Memburu Elektabilitas, Mengesampingkan Etika Politik
›
Memburu Elektabilitas,...
Iklan
Memburu Elektabilitas, Mengesampingkan Etika Politik
Ikhtiar sejumlah parpol memopulerkan elite partainya melalui baliho dan ”billboard” selama dua bulan terakhir dinilai bentuk krisis etika politik. Elektabilitas mereka pun tak beranjak naik, justru cibiran yang dituai.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Alih-alih meningkatkan elektabilitas, ikhtiar sejumlah partai politik memopulerkan elite partainya melalui baliho dan billboard selama dua bulan terakhir justru menuai cibiran dari publik. Bagaimana tidak? Di tengah kesulitan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya, mereka justru sibuk mengampanyekan diri untuk Pemilu 2024. Ini dinilai sebagai bentuk krisis etika politik.
Sebagaimana diketahui, ada sejumlah elite parpol yang kini terus diperkenalkan ke publik melalui media luar ruang tersebut. Mereka adalah politisi PDI-P yang kini menjabat Ketua DPR Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Masing-masing membawa pesan berbeda. Puan membawa pesan ”Kepak Sayap Kebhinnekaan” dan ”Jaga Iman, Jaga Imun, Insyaallah Aman, Aamiin”. Kemudian, Airlangga membawa pesan ”Kerja untuk Indonesia”, sedangkan Muhaimin membawa pesan ”Padamu Negeri Kami Berbakti”.
Namun, alih-alih meningkatkan elektabilitas pada para elite tersebut, sebagian publik justru merespons negatif. Seperti dikemukakan pengemudi ojek daring, Muhammad Rizky. Menurut dia, uang untuk pemasangan baliho sebaiknya dialihkan untuk penanganan pandemi. Adapun warga lain, Gerry, menilai, pemasangan baliho untuk Pemilu 2024 masih terlalu cepat karena masyarakat saat ini masih menghadapi pandemi.
”Fokus dulu ke pandemi, setelah itu baru pikirkan 2024,” katanya.
Fenomena maraknya baliho politik di tengah situasi kesulitan masyarakat menghadapi pandemi itu turut menjadi bahasan dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Baliho Politik di Tengah Pandemi” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (11/8/2021) malam.
Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir sebagai narasumber melalui telekonferensi, politisi PDI-P yang juga anggota DPR dari PDI-P, Hendrawan Supratikno; Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Maman Abdurrahman; sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Najib Azca; dan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda.
Maman berdalih, penyampaian konten partai melalui media luar ruang merupakan aktivitas rutin partai yang sudah diagendakan jauh hari sebelum pandemi. Dalam program partai, hal itu telah diagendakan pada 2021. Adapun konten dalam media luar ruang bergambar Airlangga disebutnya sebagai bentuk motivasi kepada masyarakat untuk bekerja bagi Indonesia.
Ia menampik jika pemasangan billboard bergambar Airlangga itu dianggap tidak sensitif dengan situasi pandemi. Sebab, Golkar sudah melakukan kerja-kerja sosial penanganan pandemi di tingkat pusat dan daerah, seperti pembagian bahan-bahan kebutuhan pokok bagi masyarakat terdampak pandemi dan percepatan program vaksinasi.
Bahkan, Airlangga sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional disebutnya selalu berjibaku menuntaskan pandemi.
”Sampai hari ini, aktivitas pemasangan billboard dengan penanganan pandemi tidak ada yang berubah. Sampai kapan pun akan terus bergerak karena sudah jadi kewajiban kami turun membantu penanganan pandemi,” ujarnya.
Adapun mengenai pemasangan baliho Puan, Hendrawan mengatakan, hal itu merupakan ekspresi kebanggaan kader PDI-P terhadap prestasi Puan karena merupakan perempuan pertama yang menjadi Ketua DPR. Sebanyak 65 persen pesan yang disampaikan melalui baliho dan billboard pun diklaimnya terkait penanganan pandemi. Sisanya, inisiatif dari Fraksi PDI-P di DPR dengan membawa slogan ”Kepak Sayap Kebhinnekaan” yang mengajak masyarakat membangun toleransi dan menghargai keberagaman.
”Kami heran kalau baliho yang mengajak disiplin sosial, menjaga kebersamaan, kemudian dianggap kurang sensitif. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan parpol dianggap sesuatu yang salah. Padahal, parpol tidak hanya mengerjakan satu hal, di mana pasang baliho adalah salah satu dari banyak kegiatan yang sudah dikerjakan,” katanya.
Kegiatan dimaksud seperti pembagian bahan-bahan kebutuhan pokok, pendirian dapur umum, dan program vaksinasi Covid-19.
Krisis etika politik
Meski demikian, Najib menilai, pemasangan baliho dan billboard politik di tengah suasana rakyat yang kesulitan menghadapi pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya merupakan bentuk krisis etika politik. Dalam situasi sulit seperti sekarang, elite politik justru mencari panggung dan perhatian publik untuk mengenalkan pribadinya.
”Pemasangan baliho justru bisa mengundang antipati karena biaya pemasangan baliho tidak murah. Ini menunjukkan tipisnya sensitivitas etik di masa pandemi,” katanya.
Selain itu, ia mengingatkan soal perubahan konfigurasi pemilih di Pemilu 2024. Segmen penting dalam Pemilu 2024 adalah kelompok generasi milenial yang dinilainya tidak akan mudah terpengaruh dengan pemasangan baliho. Karena itu, elite politik semestinya menggarap segmen tersebut melalui media sosial yang lebih akrab dengan kehidupan generasi milenial.
Hal lain yang juga penting, jika elite politik ingin memikat simpati publik, semestinya kritik publik didengarkan. Misalnya, mereka memutuskan menghentikan pemasangan baliho dan billboard politik dan mengalihkan anggarannya untuk penanganan pandemi.
Menurut Hanta, elite politik semestinya memiliki empati yang tinggi terhadap situasi yang dirasakan publik. Sebab, sebagai bagian dari parpol, mereka membawa fungsi untuk agregasi dan artikulasi kepentingan dari publik yang diwakili. Apalagi, pemanfaatan baliho dan billboard dianggap merupakan strategi yang keliru serta tidak berdampak pada elektabilitas, bahkan berpotensi kontraproduktif karena dicibir publik.
Tetap di papan bawah
Mengutip survei Charta Politika Indonesia pada 12-20 Juli 2021, yang dirilis Kamis (12/8/2021), elektabilitas Puan Maharani dan Airlangga Hartarto masih berada di papan bawah. Puan hanya meraih 1,4 persen, sedangkan Airlangga 1 persen. Tiga teratas diduduki Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.
Begitu pula survei oleh Indostrategic yang dirilis pada Selasa (3/8/2021). Elektabilitas Airlangga Hartarto hanya 0,5 persen, sedangkan Puan Maharani 0,6 persen. Angka elektabilitas itu jauh di bawah Prabowo Subianto (17,5 persen), Anies Baswedan (17,0 persen), Ganjar Pranowo (8,1 persen), dan Ridwan Kamil (7,0 persen). Survei dilakukan terhadap 2.400 responden pada 23 Maret-1 Juni 2021.
Tokoh-tokoh yang memiliki elektabilitas tinggi tersebut tidak memanfaatkan baliho dan billboard untuk mengerek elektabilitasnya. Sebagian besar memilih menunjukkan kinerjanya untuk membantu masyarakat dalam menghadapi pandemi dan hal itu berimbas nyata pada elektabilitas. Maka, elite politik pun hendaknya melakukan hal serupa dengan, misalnya, membuat posko penanganan pandemi sebanyak-banyaknya sehingga publik tahu parpol atau elite politik mana yang membantu masyarakat di masa pandemi.
”Politik adalah soal persepsi. Kerja-kerja (penanganan pandemi) justru kurang diketahui publik karena yang justru ditangkap pemilih ternyata bertebarannya baliho 2024 di tengah pandemi. Elite politik semestinya menyampaikan prestasinya untuk membentuk persepsi publik,” ujar Hanta.