Tak Ada Keadaan Darurat Terkini yang Dapat Jadi Alasan Penundaan Pemilu 2024
›
Tak Ada Keadaan Darurat...
Iklan
Tak Ada Keadaan Darurat Terkini yang Dapat Jadi Alasan Penundaan Pemilu 2024
Saat ini dinilai tidak ada keadaan darurat di Indonesia yang mengharuskan ada penundaan pemilu. Penundaan pemilu berisiko menimbulkan kerumitan politik dan menjadi preseden buruk bagi demokrasi elektoral Indonesia.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dan kondisi keuangan negara saat ini dinilai bukan merupakan keadaan darurat yang dapat dijadikan alasan untuk menunda Pemilu 2024. Saat ini semua struktur ataupun kekuasaan negara berjalan biasa sehingga fungsi-fungsi kenegaraan dapat diselenggarakan oleh presiden, DPR, Mahkamah Konstitusi, dan lembaga lain. Di dalam konstitusi juga tidak ada norma penundaan pemilu.
Pada tahun 2020 banyak masyarakat di daerah-daerah yang juga menggunakan hak politik untuk memilih pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. ”Jadi ada preseden yang memang tidak menjadikan penundaan pemilu karena alasan Covid-19, karena kita pernah melaksanakan pilkada (di masa pandemi Covid-19),” kata pengajar Hukum Tata Negara Universitas Narotama Surabaya, Muhammad Saleh, pada seminar daring Seri ke-7 bertajuk ”Pemilu 2024, Tetap atau Tunda?” yang digelar Pimpinan Pusat Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI), Selasa (1/3/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Saleh menuturkan, ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 147 Tahun 2009 bahwa pemilu dengan e-voting konstitusional. Putusan ini dapat dijadikan landasan untuk membangun sistem pemilu di Indonesia agar lebih transparan, efektif, dan efisien. Hal ini pun dapat dilakukan karena masih tersedia waktu hingga 2024 untuk membangun sistem teknologi informasi untuk e-voting.
Realisasi penerimaan negara di tahun 2021, yang notabene masih di tengah pandemi Covid-19, juga mencapai Rp 2.000 triliun atau melebihi target yang sekitar Rp 1.700 triliun. Saleh meyakini kalau dilakukan efisiensi dari berbagai sektor belanja negara, negara dapat mencukupi kebutuhan biaya-biaya, termasuk untuk penyelenggaraan pemilu. Apalagi, untuk penyelenggaraan pemilu ada alternatif melakukan e-voting.
Menurut Saleh, penundaan pemilu akan mengakibatkan kekosongan jabatan presiden, wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, dan DPRD. ”Dan, ternyata, kalau dilihat, belum ada norma konstitusional yang mengatur pengisian jabatan karena penundaan pemilu. Saya sampaikan di sini kalau kita melihat pada konstitusi, memang tidak ada norma konstitusi yang menyatakan bahwa pemilu dapat ditunda. Tetapi secara implisit, kalau kita baca Pasal 12 UUD, bahwa dalam keadaan darurat maka penundaan pemilu itu memang diperbolehkan,” katanya.
Pasal 12 UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Pertanyaannya adalah, lanjut Saleh, apakah pandemi Covid-19 masuk dalam konsep staatsnoodrecht, state of emergency, atau kondisi darurat negara atau tidak. Hal ini membutuhkan penafsiran.
“Jadi, pertanyaan hukumnya, isu hukumnya, adalah apakah Covid-19 yang sampai sekarang belum pasti kapan akan berakhir, kemudian kondisi keuangan negara yang mengalami penurunan, misalnya, apakah menjadi alasan konstitusional untuk menunda pemilu? Nah, ini kan harus ada penafsiran, kita menafsirkan Pasal 12 konstitusi,” katanya.
UU Pemilu juga mengatur bahwa dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilu susulan. Pelaksanaan pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu.
“Nah, frasa gangguan lainnya itu harus ditafsirkan, apakah termasuk adanya pandemi Covid atau karena adanya kesulitan keuangan negara untuk membiayai pemilu. Saya yakin, pada saat menyusun Pasal 432 adalah, (pada) frasa gangguan lainnya, saya yakin ini ada kesengajaan untuk membuat norma yang terbuka. Dan saya lihat di dalam penjelasan Pasal 432 tidak ada penjelasannya. Penjelasannya adalah cukup jelas,” kata Saleh.
Menurut Saleh, konstitusionalitas untuk penundaan pemilu hanya ada dua. Pertama, karena alasan darurat negara. Atau, kedua, karena adanya tafsir oleh MK berkaitan dengan frasa gangguan lainnya di UU Pemilu, Pasal 432 Ayat 1.
”Meskipun saya secara pribadi tidak sepakat untuk dilakukan penundaan pemilu, dalam koridor konstitusi, agar legitimate, misalnya kalau dilakukan penundaan karena alasan staatsnoodrecht tadi, maka harus ada tafsiran atas gangguan lainnya. Jadi, frasa gangguan lainnya di dalam Pasal 432 Ayat 1 harus ditafsirkan kepada Mahkamah Konstitusi,” kata Saleh.
Menurut Saleh hal ini karena perubahan UUD secara teoretis itu ada tiga, yakni karena amendemen konstitusi, tafsir pengadilan yang kalau di Indonesia dilakukan oleh MK, dan karena ada konvensi maupun praktik ketatanegaraan.
Pada diskusi tersebut Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, esensi penundaan pemilu adalah perpanjangan masa jabatan, baik jabatan eksekutif maupun legislatif di pusat sampai daerah. Hal yang menarik secara politik, apabila bicara komunikasi publik yang terjadi kira-kira setahun belakangan ini, wacana penundaan pemilu ini muncul paralel dengan isu-isu lain.
”Misalnya, (isu) presiden tiga periode, lalu ada perpanjangan masa jabatan presiden yang sudah muncul lebih dulu, dan isu-isu sejenis. Intinya adalah ada quote unquote sekelompok elite yang memang ingin bagaimana melestarikan Jokowi. Ini adalah kondisi psikologis yang sedang terjadi, termasuk isu, misalnya, memasangkan Pak Jokowi dengan Pak Prabowo, itu adalah hal-hal yang saya pikir isu-isu sejenis yang memang satu tone dengan isu penundaan pemilu,” kata Ari.
Ari menuturkan, mereka adalah elite berkuasa yang nyaman dengan posisi kekuasaan yang sekarang. Ada godaan terus berkuasa, mempertahankan durasi kekuasaan. Hal ini dibayang-bayangi ketakutan elektabilitas rendah, terutama di pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif. Berikutnya adalah kalangan dunia usaha atau pengusaha yang butuh stabilitas politik.
Tiada alasan menunda
Menurut Ari, pemilu harus tetap dilakukan secara normal atau tidak ditunda. Alasannya, instrumen Pemilu 2024 sudah siap, baik regulasi; waktu atau hari pemilu, yakni 14 Februari untuk pileg dan pilpres serta 27 November untuk pemilihan kepala daerah secara serentak; KPU dan Badan Pengawas Pemilu yang baru juga sudah terpilih serta siap dilantik oleh presiden.
“Kalau disebutkan ada problem soal kesiapan anggaran negara, tentu ada jalan keluarnya. Dalam arti, misalnya begini. Prioritas mana antara katakanlah anggaran untuk infrastruktur dan IKN, misalnya, dengan pemilu? Ada pula opsi penyederhanaan pemilu secara e-voting, secara digital, yang masuk akal dibanding menunda pemilu,” kata Ari.
Kondisi Indonesia juga aman. Indonesia juga punya pengalaman menyelenggarakan pemilu yang aman dan demokratis. Penundaan pemilu dinilainya sangat berisiko. Tidak ada alasan untuk menunda pemilu. “Kalau ada alasan pandemi, alasan ekonomi, (atau alasan) kepuasan publik menurut saya itu alasan yang dicari-cari saja dan cenderung akal-akalan politik,” ujar Ari.
Tidak ada alasan untuk menunda pemilu. Kalau ada alasan pandemi, alasan ekonomi, (atau alasan) kepuasan publik menurut saya itu alasan yang dicari-cari saja dan cenderung akal-akalan politik.
Selain itu, Ari menuturkan, tidak ada ruang legalitas dan legitimasi. Pemaksaan penundaan pemilu mengharuskan amendemen konstitusi dan penyesuaian regulasi-regulasi terkait. Hal yang jelas, penundaan pemilu memiliki risiko politik dan implikasi demokrasi, yakni membuat kerumitan serta menjadi preseden buruk untuk demokrasi elektoral Indonesia.
“Pemilu adalah hak konstitusional warga negara. Menunda pemilu berarti menunda hak warga negara. (Dan), Dalam konteks tertentu bisa merampas hak warga negara. Ingat, 1-2 tahun itu adalah sebuah hak konstitusional. Atas dasar apa penundaan itu? (Penundaan) 2 tahun itu merampas hak warga negara,” kata Ari.
Pemilu adalah hak konstitusional warga negara. Menunda pemilu berarti menunda hak warga negara. (Dan), Dalam konteks tertentu bisa merampas hak warga negara.
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Generasi Muda Pembangunan Indonesia (PP GMPI) dan Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI Achmad Baidowi menuturkan, dari aspek pemulihan ekonomi, tantangan hari ini secara faktual berat. ”Namun, apakah beratnya dari sisi ekonomi itu harus menunda pelaksanaan pemilu? Itu perlu dikaji bersama-sama,” katanya.
Terkait perdebatan bahwa penundaan pemilu melanggar konstitusi atau inkonstitusional karena dalam UUD 1945 disebutkan bahwa pemilu dilakukan 5 tahun sekali, Achmad Baidowi menuturkan bahwa yang sebelumnya inkonstitusional itu akan menjadi konstitusional ketika terjadi amendemen konstitusi. Di dalam politik, semuanya serba mungkin.
”Meskipun kami, misalnya, sebagai representasi dari fraksi terkecil di DPR, di MPR, tentu memiliki suara yang tidak signifikan. Tetapi kalau kehendak mayoritas misalnya menginginkan amendemen terhadap UUD 1945, ya bisa saja, karena kekuatan politik di DPR dan MPR sudah terkonsolidasi dengan baik,” kata Achmad Baidowi.
Meskipun demikian, dia melanjutkan, untuk saat ini tidak ada wacana ataupun rencana amendemen terhadap konstitusi. Fraksi PPP, dan khususnya PP GMPI, melihat amendemen konstitusi terkesan dipaksakan kalau hanya untuk memuluskan perpanjangan masa jabatan atau penundaan pemilu.
“Lho, kami selalu mengatakan janganlah kita berpolitik itu melawan logika kewarasan berpikir. Maksudnya, ya, logika kewarasan berpikir yang sekarang bahwa konstitusi yang ada ditaati. Sekali lagi ini politik, semuanya serba opsional. Dan, sekali lagi, tidak ada yang tidak mungkin dalam perpolitikan. Tentu kami tetap berkomitmen akan menjaga amanah reformasi,” katanya.