Kurang dari jarak 1 kilometer di Jalan Tentara Pelajar, di sekitar Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat, tak pernah lepas dari kemacetan lalu lintas. Kemacetan itu bisa mengular hingga Jalan Permata Hijau. Setiap pagi dan sore saat jam sibuk. Kendaraan mereka yang pergi kantor pada pagi hari menuju Jalan Slipi dari arah Jalan Permata Hijau atau ke selatan pada sore hari lebih mirip parkir di jalan.
Bagi mereka yang tidak pernah melewati kawasan itu, perlu diketahui, setidaknya dalam jarak yang jika dijalani dengan berlari hanya 6-7 menit atau jalan kaki 10-12 menit itu terdapat tiga pelintasan kereta api sebidang.
Pelintasan pertama, rel kereta api ”dipotong” jalan dari arah Jalan Lapangan Tembak, juga memotong Jalan Tentara Pelajar, yang menuju Pasar Palmerah. Untuk mengatur arus lalu lintas, ”perempatan” jalan diberi lampu lalu lintas. Jika kereta api melintas, lampu lalu lintas itu tidak berlaku. Pelintasan kedua, putaran U di bawah Jalan S Parman, memutar menuju Jalan Permata Hijau. Pelintasan ketiga, bersisian dengan putaran U tadi, melintas rel menuju Jalan Pejompongan.
Puluhan—jika pagi hari bisa ratusan—pengendara ojek daring mengokupasi trotoar, pedagang makanan bergerombol, dan bus transjakarta ngetem membuat kemacetan semakin menggila. Ketidaknyamanan dialami pengguna jalan, juga pejalan kaki.
Mulai Jumat (7/4) hingga 4 Mei nanti, Dinas Perhubungan DKI Jakarta menutup pelintasan sebidang di Jalan Pejompongan 1 yang memutar balik menuju Permata Hijau. Untuk menuju arah yang sama, pengguna jalan bisa menggunakan putaran U di Jalan Penjernihan, sebelum SPBU Pertamina. Selama ini, putaran itu memang digunakan untuk memutar oleh mereka yang akan mengarah ke Permata Hijau dari arah Slipi. Sejumlah pak Ogah atau ”polisi cepek” biasa berjaga di sana.
Tiga pelintasan sebidang di ruas Jalan Tentara Pelajar, yang melintasi Stasiun Palmerah, sekilas seperti akibat dari proyek jalan yang tidak tuntas. Jalan aspal terpotong-potong olehnya. Arus lalu lintas tak pernah bisa melintas mulus di sini. Situasi memburuk dengan semakin tingginya frekuensi kereta api yang melintasi rel di ruas jalan itu.
Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor SK.770/KA.401/DRJD/2005 tentang Pedoman Teknis Pelintasan Sebidang antara Jalan dengan Jalur Kereta Api, dan surat Menteri Perhubungan Nomor KA.101/2/3PHB/2-15 tertanggal 15 Desember 2015, maka semua pelintasan sebidang harus direkayasa hingga menjadi tak sebidang. Alasan utama adalah demi keselamatan perjalanan KA dan masyarakat pengguna jalan. Selebihnya tentu demi kelancaran lalu lintas. Karena itu, hingga akhir 2017 akan ada penutupan pelintasan sebidang secara bertahap di Jakarta. Jalan layang di Permata Hijau, misalnya, telah mampu mengatasi keruwetan di kawasan yang dulunya adalah pelintasan sebidang rel KA.
Jadi, saatnya berbagai ”kemanjaan” pengguna kendaraan pribadi dengan adanya pelintasan sebidang, putaran dengan pak Ogahnya, dan main terobos sembarangan di jalan dihentikan. Namun, semuanya dengan catatan, penyediaan fasilitas angkutan umum semakin baik. Jadi, Jakarta, teruslah berbenah.