Pemantau Pemilu Menghadapi Tantangan Zaman...
Dengan pendanaan dari lembaga donor yang kian seret dan tantangan masih seputar poltik uang yang menyebabkan lemahnya budaya berdemokrasi dalam pemilu, kelompok pemantau pemilu terus berupaya menjaga proses elektoral.
Masyarakat sipil bidang kepemiluan dituntut untuk berubah. Sejak 2009, donor pendanaan dari luar negeri seret. Padahal, aktivisme di bidang pemilu dan demokrasi masih membutuhkan pengawalan. Kolaborasi dan penguatan advokasi di media sosial masih diperlukan untuk mencapai tujuan.
Keberadaan pemantau pemilu, seperti Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), berkontribusi pada akuntabilitas dan transparansi penyelenggaran pemilu. Para pemantau pemilu berperan sebagai aktor yang tak hanya memberikan pendidikan politik pada pemilih dan mendorong keterbukaan penyelenggaraan pemilu, tetapi juga memperjuangkan agar pemilu semakin inklusif bagi kelompok rentan.
Namun, seiring dengan terkonsolidasinya pelaksanaan demokrasi elektoral, banyak tantangan yang harus dihadapi para pemantau pemilu, tak terkecuali JPPR. Melansir situs rumahpemilu.org, JPPR didirikan sejak 1998 oleh aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). JPPR merupakan miniatur Indonesia dengan bangunan kultural ideologis Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, lembaga antariman, akademisi, dan LSM. Ini karena JPPR dibangun oleh 38 lembaga organisasi kemasyarakatan di bawah NU, Muhammadiyah, LSM, lembaga pendidikan, lembaga antariman, lembaga kemahasiswaan, dan radio.
Pada mulanya, JPPR hanya melakukan pendidikan bagi pemilih, tidak melalukan pemantauan. Baru, pada Pemilu 2004, JPPR melakukan pemantauan pemilu karena ada perubahan orientasi dari lembaga donor. Jumlah sukarelawan yang terdaftar sebagai pemantau pemilu yang diorganisasi oleh JPPR sebanyak 144.000 orang. Sukarelawan pemantau fokus pada pengawasan politik uang, kampanye, dan pasca hari pemungutan suara.
Baca juga : Pemilih Pindahan Butuh Perlindungan Hukum
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Pramono Ubaid Tanthowi, saat acara ”Dialog dan Pembukaan Pernas JPPR ke XI: Konsolidasi Masyarakat Sipil Menuju Pemilu 2024”, Rabu (20/10/2021), mengatakan, pelaksanaan pemilu di Indonesia memang semakin demokratis apabila dibandingkan dengan era Orde Baru. Kemajuan itu ditandai dengan adanya penyelenggara pemilu yang independen, peraturan yang lebih inklusif agar masyarakat bisa menggunakan hak pilihnya, ataupun prosedur penegakan hukum pemilu. Elemen yang disebut Pramono sebagai perangkat keras demokrasi elektoral itu dinilai sudah sangat berkembang.
Namun, Pramono berpandangan, demokrasi elektoral melalui pelaksanaan pemilu ini belum didukung basis kultural yang kokoh. Lemahnya kultur berdemokrasi dalam pemilu ini terlihat dari partisipasi masyarakat pada pemilu karena ada mobilisasi pemilih atau transaksi dengan politik uang. Padahal, seharusnya menggunakan hak pilih dilakukan secara sadar, sukarela, untuk berpartisipasi dalam politik dan demokrasi.
”Kesediaan menerima perbedaan pilihan politik juga masih cukup rendah. Marak hoaks dan fake news sebagai medium menyebarkan informasi saat pemilu. Oleh karena itu, keberadaan jaringan pemilih dan pemantau kepemiluan masih diperlukan,” kata Pramono yang dulu pernah menjadi anggota JPPR.
Sejak awal didirikan, JPPR sudah fokus pada aspek kultural atau edukasi politik masyarakat. Ini sudah terlihat dari proposal awal JPPR tahun 1998, yang memilih isu spesifik soal penguatan basis kultural masyarakat.
Padahal, sejak awal didirikan, JPPR sudah fokus pada aspek kultural atau edukasi politik masyarakat. Ini sudah terlihat dari proposal awal JPPR tahun 1998, yang memilih isu spesifik soal penguatan basis kultural masyarakat. Fokus utama JPPR sebenarnya adalah pendidikan pemilu untuk rakyat. Hal itu, kata Pramono, masih terus relevan dan harus dipertahankan.
”Aspek penguatan basis kultural masyarakat ini tidak kurang penting dibandingkan dengan pemantauan pemilu, advokasi penegakan hukum pemilu, dan hal-hal lain,” ujar Pramono.
Selain mengatasi permasalahan yang disebutkan itu, menurut Pramono, keberadaan jaringan pemilih diperlukan agar masyarakat mendapatkan informasi yang cukup mengenai pemilu dan dapat memberikan hak pilihnya secara bebas. Pramono juga berharap JPPR bisa melakukan pemantauan yang lebih luas, seperti saat pelaksanaan kampanye.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah, mengatakan, sudah saatnya JPPR tidak hanya melihat aspek prosedural dalam mengawal pemilu sebagai proses demokrasi. Namun, juga melihat substansi yang dihasilkan dari pelaksanaan pemilu.
”Dengan banyaknya kaukus, organisasi dari perguruan tinggi, pertemuan dua organisasi besar keagamaan, seperti Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah, JPPR menjadi lebih legitimate dan bisa memantau tidak hanya proses penyelenggaraan pemilu, tetapi juga hasilnya,” ujar Luluk.
Luluk juga mengatakan, di usianya yang ke-21 tahun, JPPR dianggap belum begitu konsern dengan isu keterwakilan perempuan dalam politik. Dia berharap JPPR bisa melanjutkan perjalanannya dengan mendorong soal kesetaraan akses bagi perempuan dalam politik. JPPR perlu lebih konsern dan mengafirmasi isu-isu perempuan dan kesetaraan dalam pemilu.
Baca juga : Pemantauan Publik Jaga Legitimasi Pemilu
Tantangan berat
Koordinator Nasional JPPR periode 2019-2021, Alwan Ola Riantoby, menyebutkan, kehadiran masyarakat sipil memang dapat mengisi ruang kosong dalam pendidikan pemilih serta mengawal prose pemilu dan demokrasi. Namun, ada kendala yang cukup berat, yaitu bantuan yang berasal dari donor asing semakin berkurang. Ini lantaran isu soal pemilu dan demokrasi di Indonesia dianggap sudah matang dan terkonsolidasi dengan baik. Saat ini, donor dana pun lebih banyak didapatkan dari iuran anggota ataupun hasil publikasi dari riset kecil-kecilan JPPR.
Dari sisi kaderisasi, Alwan menyebut jaringan pendidikan pemilih tidak mengalami hambatan. Masih banyak yang mau menjadi sukarelawan, apalagi JPPR disokong oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Dengan kondisi itu, JPPR tidak khawatir kesulitan untuk merekrut sukarelawan baru.
Kehadiran masyarakat sipil memang dapat mengisi ruang kosong dalam pendidikan pemilih serta mengawal prose pemilu dan demokrasi.
Pramono membenarkan, sejak 2009, donatur internasional memang berkurang. Di sisi lain, masyarakat sipil merasa ada masalah tidak ada ruang berekspresi untuk menyuarakan isu-isu kepemiluan kepada publik. Media sosial dinilai bisa menjadi ruang alternatif untuk menyuarakan ide dan isu kepemiluan. Medsos bisa dioptimalkan untuk membangun literasi politik, digital, dan penguatan basis kultural demokrasi. JPPR bisa mengelola medsos dengan lebih baik serta dituntut untuk meningkatkan engangement dengan publik.
”Belum banyak yang bermain di media sosial, ini ruang yang masih sangat terbuka dan bisa dikerjakan oleh teman-teman di JPPR. Pengalaman dari teman JPPR banyak, dulu tahun 2017, pemantauan isu soal dana kampanye pernah digaungkan dan menjadi headlines di media massa,” kata Pramono.
Saat ini, JPPR telah memiliki nakhoda baru. Nurlia Dian Paramita, perempuan aktivis dan peneliti senior JPPR, menjadi Kornas JPPR periode 2021-2023. Setumpuk tugas dan tantangan menghadang Ketua Bidang Organisasi dan Kerja Sama Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah Muhammadiyah 2016-2020 itu.
Mita, sapaan akrabnya, mengatakan, JPPR sepakat akan mengonsolidasikan masyarakat sipil sebagai upaya membangun demokrasi yang substansial. JPPR juga akan tetap melakukan kerja pemantauan dan pendidikan pemilih, advokasi, serta pemantauan pascaelektoral.
Tak hanya itu, JPPR juga mengembalikan mandat pendidikan pemilih pada roh kultural masyarakat. ”Pendidikan pemilih tidak dimaknai sebagai forum warga, tetapi bagaimana memperjuangkan masyarakat yang sebetulnya berhak mendapatkan akses pelayanan publik yang lebih baik dan hidup sejahtera,” ujarnya.
Mita tak memungkiri salah satu tantangan terbesar lembaga kepemiluan saat ini adalah bertahan dan tetap kritis di tengah persoalan pendanaan. Sejak awal JPPR memenuhi kebutuhan pendanaan itu dengan inisiatif kesukarelawanan. Idealnya, pendanaan didapat dari iuran keanggotaan, kerja sama antarlembaga pemantau pemilu, lembaga pemerintah, dan pihak luar, dalam hal ini lembaga donor. Namun, karena kondisi demokrasi Indonesia pada lima tahun terakhir sudah dianggap relatif stabil, bantuan dari lembaga donor tidak ada lagi.
Dengan demikian, saat ini iuran anggota menjadi salah satu sumber pendanaan. JPPR memaknai iuran keanggotaan sebagai bentuk kesukarelawanan yang dibangun atas keinginan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sadar, berpengetahuan, dan partisipatif dalam membangun kedaulatan rakyat. Hal itu sesuai dengan amanat statuta kelembagaan JPPR.
Kini, 23 tahun sudah JPPR melintas zaman. Selama itu pula JPPR konsisten melakukan regenerasi, menjaga sumber daya, serta bersama-sama lembaga lain menjaga proses elektoral dan memberikan pendidikan politik bagi pemilih. Komitmen itu terus dipertahankan dengan satu tujuan meningkatkan kualitas demokrasi di Tanah Air.