Peristiwa Ganjar Tak Diundang Diselesaikan Sesuai Kultur PDI Perjuangan
›
Peristiwa Ganjar Tak Diundang ...
Iklan
Peristiwa Ganjar Tak Diundang Diselesaikan Sesuai Kultur PDI Perjuangan
Kultur partai diandalkan untuk mengatasi masalah tak diundangnya Ganjar Pranowo dalam acara PDI-P di Semarang. Kader partai pun diminta taat asas dan sabar menunggu peluit dari Ketua Umum PDI-P.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak diundangnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam acara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Semarang diselesaikan sesuai dengan kultur partai. Hal itu dipahami dan menjadi bagian dari penghayatan baku bagi semua kader partai berlambang kepala banteng tersebut.
Politisi PDI-P yang juga Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Hendrawan Supratikno, Senin (24/5/2021), mengatakan, peristiwa yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah, itu akan diselesaikan dengan kultur PDI-P.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Modal sosial PDI-P itu antara lain ’tegak lurus kepada perintah Ketua Umum’. Ini sudah jadi penghayatan baku kader, apalagi yang sudah masuk kategori kader utama. Jadi secara informal sudah selesai,” kata Hendrawan.
Sebelumnya, Sabtu (22/5/2021), saat Ganjar tak diundang dalam acara PDI-P di Semarang, Ketua DPP PDI-P Bidang Pemenangan Pemilu sekaligus Ketua DPD PDI-P Jateng Bambang Wuryanto menyampaikan secara tegas bahwa semua kepala daerah di Jateng dari PDI-P diundang, kecuali gubernur.
Pernyataan tegas itu bagian dari pendapat Bambang yang menilai Ganjar terlalu berambisi terhadap jabatan presiden. Padahal, sampai saat ini, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri belum memberikan instruksi apa pun terkait dengan pemilihan presiden.
Modal sosial PDI-P itu antara lain ’tegak lurus kepada perintah Ketua Umum’. Ini sudah jadi penghayatan baku kader, apalagi yang sudah masuk kategori kader utama. Jadi secara informal sudah selesai. (Hendrawan Supratikno)
Ketua DPP PDI-P Puan Maharani yang turut hadir dalam acara itu pun menuturkan, kader yang layak diusung dalam pemilu presiden adalah mereka yang benar-benar bekerja untuk rakyat. ”Pemimpin itu, menurut saya, ke depan (adalah) yang memang ada di lapangan, bukan hanya di medsos (media sosial). Pemimpin yang memang dilihat sama teman-temannya, sama orang-orangnya, yang mendukungnya di lapangan. Medsos dan media perlu, tetapi bukan itu saja, memang nyata kerjanya di lapangan,” tutur Puan.
Menanggapi pernyataan Bambang dan Puan kala itu, Hendrawan mengemukakan bahwa pesan yang hendak disampaikan keduanya sederhana, yakni PDI-P menjalankan doktrin demokrasi terpimpin. Itu berarti setiap kader partai diminta taat asas dan bersabar menunggu peluit yang nantinya ditiup Ketua Umum PDI-P.
Dalam konstitusi, lanjut Hendrawan, juga jelas disebutkan pasangan calon presiden-wakil presiden diusung oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol. Dengan demikian, basis partisipasi terletak pada parpol, bukan individu.
Setelah peristiwa itu, lanjut Hendrawan, kalangan internal PDI-P tetap tenang. Sebab, semua paham bahwa putusan tentang pasangan calon kepala daerah ataupun calon presiden-wakil presiden kewenangan ketua umum. Jika terjadi perbedaan pandangan, hal itu bagian dari dialektika yang pada akhirnya akan sampai pada suatu keputusan terbaik.
”Putusan yang mempertimbangkan kepentingan lebih besar bagi bangsa dan negara. Jangan lupa, eksistensi, esensi, dan programasi pada PDI-P itu didedikasikan untuk kepentingan bangsa dan negara. Ciri khas acara kepartaian di PDI-P adalah pembacaan dedication of life dari Bung Karno,” tutur Hendrawan.
Jangan lupa, eksistensi, esensi, dan programasi pada PDI-P itu didedikasikan untuk kepentingan bangsa dan negara. Ciri khas acara kepartaian di PDI-P adalah pembacaan dedication of life dari Bung Karno. (Hendrawan Supratikno)
Sebelumnya, dalam pernyataan tertulis, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto meminta kader PDI-P untuk merapatkan barisan. Sebab, banyak pihak yang telah melakukan dansa politik untuk tujuan Pemilu 2024.
”Jangan beri peluang siapa pun dari luar partai untuk memecah belah kekuatan partai kita,” ujar Hasto.
Secara terpisah, pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mada Sukmajati, berpandangan, dengan pengalaman panjang PDI-P di kancah perpolitikan negeri ini, semestinya masalah tersebut dapat diselesaikan secara internal.
Sebab, ketika masalah itu keluar atau diungkapkan secara terang kepada publik, hal tersebut bisa menjadi bumerang dan merugikan semua pihak, baik Ganjar Pranowo, PDI-P sebagai lembaga partai, maupun Bambang Wuryanto dan Puan Maharani.
”Apalagi kalau hendak mengembangkan ke para pemilih yang cerdas yang tidak semata ideologis, peristiwa ini sebenarnya justru bisa merugikan PDI-P sebagai sebuah lembaga parpol kalau cara berkomunikasinya seperti itu,” ujar Mada.
Sebab, lanjut Mada, adanya sosok kader seperti itu, termasuk beberapa kader di parpol lainnya, menunjukkan fungsi perekrutan dan pembinaan partai telah berhasil dalam menghasilkan orang yang dianggap publik memiliki kapasitas sebagai pemimpin. Justru mengerem atau membendung fenomena menuju Pemilu 2024 saat ini dinilai terlalu prematur dan malah tidak menguntungkan.
Dengan kondisi ini, menurut Mada, lembaga parpol tetap merupakan lembaga tertinggi dan mengatasi orang-orang yang ada di dalamnya. Itu berarti lembaga parpol mesti menjalankan mekanisme yang memang sudah diatur di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI-P.
Peristiwa tidak diundangnya Ganjar dalam acara PDI-P di Semarang menunjukkan bahwa mekanisme yang digunakan untuk mengingatkan seseorang identik dengan budaya Jawa. Peristiwa tersebut bisa dimaknai peringatan keras.
”Memang tidak boleh mengatasi dari kelembagaan parpol, dari AD/ART, prosedur, termasuk tata kramanya. Karena Pak Ganjar sudah lama berkecimpung di PDI-P, seharusnya lebih memahami AD/ART dan tentu saja fatsun-fatsun atau praktik-praktik yang selama ini sudah berkembang. Jadi fair saja, dua arah. Ada hal-hal yang perlu dievaluasi secara kelembagaan, juga orang-orang di dalam partai, baik Pak Ganjar, Mbak Puan, Pak Bambang,” paparnya.
Di sisi lain, menurut Mada, peristiwa itu menimbulkan dugaan kaitan antara gaya kepemimpinan Ganjar sebagai Gubernur Jateng dan relasinya dengan DPRD Jateng yang kurang mulus. Di level nasional, hasil survei beberapa lembaga menempatkan nama Ganjar Pranowo sebagai salah satu sosok yang dipilih masyarakat sebagai calon presiden.
Sementara peristiwa tidak diundangnya Ganjar dalam acara PDI-P di Semarang menunjukkan mekanisme yang digunakan untuk mengingatkan seseorang identik dengan budaya Jawa. Peristiwa tersebut bisa dimaknai peringatan keras karena bermakna seperti ada acara di rumah sendiri, tetapi justru yang punya rumah tidak diundang.
”Apakah ini berarti memang benturannya keras sekali sehingga terpaksa dipublikasikan dengan cara seperti ini? Tetapi, cara ini tidak ada untungnya, malah bisa menjadi bumerang,” kata Mada.