Meski pemilu masih dua tahun lagi, publik sudah menyerap berbagai narasi dan argumentasi yang berujung pada nuansa pilihan parpol. Elektabilitas parpol menunjukkan pola kemenangan yang relatif sama dengan Pemilu 2019.
Oleh
M Toto Suryaningtyas
·4 menit baca
Dinamika politik nasional menunjukkan hasil pilihan parpol kian terkonsolidasi. Jumlah responden yang belum menentukan pilihan mengecil sehingga elektabilitas parpol cenderung naik.
Hasil Survei Kepemimpinan Nasional atau SKN Kompas terbaru mengungkap fakta, publik yang belum menyatakan pilihan tinggal 17,6 persen, menurun jauh dibandingkan pada survei tahun 2020-2021 yang berfluktuasi 28 persen hingga 44 persen.
Namun, saat dilacak ke survei Januari 2015-Oktober 2016 atau periode dengan residu keterbelahan akibat pemilu presiden, jumlah jawaban responden yang menyatakan tidak tahu/belum tahu dan menyatakan ”rahasia” mirip-mirip. Angkanya 14-19 persen responden.
Meski pemilu masih dua tahun lagi, tampaknya publik sudah menyerap berbagai narasi dan argumentasi yang biasanya berujung pada keberpihakan politik. Kecenderungan kecondongan politik itu juga terindikasi dari hasil survei, pada selisih tingkat kepuasan atas kinerja pemerintahan yang demikian kontras, antara publik pendukung Presiden Joko Widodo dan bukan pendukung.
Pada hasil SKN periode 2020 hingga 2022 terlihat rentang selisih angka apresiasi yang cenderung melebar. Selisih tingkat kepuasan antara pemilih Jokowi dan non-pendukung Jokowi mencapai 32,7 persen (Kompas, 21/2/2022).
Ditelusuri ke elektabilitas partai politik, pola keterpilahan apresiasi responden ini terus terjadi sepanjang dua periode pemerintahan Presiden Jokowi dan belum pernah beririsan. Pada saat yang sama, konsolidasi parpol menunjukkan pola serupa. Parpol-parpol besar pendukung pemerintah cenderung mempertahankan posisi mereka, terutama PDI-P, Gerindra, dan Golkar.
Celah elektabilitas
Partai peraih elektabilitas tertinggi masih PDI-P dengan 22,8 persen, meningkat dari 19,1 persen pada Oktober 2021. Partai Gerindra di peringkat berikutnya dengan 13,9 persen, naik dari 8,8 persen.
Pada peringkat ketiga terjadi perubahan. Partai Demokrat naik signifikan dari 5,4 persen (Oktober 2021) menjadi 10,7 persen. Partai Golkar, yang sebelumnya di peringkat ketiga, tergeser satu posisi karena tingkat kenaikan elektabilitasnya kalah dari Demokrat. Dalam survei ini, elektabilitas Golkar naik menjadi 8,6 persen, dari 7,3 persen di Oktober tahun lalu.
Adapun dalam Pemilu Legislatif 2019, Golkar meraih 12,3 persen suara dan menempati peringkat ketiga, selisih 0,26 persen di bawah Gerindra.
Fenomena kenaikan signifikan Demokrat dan melambatnya kenaikan elektabilitas Golkar bisa dibaca sebagai dampak dinamika kedua parpol yang sama-sama mendorong kandidat mereka menuju Pemilu Presiden 2024. Kiprah Partai Golkar dalam dinamika politik banyak terwakili penampilan sang ketua umum, Airlangga Hartarto, yang juga Menko Perekonomian. Patut diperhitungkan juga efektivitas baliho di beberapa daerah yang menampilkan sosok Airlangga.
Sementara itu, kenaikan signifikan elektabilitas Partai Demokrat secara momentum banyak berhubungan dengan kemenangan upaya hukum terkait status pengurus partai. Tampaknya mesin politik Demokrat intensif menggalang kembali simpati sosial dengan sering tampilnya Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono menanggapi isu-isu viral, seperti Badan Otoritas IKN, APBN IKN, dan isu Jaminan Hari Tua (JHT).
Sulit dimungkiri, dengan kondisi publik yang terpolarisasi, sikap beroposisi terhadap isu-isu sensitif yang diprogramkan pemerintah dapat membawa manfaat popularitas.
Struktur politik
Bagaimanapun, pola elektabilitas parpol besar hasil survei Kompas yang senada dengan hasil Pemilu 2014 dan 2019 mencerminkan kelembaman pilihan parpol di masyarakat. Tak mudah bagi pemilih untuk mengubah pilihan parpol semata akibat kemunculan beberapa isu dan peristiwa.
Memilih parpol tampaknya juga masih terkait dengan sosok kuat di parpol tersebut. Dalam survei ini terekam sosok kuat dalam partai bisa menjadi keuntungan bagi sebagian pemilih, tetapi juga menjadi sandungan bagi pemilih lainnya.
Gerindra, misalnya, mendapat keuntungan elektoral 31 persen responden yang memilih partai karena aspek ketokohannya. Bandingkan itu dengan Demokrat (27 persen) dan PDI-P (20 persen).
Sebaliknya, keberadaan sosok tertentu dalam partai, yang dipersepsikan negatif, juga terekam dalam survei ini, menjadi alasan terbesar publik untuk tidak memilih partai tersebut.
Sulit dimungkiri, faktor sosiologis cukup menentukan perilaku dan pilihan politik pemilih. Semakin dekat dan suka dengan parpol pilihannya, pemilih semakin loyal.
Dinamika bisa terjadi dalam batas-batas tertentu sejauh belum muncul faktor perubah yang determinan. Salah satunya, kandidat capres atau cawapres yang diajukan parpol. Parpol yang belum memiliki sosok kuat sebagai kandidat pada Pemilu 2024 tampaknya lebih sulit meraih simpati publik dan menambah elektabilitas. (LITBANG KOMPAS)