Tim Kerja DPR, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu Sepakati Pemilu 28 Februari 2024
Tim kerja bersama antara DPR, penyelenggaran pemilu, dan pemerintah telah menyepakati sejumlah poin krusial dalam persiapan Pemilu 2024. Salah satunya menyangkut penetapan tanggal pemungutan suara pemilu dan pilkada.
JAKARTA, KOMPAS — Tim kerja bersama antara Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah, dan penyelenggara pemilu menyepakati pemungutan suara untuk pemilu presiden serta pemilu legislatif diadakan pada 28 Februari 2024 dan pilkada pada 27 November pada tahun yang sama. Namun, kesepakatan masih belum final karena tetap perlu dibahas dalam rapat dengar pendapat penyelenggara pemilu dan Komisi II DPR.
Sejumlah kesepakatan telah dicapai dalam rapat konsinyering yang dilakukan tim kerja bersama, Kamis (3/6/2021) malam. Kesepakatan itu meliputi hari-H pemungutan suara pilpres dan pileg pada 28 Februari 2024. Adapun untuk pemungutan suara pilkada, 27 November 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Total tahapan penyiapan sebelum hari-H pilpres dan pileg ialah 25 bulan karena tahapan akan dimulai pada Maret 2022. Desain waktu itu dipilih untuk menghindari persinggungan tahapan antara pilpres dan pileg dengan pilkada.
Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim, Jumat (4/6/2021), di Jakarta, menuturkan, selain hal itu, rapat konsinyering juga menyepakati dasar pencalonan bagi kepala daerah dalam Pilkada Serentak 2024 ialah hasil dari Pemilu 2024.
”Undang-Undang Pilkada mengatur dasar pencalonan ialah menggunakan hasil pemilu terbaru. Kalau memakai hasil Pemilu 2019, itu bukan pemilu terbaru. Namun, yang terbaru ialah hasil Pemilu 2024 karena itulah yang akhirnya disepakati menjadi dasar bagi pencalonan dalam Pilkada 2024,” ucapnya.
Baca juga: Pemilu Serentak 2024 Memerlukan Rp 119 Triliun
Tahapan dan penjadwalan yang telah disepakati dalam rapat konsinyering itu, lanjut Luqman, sudah dipikirkan dengan matang dan mempertimbangkan berbagai hal. Salah satunya ialah penetapan hari pelaksanaan pilpres dan pileg pada Februari, bukan Maret 2024, sebagaimana awalnya didorong Komisi II DPR.
Penyelenggaran pada Februari dipandang sesuai dengan kebutuhan tahapan, lantaran tidak terlalu berimpitan dengan tahapan pilkada. Ada jeda lebih dari tujuh bulan antara pilpres dan pileg dengan pilkada sehingga waktu yang tersedia itu memadai untuk memastikan semua tahapan, baik pemilu maupun pilkada, dapat dilakoni dengan baik.
Mulanya, Komisi II DPR lebih setuju jika pemilu diadakan pada Maret. Pertimbangannya ketika itu ialah potensi hujan deras dan bencana banjir serta tanah longsor yang kerap terjadi di sejumlah daerah pada awal tahun. Maret dipandang sebagai waktu yang lebih tepat. Namun, menurut Luqman, dalam rapat konsinyering disepakati persoalan cuaca itu tak lagi bisa diprediksi. Sementara pada saat yang sama, ada kebutuhan menyelenggarakan tahapan pilkada juga.
”Kondisi musim atau cuaca, kan, sekarang ini sudah tidak bisa lagi diprediksi. Yang menjadi pertimbangan kami ialah agar penyelenggara ini memiliki cukup waktu untuk menyiapkan tahapan pemilu ataupun pilkada dengan baik,” ucapnya.
Waktu 25 bulan dipandang cukup bagi penyelenggara pemilu untuk menyiapkan segala sesuatunya. Sebab, desain pemilu dan pilkada pun sudah mulai dibicarakan jauh-jauh hari, bahkan sejak saat ini. Menyoal kekhawatiran keterlambatan distribusi uang negara untuk Februari 2024, menurut Luqman, hal itu pun diyakini tidak akan terjadi. Penetapan hari pemungutan suara jauh-jauh hari akan memberikan kesadaran bagi pembuat kebijakan di bidang keuangan guna menyediakan anggaran sebelum hari-H.
”Kalau negara sudah menyiapkan pemilu pada 28 Februari 2024, tentu uangnya sudah bisa disiapkan sejak sekarang dan tidak perlu ada kekhawatiran keterlambatan pencairan anggaran pada awal tahun karena agenda ketatanegaraan ini sudah diatur. Presiden juga sudah mengatakan, sejak awal tahun anggaran, anggaran sudah harus digenjot,” katanya.
Putusan sementara
Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, apa yang telah disepakati pada rapat konsinyering pertama, Kamis malam, itu masih bersifat sementara. Banyak hal yang masih harus dipastikan kembali dalam rapat-rapat konsinyering berikutnya.
”Karena poin-poin kesepakatan itu bersifat sementara, nanti proses pengambilan keputusan secara resmi akan diambil melalui forum rapat konsultasi (RDP) dengan pemerintah dan DPR saat KPU mengajukan rancangan Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal,” katanya.
Waktu tahapan selama 25 bulan bagi penyelenggara pemilu dipandang sudah memadai karena saat ini KPU juga sudah mulai merancang berbagai desain penyederhanaan pemilu. Salah satu yang digagas KPU ialah desain perubahan surat suara dan penerapan Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi).
”Kajian-kajian itu, kan, sudah mulai kami lakukan dari sekarang. Artinya, dengan waktu yang tersedia 25 bulan, itu bisa kami siasati dengan persiapan Pemilu 2024 itu dari awal,” katanya.
Persoalan lain, menurut Pramono, akan dibahas dalam rapat-rapat konsinyering berikutnya. Poin-poin kesepakatan terkait hari pemungutan suara adalah hasil dari rapat konsinyering pertama dan masih akan ada rapat-rapat berikutnya. Keputusan final soal hari pemungutan suara dan jadwal tahapan masih menunggu rapat konsultasi dengan Komisi II DPR dan pemerintah.
Ditanya soal rapat konsinyering berikutnya, Luqman mengatakan, masih banyak hal krusial yang harus dibicarakan. Salah satunya ialah penggunaan aplikasi Sirekap yang belum diatur di dalam UU serta bagaimana nanti pengaturannya untuk bisa mendukung percepatan dan kelancaran pemilu.
”Hal lainnya ialah banyaknya penyelenggara pemilu, terutama anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) daerah yang habis masa tugasnya pada 2023 dan 2024. Penggantian petugas di tengah tahapan berjalan perlu diantisipasi untuk mencegah tahapan terganggu,” katanya.
Ada dua usulan untuk mengatasi masa jabatan KPU daerah yang habis di tengah-tengah tahapan yang berjalan. Pertama, perpanjangan masa jabatan bagi anggota KPU kota/kabupaten dan provinsi yang habis masa jabatannya pada 2023 dan 2024, yakni agar tetap menjabat hingga 2025. Kedua, pemendekan masa jabatan bagi mereka sehingga semuanya diganti pada 2022. Desain mana yang diambil, kata Luqman, harus dibicarakan dulu dalam rapat konsinyering.
Diperkirakan, masih ada dua sampai tiga kali rapat konsinyering lanjutan untuk membicarakan persoalan-persoalan lain terkait dengan desain Pemilu 2024. Tim kerja bersama memiliki waktu dua pekan untuk membahas desain pemilu.
”Kami ingin menyelesaikan semua persoalan desain pemilu ini melalu rapat-rapat konsinyering ini. Jadi, nanti kalau rapat kerja dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu tinggal thok thok (ketok palu) saja,” ujar Luqman.
Kerumitan belum teratasi
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, kesepakatan soal tahapan dan jadwal pemungutan suara pilpres dan pileg serta pilkada itu hanya mengatasi satu persoalan saja dalam Pemilu 2024, yakni persinggungan tahapan antara pemilu dan pilkada. Namun, rapat itu belum sampai pada pembicaraan mendalam soal bagaimana mengatasi kerumitan pemilu dan pilkada yang diselenggarakan pada tahun yang sama.
Salah satu yang harus dipikirkan ialah penyederhanaan pemilu sehingga tidak membebani petugas di lapangan, sekaligus tidak membingungkan pemilih. Belajar dari Pemilu 2019, terdapat ratusan korban jiwa akibat petugas kelelahan dan ada puluhan juta surat suara tidak sah untuk DPR dan DPD karena pemilih fokus memilih presiden.
”Perlu juga dibicarakan soal skenario penyederhanaan pemilu, misalnya dengan tata kelola TPS, yakni dengan membatasi jumlah pemilih per TPS, pembatasan usia petugas KPPS di lapangan, penyederhanaan surat suara sehingga tidak membingungkan pemilih, serta penyederhanaan beban kerja administratif petugas di TPS,” katanya.
Penyederhanaan pemilu justru merupakan hal krusial, menurut Titi, karena itulah yang diharapkan bisa menjadi salah satu dampak positif dari tidak diubahnya UU Pemilu. Dengan memakai UU Pemilu yang lama, penyelenggara diharapkan bisa memetakan persoalan pemilu menjadi lebih tajam dan menyiapkannya lebih baik, termasuk belajar dari kekurangan Pemilu 2019.