Aroma limpahan peredaran uang di Jakarta tidak hanya menarik warga kelas atas nan muda berpendidikan dan berketerampilan tinggi di Tanah Air, tetapi juga warga kelas paling bawah, pengemis.
Jasir (75), asal Padang, Sumatera Barat, pada bulan Ramadhan ini datang ke Jakarta dari kampung halamannya nun jauh di pelosok. Selasa (6/6) sore dia terjaring operasi penyandang masalah sosial (PMK) Suku Dinas Sosial Jakarta Timur (Jaktim) ketika sedang mengemis di jembatan penyeberangan orang Tegalan, Matraman, Jaktim.
Dari tangannya, petugas mendapatkan uang sebanyak Rp 3.475.000. Itu belum termasuk seplastik kepingan uang logam. Diduga, uang itu ia dapatkan dari mengemis selama bulan Ramadhan. Pendapatan dia dari mengemis sebelumnya telah ia kirim ke kampung halamannya lewat orang sekampung yang bekerja di Jakarta.
”Ia meninggalkan kampung halamannya setahun lalu saat Ramadhan datang. Di Jakarta ia hidup menggelandang. Rencananya, menjelang Lebaran ini, ia kembali ke desanya dengan uang tunai sebanyak itu,” kata Kepala Suku Dinas Sosial Jaktim Benny Martha, Rabu (7/6).
Jasir sudah berencana, setiap menjelang Lebaran tiba, ia akan kembali ke kampungnya dengan uang di tangan untuk cucu-cucunya. Mungkin pikirnya, kalau hanya tinggal di kampung, dia tak akan menghasilkan apa pun karena sudah renta. Namun, jangankan yang tua, yang muda saja sulit mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan layak.
”Waktu kami bawa, aroma tubuhnya menyengat, pertanda dia sudah berhari-hari tidak mandi. Kami sulit berkomunikasi karena dia berbicara dengan bahasa daerahnya. Tidak banyak kosakata bahasa Indonesia yang dia tahu. Pendengaran dan penglihatannya sudah terganggu,” ujar Benny.
Foto-foto: Humas Dinas Sosial DKI Jakarta
Oleh petugas, Jasir dibawa ke Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya II, Cipayung, Jaktim. Menurut rencana, setelah dirawat beberapa waktu di panti tersebut, ia akan dipulangkan ke kampung halamannya.
Kehadiran gelandangan Jasir di Jakarta seperti menjadi cermin masih berlangsungnya ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi desa kota di tengah gaduhnya politik identitas. Meski demikian, mantan petani gurem dan pekerja serabutan ini berusaha tidak menyerah.
Di senja hidupnya, ia ingin tetap punya arti buat cucu-cucunya di kampung. (WIN)