Keserentakan Pemilu 2024 di Tangan Sembilan Hakim Konstitusi
›
Keserentakan Pemilu 2024 di...
Iklan
Keserentakan Pemilu 2024 di Tangan Sembilan Hakim Konstitusi
Keserentakan Pemilu 2024 kini menunggu keputusan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi. Setelah sidang pada Selasa (26/10/2021), para hakim konstitusi menggelar rapat permusyawaratan hakim untuk menyiapkan putusannya.
Oleh
SUSANA RITA
·3 menit baca
Nasib keserentakan pemilu tahun 2024 kini berada di tangan sembilan hakim konstitusi dengan rampungnya sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Selasa (26/10/2021). Setelah menggelar sidang untuk keenam kalinya, para pihak yang terlibat dalam uji konstitusionalitas keserentakan penyelenggaraan pemilu tahun 2024 diminta untuk menyerahkan kesimpulan akhir ke Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, para hakim konstitusi akan menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk membahas dan menyiapkan putusan terkait pengujian norma tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Sidang untuk perkara nomor 16/PUU-XIX/2021 pada hari ini (Selasa) agendanya adalah untuk mendengarkan keterangan ahli dari presiden. Mahkamah menerima surat dari Kementerian Dalam Negeri terkait agenda persidangan hari ini yang ternyata Presiden batal atau tidak jadi mengajukan ahli. Dipersilakan kuasa Presiden apa benar demikian?” ujar Ketua MK Anwar Usman yang memimpin persidangan.
Mendengar pertanyaan tersebut, kuasa Presiden, Wahyu Chandra Purwo Negoro, mengungkapkan, ”Terkait dengan agenda persidangan hari ini, pada intinya, pemerintah telah menyampaikan keterangan lengkap melalui keterangan tambahan sehingga berdasarkan arahan pimpinan untuk ahli kami batalkan.”
Anwar pun kemudian menutup persidangan sembari mengingatkan kepada para pihak bahwa hari Selasa itu merupakan persidangan terakhir untuk perkara pengujian konstitusionalitas keserentakan pemilu. ”Para pihak dipersilakan untuk mengajukan kesimpulan dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak hari ini. Berarti paling lambat hari Rabu, tanggal 7 November 2021,” ujar Anwar.
Sebelumnya, empat penyelenggara pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat meminta MK untuk membatalkan ketentuan pemilu serentak 2024 mengingat beratnya beban yang harus dipikul oleh penyelenggara pemilihan di lapangan jika pemilu lima kotak dilakukan.
Adanya korban jiwa, yakni 894 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pemilu 2019 dan 5.175 anggota KPPS sakit karena kelelahan, cukup menjadi alasan untuk menata ulang format keserentakan Pemilu 2024.
Sebelumnya, empat penyelenggara pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat meminta MK untuk membatalkan ketentuan pemilu serentak 2024 mengingat beratnya beban yang harus dipikul oleh penyelenggara pemilihan di lapangan jika pemilu lima kotak dilakukan.
Adapun keempat penyelenggara pemilihan yang mengajukan uji materi ke MK itu adalah Akhid Kurniawan (Ketua KPPS di TPS 024 Kelurahan Wirokerten, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta), Dimas Permana Hadi (Panitia Pemilihan Kecamatan di Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta), Heri Darmawan (PPK di Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat), dan Subur Makmur (Panitia Pemungutan Suara di Kelurahan Abadijaya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat).
Para pemohon tersebut meminta agar MK memaknai keserentakan pemilu pada 2024 dengan memisahkan pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari pemilu nasional yang memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
Salah satu kuasa hukum pemohon, Heroik Pratama, yang juga pegiat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengungkapkan bahwa sejak awal telah mengajukan permohonan provisi untuk menjadikan perkara ini sebagai prioritas. Sebab, putusan MK akan berimplikasi langsung terhadap jadwal dan tahapan pemilu. ”Nanti di kesimpulan kami akan kembali menekankan provisi ini agar tidak mengganggu tahapan pemilu,” kata Heroik.
Hingga kini, desain dan tahapan Pemilu 2024 belum ditentukan. Komisi Pemilihan Umum, pemerintah, dan DPR belum menemukan kata sepakat mengenai masalah itu, termasuk kapan hari pemungutan suara diadakan. Sementara apabila mengacu pada ketentuan UU No 7/2017, tahapan pemilu dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.