel lain guna mengukuhkan keunggulannya. Dengan demikian, partai-partai itu tidak bersandar pada basis massa mereka.
”PKS, misalnya, mengalami kenaikan signifikan dalam potensi keterpilihan dalam survei kami, karena mereka konsisten menjadi oposisi. Suatu sikap yang tidak diambil oleh partai lain. Mereka menjadi muara bagi publik yang mengambil sikap oposan,” ujarnya.
Di satu sisi, sekalipun unggul di banyak survei, PDI-P harus bisa mereformulasikan strategi untuk memastikan kemenangan itu. Pemilu 2024 sebaiknya perlu dilihat sebagai momen regenerasi di internal PDI-P. Partai nasionalis itu akan dihadapkan pada situasi yang menarik karena tantangan terbesar ialah mempertahankan faktor ideologi itu.
”Suka atau tidak suka, sosok Megawati ialah simbol pemersatu, nasionalisme, Soekarnoisme, yang mereka butuhkan untuk melakukan konsolidasi internal. Apakah konsolidasi internal itu tetap dilakukan oleh Megawati ataukah mulai diregenerasikan kepada tokoh yang lebih muda, yang juga mewakili darah biru Megawati, tentu itu akan menjadi tantangan menarik bagi PDI-P,” katanya.
Di sisi lain, pengajuan capres juga akan sangat menentukan bagi PDI-P. Akankah nama di luar ”darah biru” yang akan dipilih PDI-P, ataukah nama lain, lanjut Yunarto, akan menjadi dinamika politik menarik dalam Pemilu 2024.
Pertimbangkan capres
Wakil Ketum Golkar Hetifah Sjaifudian mengatakan, sejumlah survei yang menempatkan Golkar tidak di tiga besar tidak ditanggapi kecil hati oleh partainya. Hasil itu akan digunakan sebagai bahan refleksi dan tantangan untuk bekerja lebih giat.
”Kami baru saja laksanakan Rakernas dan Rapimnas untuk menyusun berbagai strategi dalam upaya meningkatkan kinerja partai. Tentu saja kepentingan kaum muda menjadi perhatian kami. Kesempatan juga diberikan lebih besar untuk kepemimpinan muda baik di eksekutif maupun legislatif,” ucapnya.
Menurut Hetifah, pemilih yang lebih muda dan dominan pada Pemilu 2024 menjadi konsen dari partainya. Di internal Golkar, sejumlah tokoh muda juga dipilih memegang sejumlah jabatan penting. Ini merupakan upaya Golkar untuk melibatkan lebih banyak anak muda dalam kepemimpinan partai.
”Kami memiliki Wakil Menteri Perdagangan, puluhan kepala daerah dan juga banyak anggota DPR dan DPRD milenial. Juga pemimpin organisasi sayap dan ormas partai, seperti AMPG, AMPI, dan juga Kosgoro, yang sekarang dipimpin kader muda,” tuturnya.
Golkar juga mempertimbangkan mengusung capres sendiri dalam Pemilu 2024. Hal itu diyakini akan mampu mendongkrak kinerja mesin partai. Aspirasi dari banyak kader dan daerah memang mendukung Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto untuk maju menjadi capres. Namun, hal itu belum diputuskan oleh Golkar.
”Sepertinya beliau masih fokus menyelesaikan tugas utamanya mengoordinasi pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kami bisa memaklumi dan juga sepakat bahwa yang lebih penting saat ini adalah pemulihan kesehatan masyarakat dan ekonomi. Kita lihat nanti kalau kondisi negara sudah membaik dan beliau siap,” kata Hetifah.
Sementara itu, Wakil Ketum PKB Jazilul Fawaid mengatakan, pihaknya menyambut gembira dan bersyukur dengan sejumlah hasil survei yang menempatkan PKB sebagai partai di tiga besar. ”Alhamdulillah, nanti akan kami kejar sekuat tenaga menjadi pemenang kedua. Kami tidak puas pada urutan ketiga,” katanya.
Jazilul mengatakan, PKB sedang fokus menyusun road map 100 kursi DPR RI. Hal itu akan dimulai dengan pencalonan dini melalui talent scouting dan fit and proper calon anggota legislatif. Hal itu pun terbuka bagi para kader dan tokoh yang mau maju menjadi DPR dari PKB.
”Peta dapil sedang dirumuskan skema pemenangannya. Dapil-dapil prioritas akan kami buka bagi siapapun yang ingin bergabung dalam perjuangan menuju 100 kursi PKB,” ucap Jazilul yang juga Wakil Ketua MPR itu.
Mekanisme itu diharapkan bisa menemukan caleg PKB yang sesuai dengan daerah pemilihan masing-masing. ”Akan ada semacam konvensi begitu agar ditemukan caleg yang sesuai dapilnya,” kata Jazilul.
Selain itu, PKB juga mempertimbangkan untuk mengajukan capres. Namun, siapa capres itu, lanjut jazilul, masih dirahasiakan. ”Tunggu saja tanggal mainnya,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan dalam keterangan tertulis, keunggulan elektoral di sejumlah survei itu tidak boleh disikapi dengan berpuas diri. Seluruh kader dan anggota diminta lebih bekerja keras membantu rakyat.
”Elektoral tertinggi tentu menambah optimisme kami. Seluruh pergerakan partai yang menempatkan perekrutan, pendidikan politik, kaderisasi, dan gerak kebudayaan, khususnya untuk kaum muda, perempuan, dan keterlibatan di tengah rakyat mengatasi pandemi Covid-19 sangat diapresiasi publik. Faktor soliditas kepemimpinan partai, dan aktivitas partai, seperti penghijauan dan gotong royong mengatasi pandemi, juga menjadi sebab tingginya elektoral PDI-P,” ucap Hasto.