Gugat ”Presidential Threshold”, Partai Ummat Nilai Ketentuan Itu Tidak Sehat untuk Demokrasi
›
Gugat ”Presidential...
Iklan
Gugat ”Presidential Threshold”, Partai Ummat Nilai Ketentuan Itu Tidak Sehat untuk Demokrasi
Tim hukum Partai Ummat yang berisi 20 orang, termasuk pengacara Refly Harun-Denny Indrayana, ajukan uji materi ke MK untuk menggugat ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang dinilai tak buka kesempatan calon lain.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Ummat yang masuk dalam kategori partai politik baru berencana melakukan uji materi tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menyiapkan tim hukum berisi 20 orang, termasuk pengacara Refly Harun dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana.
Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (3/1/2022), mengatakan, syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dinilai tidak masuk akal dan tidak sehat bagi proses regenerasi kepemimpinan. Persyaratan 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara di pemilu sebelumnya untuk mengajukan capres-cawapres disebut merupakan cara untuk menjegal calon potensial dan menjadi cara untuk melanggengkan kekuasaan.
”Bangsa Indonesia sangat memerlukan calon pemimpin potensial untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional. Dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada kader terbaik bangsa dan itu hanya bisa terjadi bila syarat ambang batas 20 persen dihapuskan menjadi nol persen,” ujarnya.
Ridho menuturkan, penggunaan hasil di pemilu sebelumnya sebagai dasar pencapresan juga tidak logis. Sebab, kondisi saat pilpres bisa jadi sudah berbeda dengan situasi lima tahun lalu dan hasilnya bisa berubah. Pelaksanaan pemilu serentak semenstinya menggugurkan syarat tersebut.
Untuk memenangkan gugatan itu, Partai Ummat menyiapkan tim hukum terdiri dari 20 orang yang dipimpin Wakil Ketua Umum Partai Ummat Buni Yani. Dalam tim itu, juga ada pengacara Refly Harun dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana.
Bangsa Indonesia sangat memerlukan calon pemimpin potensial untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional. Dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada kader terbaik bangsa dan itu hanya bisa terjadi bila syarat ambang batas 20 persen dihapuskan menjadi nol persen.
13 perkara gugatan diajukan
Sebelumnya, MK telah menerima 13 permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Dari 13 permohonan uji materi Pasal 222, kebanyakan dinyatakan tidak dapat diterima. Tujuh perkara di antaranya bermasalah dengan legal standing atau kedudukan hukum pemohon, termasuk permohonan yang diajukan oleh Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno pada 11 Januari lalu.
Perkara lainnya kandas karena sikap MK yang memandang ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka atau (open legal policy) sehingga diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.
Ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden memang sudah sejak lama mendapat penolakan. Salah satu alasannya adalah karena syarat minimal kepemilikan kursi atau perolehan suara untuk mengusung capres-cawapres berpotensi menimbulkan politik transaksional. Hal itu pula yang menjadi dalil utama permohonan Gatot Nurmantyo. ”Secara sosiologis, pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden memunculkan fenomena pembelian kandidasi,” demikian tertera dalam berkas permohonan yang didaftarkan ke MK.
Ambang batas pencalonan presiden memang sudah sejak lama mendapat penolakan. Salah satu alasannya adalah karena syarat minimal kepemilikan kursi atau perolehan suara untuk mengusung capres-cawapres berpotensi menimbulkan politik transaksional.
Terkait ambang batas pencalonan presiden, hasil jajak pendapat Kompas Juni 2020 menyebutkan perlunya masyarakat diberi banyak pilihan capres dan cawapres. Namun, dukungan yang kuat dari parpol tetap tidak bisa dilupakan sebagai basis politik kekuatan pasangan capres-cawapres.
Hasil jajak pendapat juga mencatat perlu ada keberimbangan antara kebutuhan akan dukungan parpol yang kuat dan kebutuhan masyarakat akan lebih banyak pilihan. Setidaknya 53,8 persen responden dalam jajak pendapat itu menilai, masih perlu syarat ambang batas pencalonan presiden. Sementara 39,8 persen menilai tidak perlu dan 6,4 persen menjawab tidak tahu (Kompas, 29/6/2020).
Bagi kelompok yang setuju masih diberlakukan, ambang batas bertujuan untuk membatasi jumlah pasangan capres-cawapres. Sebaliknya, kelompok responden yang menyatakan ambang batas pencalonan presiden tidak diperlukan menginginkan munculnya lebih banyak lagi capres-cawapres. Pilpres tidak dimonopoli kekuatan parpol besar atau pemenang pemilu juga menjadi alasan kelompok ini.