Teror bom datang bak pencuri. Sekalipun operasi pengamanan terus dilakukan, ledakan bom masih juga terjadi. Di Jakarta, Rabu (25/5) pukul 21.00, dua ledakan berselang lima menit mengguncang terminal mikrolet Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Malam itu, hampir seperti malam-malam sebelumnya. Terminal mulai sepi, tersisa satu mikrolet nomor 26 yang masih ngetem. Pedagang asongan dan gerobak sudah berkemas. Bersiap pulang. Lalu lintas juga tak sedang ramai.
Beda malam itu, ada kelompok polisi dari Direktorat Sabhara Polda Metro Jaya berjaga-jaga yang mengawal pawai obor jelang bulan Ramadhan yang akan melewati rute itu. Para polisi muda itu baru saja berpamitan kepada ayah, ibu, dan keluarganya mengawal arak-arakan yang seharusnya semarak dan menyenangkan. Ada di antara polisi muda itu yang menjanjikan membawakan oleh-oleh seusai bertugas. Ada yang punya rencana menyenangkan lainnya.
Namun, semua itu berubah. Dua ledakan menewaskan tiga polisi. Dua korban lain diduga pelaku bom bunuh diri.
Duka sekaligus amarah keluarga, kerabat, dan teman-teman pun bermunculan. Begitu teganya melukai dan membunuh sesama yang sedang menjalankan tugas negara, mengamankan warga.
Secara statistik, bom di Kampung Melayu tersebut merupakan serangan bom ke-13 di DKI Jakarta. Sejak tahun 2000, tercatat 39 orang tewas dan 263 orang luka akibat bom di Jakarta.
Bom itu sekitar 1,5 tahun dari bom di Plaza Sarinah, Jakarta Pusat. Polisi menyebut ada kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), pendukung NIIS, di balik bom Kampung Melayu. Sasarannya jelas, polisi. Namun, warga sipil juga menjadi korban.
Warga Jakarta kembali tersentak. Rasa aman dan nyaman warga seperti dicuri. ”Kami langsung kocar-kacir malam itu. Dagangan saya tinggal saja,” kata R Panjaitan (57), yang malam itu berjualan asongan sekitar 100 meter dari titik ledakan.
Sejak awal tahun 2017, Jakarta, di antara kerasnya warga bertarung dan bertahan hidup di dalamnya, terus saja ada gejolak luar biasa. Sebelumnya, rangkaian Pilkada 2017 yang berlangsung dua putaran diiringi beragam ujaran kebencian yang intens.
Penduduk Ibu Kota dan masyarakat pada umumnya dipaksa hidup dalam atmosfer kebencian dan kekerasan verbal karena beda pilihan. Belum usai, muncul kekejian bom bunuh diri.
Tak lama pascaledakan, muncul gerakan antitakut dan lawan terorisme di media sosial. Namun, itu tak menghapus pekerjaan rumah besar pemerintah dan kepolisian, khususnya di DKI Jakarta, untuk mengembalikan rasa aman dan nyaman warganya.
Di tengah ketidakjelasan apa yang terjadi sebenarnya di Kampung Melayu, tak lama beredar video yang memviral di jagat sosial media. Tak kalah menyedihkan dan memprihatinkan.
Di video itu, di tengah keriuhan iring-iringan massa memanfaatkan ruas jalan raya, terdengar riuh nyanyian ”Tanam Jagung”. Dengan riangnya, liriknya diubah menjadi sebuah ancaman.
Begitu terus. Panjang dan lantang. Tak ada pencegahan atau upaya menghentikan nyanyian sebagian anak-anak itu. Mudah- mudahan itu semua tidak benar. Jika itu benar, sedemikian longgarkah kita, khususnya penduduk Ibu Kota, memberi ruang pada tumbuh kembang kebencian? Seharusnya tidak!