Musim Semi Gugatan ”Presidential Threshold”
Pekan ini MK menerima tiga permohonan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden. Salah satunya diajukan Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI. Pengamat politik menilai, kini banyak pihak ingin menjadi capres.
Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold kembali diperbincangkan. Tak sedikit yang menginginkan aturan itu dihapus. Uji materi ke Mahkamah Konstitusi pun kembali dilayangkan. Padahal, dalam putusan-putusan sebelumnya, MK menyerahkan kebijakan itu kepada pembentuk undang-undang.
Memasuki tahun politik jelang Pemilu 2024, sebagian pihak yang berkepentingan mulai gerah mempersoalkan sejumlah ketentuan yang bisa menghalangi hasrat politik pribadi atau kelompok kepentingan yang diwakili. Uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mulai ramai-ramai dilakukan. Mereka menggugat syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang harus memenuhi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Hingga Selasa (14/12/2021), MK menerima pendaftaran tiga permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Permohonan pertama diajukan Fery Joko Juliantono (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra) pada 7 Desember, disusul dengan permohonan Bustami Zainudin (anggota DPD dari Lampung) dan Fachrul Razi (anggota DPD dari Aceh) yang didaftarkan pada 10 Desember.
Pendaftaran terkini dilakukan Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI, yang mengajukan permohonan pada 13 Desember. Refly Harun menjadi kuasa hukum dari tiga permohonan penghapusan pasal presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden tersebut.
”Banyak sekali yang ingin mengajukan permohonan yang sama. Kalau saya layani semua, enggak kuat saya. Oleh karena itu, saya berharap kawan-kawan lawyer untuk turun tangan membantu orang-orang untuk menghapus presidential threshold 20 persen,” ujar Refly saat dihubungi pada Selasa (14/12/2021).
Baca juga : Uji Materi ”Presidential Threshold” Diajukan Lagi ke MK
Permohonan penghapusan ambang batas pencalonan presiden sebenarnya sudah berkali-kali diajukan. Refly mencatat, ada 13 permohonan pengujian Pasal 222 UU No 7/2017 (setelah tahun 2017). Ini belum termasuk permohonan mengenai persoalan yang sama, tetapi berbentuk pengujian UU Pemilu lama.
Dari 13 permohonan uji materi Pasal 222, kebanyakan dinyatakan tidak dapat diterima. Tujuh perkara di antaranya bermasalah dengan legal standing atau kedudukan hukum pemohon, termasuk permohonan yang diajukan Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno (putusan 74/PUU-XVII/2020 yang dibacakan pada 11 Januari 2021). Refly juga mendampingi Rizal Ramli dalam perkara tersebut.
Perkara lain kandas karena sikap MK yang memandang ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy yang diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.
Permohonan penghapusan ambang batas pencalonan presiden sebenarnya sudah berkali-kali diajukan. Refly mencatat, ada 13 permohonan pengujian Pasal 222 UU No 7/2017 (setelah tahun 2017).
Lantas, mengapa Refly berani mempersoalkan konstitusionalitas ketentuan ambang batas presiden? Ia mengatakan, ada pertanda baik yang membuatnya semangat maju kembali mewakili sejumlah unsur yang keberatan dengan adanya ambang batas pencalonan presiden.
”Optimistis setelah putusan omnibus law. Indikasinya ini, omnibus law. Karena sudah rahasia umum, kan, MK itu sebetulnya mewakili perspektif kekuasaan atau non-kekuasaan. Kalau saya mengukurnya, kalau dia mempertahankan UU omnibus law yang jelas-jelas secara prosedur kacau balau, MK sangat membela kekuasaan. Kalau dia berani menyatakan omnibus law inkonstitusional, dia berani keluar dari cengkeraman kekuasaan,” ujar Refly.
Baca juga : MK Diharap Pertimbangkan Pengalaman Penyelenggara ”Ad Hoc” pada Pemilu 2019
Pada 25 November, MK menyatakan, UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang dibuat dengan metode omnibus law inkonstitusional bersyarat. MK menyatakan, pembentukan UU tersebut cacat formil dan memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaikinya dalam waktu dua tahun. Selama kurun waktu perbaikan dilakukan, MK menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku.
Harapan baru
Refly mengaku punya harapan terhadap lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan uji formil UU Cipta Kerja. Putusan yang tak bulat, dengan perpecahan pendapat antara lima hakim dan empat hakim lain, menurut dia, menunjukkan bahwa cengkeraman kekuasaan terhadap MK sebenarnya masih kuat. ”Kalau tidak ada cengkeraman kekuasaan, itu (UU Cipta Kerja) sudah dibatalkan secara langsung,” kata Refly.
Dalam kaitannya dengan ambang batas pencalonan presiden, Refly mengungkapkan, sebenarnya banyak pihak yang menginginkan norma tersebut dihapus. Hal ini pula yang menjadi dalil utama permohonan atas nama Gatot Nurmantyo. ”Secara sosiologis, pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden mendapatkan penolakan dari mayoritas elemen bangsa dan memunculkan fenomena pembelian kandidasi,” demikian tertera dalam berkas permohonan yang didaftarkan ke MK.
Refly mendalilkan, Pasal 222 No UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 karena telah mengakibatkan pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan ssebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden/wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta pemilu. Penggunaan syarat ambang batas untuk mengajukan capres/cawapres berpotensi mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan. Ini sesuai dengan dissenting opinion Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 tanggal 11 Januari 2018.
Baca juga : Perjuangan Partai Nonparlemen demi Kesetaraan dalam Pemilu
Ketika itu, Saldi Isra menyatakan, rezim ambang batas pencalonan presiden mengakibatkan masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk mengetahui dan menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta pemilu. Dengan membuka kesempatan kepada semua partai politik peserta pemilu mengajukan pasangan calon presiden (dan wakil presiden), masyarakat dapat melihat ketersediaan calon pemimpin bagi masa depan. Selain itu, masyarakat juga disediakan pilihan yang beragam untuk calon pemimpin tertinggi di jajaran eksekutif.
Masih dalam putusan yang sama, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengafirmasi bahwa mempertahankan ambang batas pencalonan presiden dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.
”Padahal, salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia. Pertanyaan elementer yang nisacaya diajukan: mengapa ambang batas pengajuan calon presiden (dan wakil presiden) dipertahankan ketika keberadaannya menyimpang dari logika sistem presidensial? Bahkan, studi komparasi menujukkan, misalnya Amerika Serikat, negara yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden (dan wakil presiden),” demikian terungkap dalam putusan halaman 141.
Menurut Refly, saat ini semakin banyak pihak yang menginginkan ambang batas pencalonan presiden dihapus. Ia menyebutkan sejumlah tokoh, seperti Jimly Asshiddiqie, Hamdan Zoelva, dan Titi Anggraini. Menurut dia, salah satu pihak yang ingin agar ambang batas itu dipertahankan adalah PDI-P karena sudah mengantongi 20 persen kursi di DPR.
Apalagi, seperti diungkap dalam berkas permohonan oleh Refly, partai politik dalam melaksanakan hak konstitusionalnya mengusung capres/cawapres sering kali mengabaikan kepentingan rakyat untuk menghadirkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa dan lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemodal. Untuk itu, ia berharap, MK kali ini mengabulkan permohonan penghapusan syarat ambang batas pencalonan presiden.
Terkait ambang batas pencalonan presiden ini, merujuk hasil jajak pendapat Kompas pada Juni 2020, disebutkan perlunya pemilih diberikan banyak pilihan calon presiden. Namun, dukungan yang kuat dari partai politik tetap tidak bisa dilupakan sebagai basis politik kekuatan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hasil jajak pendapat juga mencatat, perlu ada keberimbangan di antara kebutuhan akan dukungan partai politik yang kuat dan perlunya pemilih diberikan lebih banyak pilihan. Sebanyak 53,8 persen publik menilai masih perlu syarat ambang batas pencalonan presiden. Sementara 39,8 persen menilai tidak perlu dan 6,4 persen menjawab tidak tahu (Kompas, 29/6/2020).
Bagi kelompok yang setuju masih diberlakukan, ambang batas bertujuan membatasi jumlah pasangan calon presiden. Sebaliknya, kelompok responden yang cenderung menganggap tidak perlu lagi diterapkan beralasan agar pasangan calon presiden lebih banyak dan tidak dimonopoli oleh kekuatan partai politik besar atau pemenang pemilu.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luqman Hakim mengatakan, setiap warga negara berhak mengajukan gugatan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. ”Panen gugatan” soal ambang batas pencalonan presiden kali ini menjadi pertanda untuk memikirkan ulang aturan itu. Apalagi, pelaksanaan pilpres kini dilakukan serentak dengan pileg. ”Kalau dianggap sudah tidak relevan, dihapuskan saja syarat itu,” katanya.
Evaluasi mengenai ambang batas pencalonan presiden, lanjut Luqman, akan sangat relevan jika parpol mulai terlembaga seiring penguatan sistem presidensial.
Menurut dia, ke depan idealnya semua parpol peserta pemilu memiliki hak untuk mengajukan kandidat secara sendiri ataupun koalisi. Apalagi, dalam konstitusi tidak diatur syarat ambang batas pencalonan presiden, hanya soal calon presiden dan calon wakil presiden diusung oleh parpol atau gabungan parpol.
Evaluasi mengenai ambang batas pencalonan presiden, lanjut Luqman, akan sangat relevan jika parpol mulai terlembaga seiring penguatan sistem presidensial. Jika terjadi multipartai sederhana dengan jumlah parpol tak lebih dari lima, syarat tersebut sepertinya tak lagi relevan.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, ramainya gugatan ambang batas pencalonan presiden ke MK jelang tahun politik menunjukkan banyak pihak ingin kesempatan untuk menjadi calon presiden meningkat. Sebab, aturan saat ini membuat peluang kandidat kian sulit karena membutuhkan syarat 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara nasional.
Padahal, stok kandidat calon presiden 2024 cukup melimpah akibat tidak ada petahana. Mereka merasa punya kesempatan untuk maju, tetapi terhalang persyaratan tersebut. Parpol pun cukup sulit membuat koalisi karena hanya tiga parpol yang memiliki suara di atas 10 persen, yakni PDI-P, Golkar, dan Gerindra.
”Kesempatan bagi kandidat yang tidak bergabung dengan parpol pun lebih mudah karena hanya memerlukan dukungan dari satu parpol,” katanya.
Namun, Arya menilai, kemungkinan dikabulkannya gugatan itu sangat kecil. Sebab, dari segi argumen tidak ada yang relatif baru. Selain itu, MK pun pernah memutus gugatan serupa dan aturan ini telah diterapkan sejak Pilpres 2004. ”Kalau tiba-tiba mahkamah membatalkan atau menerapkan nol persen ambang batas, publik pun bertanya-tanya argumen hukum penggugat serta landasan mahkamah menerapkan itu,” ucapnya.