Seruan Menag tentang Ceramah di Rumah Ibadah, Cara Hentikan Ujaran Kebencian
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seruan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tentang ceramah di rumah ibadah yang dirilis 28 April 2017 merupakan salah satu cara menghentikan ujaran-ujaran kebencian (hate speech) yang dapat mengarah pada kejahatan kebencian (hate crime). Karena itu, seruan ini harus didukung demi terciptanya kohesi sosial dalam kemajemukan.
”Selain melarang ujaran kebencian atas dasar SARA, seruan tersebut juga melarang penggunaan tempat ibadah sebagai sarana kampanye politik praktis, sebagaimana terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta lalu,” kata Ketua Setara Institute Hendardi, Senin (1/5/2017).
Menurut Hendardi, seruan Menteri Agama tersebut tidak mengganggu kebebasan berpendapat dan berekspresi karena kebebasan tersebut merupakan hak yang bisa dibatasi (derogable rights). ”Apalagi seruan tersebut hanyalah mempertegas ketentuan peraturan perundang-undangan, baik yang tercantum dalam KUHP dan UU ITE terkait ujaran kebencian maupun dalam UU Pilkada, terkait larangan kampanye di tempat ibadah,” kata Hendardi.
Namun, kata Hendardi, seruan Menteri Agama tidak akan memberikan dampak signifikan jika tidak disertai dengan upaya-upaya penindakan dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan.
”Dalam konteks pilkada, pengawas pilkada dan Tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pilkada semestinya sigap menindak setiap praktik kampanye dan penyebaran kebencian dasar SARA di mimbar-mimbar keagamaan. Polri, yang memiliki kewenangan menindak tindak pidana penyebaran kebencian, tidak cukup hanya mengimbau, tetapi semestinya dapat menggunakan unit pembinaan masyarakat (binmas) untuk berkomunikasi dengan pengurus masjid, intel, dan keamanan (intelkam) untuk melakukan pengawasan, serta satuan reserse kriminal untuk melakukan penegakan hukum manakala penceramah melakukan tindak pidana,” kata Hendardi.
Menurut Hendardi, pembelajaran dari Pilkada DKI Jakarta, di mana masjid-masjid digunakan untuk kampanye dan penyebaran kebencian atas dasar SARA begitu merajalela, semestinya elemen-elemen kunci dalam tubuh negara segera menyusun langkah bersama memastikan situasi serupa tidak terulang dalam Pilkada serentak 2018 dan Pemilu Legislatif dan Presiden pada 2019.
”Kualitas demokrasi tidak melulu ditakar dengan hasil suatu proses elektoral, tetapi yang utama justru bagaimana proses elektoral itu berpijak dan mempromosikan nilai-nilai demokrasi,” demikian Hendardi.