Banyak warga Ibu Kota dan daerah pinggirannya yang hijrah dari pengguna angkutan pribadi menjadi pengguna angkutan umum lantaran menyadari kekeliruannya selama ini. Menggunakan angkutan pribadi di Jakarta ibarat menyerahkan nasib kepada ketidakmenentuan. Santapan sehari-hari berupa kemacetan lalu lintas bisa tiba-tiba menggila menjadi kemacetan yang sangat luar biasa. Kamis (2/3) malam, misalnya, dari Palmerah menuju kawasan Pondok Indah Mall sejarak lebih kurang 8 kilometer harus ditempuh dalam waktu 3 jam!
Apalagi saat musim hujan seperti ini, jalanan bisa tiba-tiba mampat. Pengendara motor biasa menjadikan jalan layang sebagai tempat berlindung dari siraman hujan.
”Mendingan berdiri di commuterline atau transjakarta 30 menitan, tetapi pasti daripada 2 jam macet tak menentu.” Komentar serupa itu sering kali dikemukakan mereka yang telah merasakan nikmatnya berkendaraan umum.
Walaupun pelayanan angkutan umum relatif membaik, dalam beberapa hal pemerintah seperti kedodoran mengimbangi kebutuhan masyarakat terhadap angkutan umum.
Semakin meningkatnya jumlah penumpang commuterline, misalnya, masih belum diimbangi penyediaan lahan parkir yang memadai di sekitar stasiun. Sejumlah penduduk sekitar stasiun kemudian menjadikan situasi itu sebagai lahan bisnis.
Padahal, tersedianya lahan parkir yang memadai di sekitar stasiun atau terminal bus merupakan keharusan jika ingin menarik pengguna kendaraan pribadi menjadi pelanggan angkutan umum.
Sebuah survei yang dilakukan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menunjukkan, 78 persen pengguna kendaraan pribadi bersedia pindah ke angkutan umum jika layanan angkutan umum baik.
JRC
Baru-baru ini, BPTJ meluncurkan bus angkutan permukiman yang disebut Jabodetabek Residence Connection (JRC). Bus-bus ini akan melayani warga permukiman di sekitar Jakarta yang beraktivitas di Ibu Kota. Harapannya, bus-bus JRC akan meningkatkan pengguna angkutan umum dari 15 persen saat ini menjadi 40 persen pada 2018.
Ibaratnya, warga di pinggiran Ibu Kota itu ”dimanjakan” karena dijemput bus-bus JRC menuju Jakarta untuk bekerja atau beraktivitas. ”Namun, izinnya masih izin angkutan wisata. Ini yang kami benahi, diwujudkan dalam angkutan permukiman kerja sama antara BPTJ, PO, dan pengelola perumahan,” ujar Kepala BPTJ Elly Sinaga seperti dikutip Kompas, Rabu (8/2).
Sebanyak 150 perusahaan otobus (PO) sudah mendaftarkan diri sebagai operator. Tarif tanpa subsidi yang dikenakan kepada penumpang Rp 20.000-Rp 25.000.
Pengguna tentu berharap agar perjalanan bus lancar, tak turut terjebak kemacetan. Jadi, sepertinya akan percuma juga, walaupun bus nyaman, penumpang tetap manyun karena kemacetan yang menghadangnya di perjalanan menuju Jakarta.
Sebenarnya, pembangunan tempat-tempat parkir yang memadai, mudah, dan murah di sejumlah terminal atau stasiun kereta api akan lebih terasa efeknya daripada kebijakan sepotong-sepotong, seperti menjemput penumpang ke permukiman dengan bus.