Fokus Daerah di Panggung Nasional
Nama tiga gubernur di Pulau Jawa selalu masuk dalam sejumlah survei calon presiden, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil. Mereka mempunyai kesamaan, saat ini mengaku fokus bekerja memajukan daerahnya.
Mingguan The Economist edisi 22-28 Mei 2004 menuliskan, dalam pertemuan yang emosional, bukan histeris, pada 18 Mei 2004, pengikut Sonia Gandhi mengancam, membujuk, dan memohon agar ia mau menerima jabatan Perdana Menteri India. Dalam pemilu di negara yang berpenduduk 1,1 miliar jiwa itu, partai yang dipimpin Sonia, Partai Kongres, mengalahkan partai PM Atal Behari Vajpayee, Partai Bharatiya Janata.
Sonia, istri mendiang Rajiv Gandhi dan menantu PM Indira Gandhi, menolak desakan pendukungnya. Ia merasa tak bisa memimpin India karena keturunan Italia, bukan warga asli India. Sonia tahu diri dan berbesar hati untuk tidak menerima kekuasaan yang sebenarnya sudah di tangannya itu.
Dalam konteks berbeda, kisah yang hampir sama juga pernah terjadi di negeri ini. Jelang Pemilu 2014, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), berbesar hati, tak memaksakan diri mencalonkan sebagai presiden lagi. PDI-P mendukung Joko Widodo, yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta. Jokowi yang berpasangan dengan M Jusuf Kalla pun memenangi pemilu presiden saat itu. Bahkan, Jokowi terpilih kembali lima tahun kemudian, berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin.
Tampilnya Jokowi di panggung kepemimpinan nasional seperti mematahkan ”tradisi” kepemimpinan di Nusantara. Nyaris sejak Indonesia merdeka belum pernah ada kepala daerah yang menjadi pemimpin nasional, kecuali sebagai anggota kabinet. Keenam Presiden yang memimpin sebelum Jokowi merupakan sosok yang lebih banyak beredar di pemerintahan pusat.
Bahkan, wakil presiden selalu berasal dari ”orang pusat” pula. Memang pernah Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) IX mendampingi Presiden Soeharto di awal Orde Baru. Namun, Sultan HB IX sudah lebih dahulu jadi tokoh nasional, dan pemerintahan di Yogyakarta dijalankan Wakil Gubernur Sri Paku Alam VIII.
Tak hanya menjadi ”orang daerah” yang merebut panggung nasional, Jokowi membuka jalan bagi siapa pun yang ”bukan siapa-siapa” di partai politik bisa diusung menjadi calon presiden. Sebelumnya, nyaris semua presiden Indonesia adalah sosok penting di kepengurusan pusat partai. Tidak sedikit pula yang menjadi pendiri partai. Jokowi saat itu adalah ”petugas partai”, PDI-P.
Baca juga : Wacana Presiden Tiga Periode Hanya Aspirasi Elite
Kini, dari berbagai survei yang dilakukan banyak lembaga, termasuk Litbang Kompas, sejumlah nama yang bukan pimpinan partai, bahkan tidak berpartai pun, mendapatkan ”suara”. Litbang Kompas menemukan, nama Presiden Jokowi tetap yang tertinggi dalam survei calon presiden 2024. Namun, konstitusi tak memungkinkan hal itu. Di posisi kedua ada Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto. Menteri Pertahanan itu sudah dua kali mengikuti pemilu presiden (Kompas, 4/5/2021).
Selain keduanya, dalam survei yang dilakukan Litbang Kompas yang dipublikasi pada 24 Februari 2021 dan 5 Mei 2021, ditemui tiga nama kepala daerah dan bukan pimpinan partai yang selalu muncul namanya. Mereka adalah Gubernur DKI Jakarta Anies R Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Dukungan bagi ketiganya, bahkan dalam survei sejak Oktober 2020, cenderung meningkat. Anies berada di kisaran 10 persen, Ganjar 7 persen, dan Ridwan 3 persen.
Memang ada nama Sandiaga S Uno yang pernah menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, serta Basuki T Purnama yang pernah jadi wakil Jokowi di DKI Jakarta dan kemudian menjadi gubernur. Namun, dukungan ketiganya cenderung menurun dalam survei terakhir, April. Mereka juga tak lagi menjabat kepala daerah.
Mereka kini menjadi menteri atau pimpinan BUMN. Nama lain yang muncul adalah sejumlah pimpinan partai atau tokoh politik nasional meskipun dukungannya di survei, termasuk yang diadakan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indo Barometer, dan Center for Strategic and International Studies (CSIS), masih di bawah ketiga kepala daerah di Jawa itu.
Politik tahu diri
Selain masih sama-sama menjadi kepala daerah dan masa jabatannya akan berakhir sebelum Pemilu 2024, Anies, Ganjar, dan Ridwan memiliki banyak persamaan pula kendati juga ada perbedaan. Bedanya, Anies dan Ridwan baru sekali periode menjabat. Ganjar sudah dua periode menjabat gubernur sehingga tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai gubernur di daerah mana pun. Persamaannya, ketiga gubernur itu saat ini fokus pada pemerintahan di daerahnya, khususnya dalam menangani pandemi Covid-19.
Baca juga : Ke Mana Pemilih Jokowi dan Prabowo Berlabuh?
Ketiganya juga selalu menolak jika disebutkan tengah membangun kapasitas dan elektabilitas untuk berlaga di pemilihan presiden mendatang. Seolah telah bersepakat, ketiganya menjalankan ”politik tahu diri” karena memang belum memiliki kendaraan politik untuk melaju pada 2024.
Ganjar adalah kader PDI-P sejak tahun 1992. PDI-P dapat mengusung sendirian calon presiden/wakil presiden pada Pemilu 2024 karena perolehan kursi di DPR melebih ambang batas pencalonan presiden, yaitu 20 persen. Namun, bukan Ganjar yang menentukan pencalonan di PDI-P, melainkan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Di partai ini juga ada nama lain yang digadang-gadang sejumlah kader, seperti Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi dan Mohammad Prananda Prabowo. Keduanya cucu Presiden Soekarno dan anak Megawati. Tri Rismaharini dan Basuki Tjahaja Purnama juga fungsionaris PDI-P.
Ganjar dalam perbincangan di Youtube harian Kompas, beberapa waktu lalu, menyatakan, ”Tunggu perintah Ketua Umum. Kalau tak disuruh, enggak usah GR (gede rasa), deh. Saya berpartai sejak 1992. Saya ini orang partai. Saya dididik dan dibesarkan oleh partai.”
Ganjar menambahkan, terkait hasil berbagai survei yang menempatkannya sebagai calon presiden untuk 2024, dia tak memedulikan. ”Enggaklah soal 2024. Sebagai kader, saya lakukan yang terbaik saja. Jika sudah lakukan yang terbaik, partai akan melihat. Uwislah. Kalau ada cerita survei capres (calon presiden), tak usah GR. Saya ini kader partai, institusi, bukan pribadi. Konstitusional partai diserahkan kepada Ibu Ketua Umum,” ujarnya. Ganjar tengah berjibaku menangani pandemi dan menumbuhkan perekonomian warga Jateng.
Bahkan, ia menilai kegaduhan terkait hasil survei calon presiden adalah bagian dari koreksi baginya. Mungkin ada yang tidak benar yang dilakukannya sebagai kader partai sehingga wajar jika dikoreksi.
Anies dan Ridwan pun berfokus menangani pandemi di daerahnya serta menumbuhkan harapan warga akan kehidupan yang lebih baik. Keduanya tidak berpartai hingga saat ini sehingga lebih leluasa bertemu dengan berbagai kalangan yang sering kali dipersepsikan tengah membangun kebersamaan untuk pemilihan presiden mendatang. Anies dan Ridwan pernah bertemu di Kabupaten Sumedang, Jabar, Jumat (11/6/2021). Keduanya menjalankan shalat subuh bersama di Masjid Agung Sumedang, dilanjutkan sarapan bersama.
”Kami melakukan penjajakan. Kami membahasnya cukup mendalam, serius, terkait kolaborasi pangan,” ujar Anies.
Keduanya menampik pertemuan itu bermuatan politis untuk kepentingan pemilu presiden. Kedua provinsi menjajaki kerja sama pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 di sektor ketahanan pangan. ”Saya hadir karena ini adalah implementasi dari strategi pemulihan ekonomi Jabar. Pascapandemi, ketahanan kedaulatan pangan harus diutamakan,” kata Ridwan Kamil (Kompas.id, 12/6/2021).
Dalam wawancara dengan Kompas menyambut HUT Ke-494 DKI Jakarta, Anies menegaskan kembali perhatian utamanya kini adalah mengupayakan Jakarta bangkit dari pandemi melalui kolaborasi. ”Mari kita tunjukkan sifat dasar dari pribadi Jakarta, tangguh, dan jaga optimisme itu dengan solidaritas,” katanya (Kompas, 22/6/2021).
Selain bertemu Anies, Ridwan dalam sebulan terakhir juga bertemu Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Namun, pertemuan itu dalam rangkaian kedinasan, sebagai gubernur, bukan untuk membahas pemilu mendatang. Ia pun menjalankan ”politik tahu diri” dalam menentukan masa depannya.
”Saya punya dua nilai. Satu, politik akal sehat. Akal sehat mengatakan, kalau kebijakan keliru, saya akan bersuara. Kedua, politik tahu diri. Kalau sudah membicarakan 2024, saya tahu diri. Enggak punya partai dan logistik. Yang saya punya elektabilitas. Saya juga enggak punya buzzer (pendengung). Silakan dicek. Untuk 2024 ini, sederhana saja. Kalau berdampak terhadap elektoral, ya, alhamdulillah. Elektoral itu bisa berujung pada dua pintu, pemilu presiden atau bisa dipakai untuk periode kedua gubernur. Memimpin 50 juta orang (penduduk Jabar) juga sebuah kehormatan,” katanya kepada Kompas di Bandung, pekan lalu.
Ridwan melanjutkan, ”Jadi pemimpin itu ada dua. Pertama, membawa rasa aman dan nyaman. Kedua, membawa perubahan. Saya berusaha menyeimbangkan itu.”
Elektabilitas yang disebutkan Ridwan, sejak Jokowi tampil di panggung nasional, menjadi pertimbangan pimpinan parpol untuk menentukan kepemimpinan nasional. Jika mengacu jumlah pemilih, Jabar memiliki pemilih terbanyak di negeri ini. Pemilih terbanyak berikutnya ada di Jawa Timur, Jateng, Sumatera Utara, Banten, dan DKI Jakarta.
Gubernur di Jawa memiliki modal disoroti secara nasional dan dukungan mayoritas warganya. Mereka cukup berfokus bekerja baik bagi warga di provinsinya. (CHE/TAM/BDM)