”Ngapain ke Puncak? Macet!” Cobalah sesekali Anda mengajukan ajakan kepada teman untuk berlibur akhir pekan ke kawasan Puncak, Jawa Barat, itu. Hampir pasti kita akan mendapatkan jawaban serupa di atas. Ya, kawasan wisata pegunungan yang hanya sepelemparan batu dari Jakarta dan termasuk wilayah Kabupaten Bogor dan Cianjur, Jawa Barat, itu sudah lama identik dengan kemacetan lalu lintas.
Walau semakin tidak nyaman dengan kemacetan serta semakin padat dengan bangunan, liar ataupun tidak, Puncak tetap menjadi magnet bagi warga Ibu Kota. Hamparan perkebunan teh dengan pemandangan Gunung Gede-Pangrango jadi oase bagi warga Jakarta untuk tetirah sejenak setelah sepanjang minggu didera pekerjaan dan cuaca yang panas. Wilayah dengan lokasi ketinggian 700-1.800 meter di atas permukaan laut dan suhu 14-18 derajat celsius ini bisa me-refresh wisatawan yang berkunjung.
Seorang wisatawan dari Arab Saudi yang pernah ditemui Kompas di Swiss menyebutkan, kawasan Puncak lebih cantik dan indah dibandingkan kawasan pegunungan cantik Harder Kulm, Swiss. ”Di sini memang indah, tetapi Puncak lebih memesona,” katanya. Mungkin karena alasan itu pula, wilayah Puncak sangat terkenal di kalangan wisatawan Arab Saudi. Bahkan, selepas Gadog, mulai dari warung, restoran, hingga salon atau tukang cukur melengkapi nama tokonya dengan huruf Arab.
Kawasan Puncak baru-baru ini juga menarik perhatian dunia ketika dikabarkan miliarder yang juga Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan pengusaha Hary Tanoesoedibjo akan membangun resor di Lido, Bogor. Keduanya akan membangun kawasan wisata spektakuler dengan berbagai fasilitas hiburan, mulai dari lapangan golf, sarana rekreasi, hotel, kesehatan hingga tempat tinggal, di lahan seluas 3.000 hektar.
Rencana pembangunan kawasan wisata ini mengundang kegundahan para pencinta lingkungan. Mereka mengkhawatirkan daya dukung kawasan Puncak yang semakin memprihatinkan. Di sisi lain, kawasan Puncak juga menjadi makin tak nyaman dan aman. Baru-baru ini di sana terjadi kecelakaan lalu lintas yang menewaskan empat orang dan menyebabkan tiga orang cedera.
Tidak jarang di saat warga berlelah-lelah macet menuju kawasan Puncak, satu atau dua mobil mendapat pengawalan polisi untuk mendapat jalan dan lepas dari kemacetan. Adapun jalan alternatif, tidak semua warga mengetahuinya. Warga Ibu Kota bisa juga menempuh jalur Jonggol untuk menuju Puncak, namun ruas itu lebih jauh dan tidak senyaman jalan raya Puncak.
Selain itu, warga Puncak dan sekitarnya menuntut adanya penataan lalu lintas di kawasannya. Aturan satu arah di saat libur agar wisatawan dari luar kota bisa mengalir lancar ternyata membuat mobilitas warga setempat tersumbat. Mereka menuntut kebijakan itu dihapus karena kegiatan mereka terganggu.
Masuk akal. Masak tuan rumah harus lama mengalah kepada warga Ibu Kota yang selalu mengeluh tetapi terus mengulang bermacet-macet dan berwisata di kampung mereka? Sebuah pekerjaan rumah pemerintah yang tak pernah selesai menyangkut penataan Puncak.