logo Kompas.id
MetropolitanSaya Viral, maka Saya Ada
Iklan

Saya Viral, maka Saya Ada

Oleh
· 2 menit baca

Unggahan kejadian di Jakarta dan sekitarnya yang jadi viral bertebaran di media sosial. Sebagian mengumbar sensasi, provokasi, atau teror berujung popularitas semata. Prinsip "saya viral, maka saya ada" seperti menggeser teori filsuf Perancis, Rene Descartes, "aku berpikir, maka aku ada".Ada pertanyaan dari akun Instagram @thenewbikingregetan, "ayo siapa yang tadi di PRJ Kemayoran dan menyaksikan kecelakaan ini? Kenapa tidak ada orang yang menolong korban? Malah semuanya terlihat asyik merekam dan menyebar video".Unggahan Rabu (14/6) itu memperlihatkan korban kecelakaan tergeletak di jalan. Orang-orang ramai berlalu lalang. Tak terlihat ada yang menolong korban kesakitan. Sebagian merekam.Sebelumnya, viral video perempuan hampir bugil berbelanja di kawasan Mangga Besar. Orang-orang lagi-lagi hanya merekam.Lalu, riuh gerombolan bermotor saling tantang dan melukai orang di jalanan. Tak ada motif ambil harta. Sulit dipahami. "Saya tidak bisa paham kenapa anak-anak itu begitu," kata Sodikun (39), tukang ojek yang takut keluar lewat pukul 21.00.Antropolog peneliti media sosial dari Universitas Indonesia, Febrian, mengatakan, banyaknya unggahan viral menunjukkan akses warga ke internet sangat tinggi. Namun, dari kontennya, literasi digital warga masih rendah. Pengunggah tidak peduli dampaknya. "Hanya mengejar popularitas," katanya.Pembuat dan pelaksana kebijakan serta penegak hukum seperti terseret. Tim-tim elite dibentuk setelah aksi Tim Jaguar Polres Depok viral di internet. Perampokan sadis terus terjadi.Kebijakan dibuat berdasar unggahan viral. Respons ada apabila sudah viral. Lebih buruk jika kebijakan publik atau tindakan penegak hukum ada hanya mengejar popularitas.Secara ekonomi dan politik, menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, teknologi ada. Namun, secara sosial masyarakat tak disiapkan.Konstruksi hidup publik dimulai dari logika apa yang viral. Merespons realitas dari yang viral. "Dalam banyak kasus, orang melupakan apa yang substansial dan lebih tertarik dalam perbincangan dan komentar apa yang viral," katanya.Masyarakat urban Jakarta aktif dan bawel di internet. Aktif terlibat hidup bermasyarakat. Namun, semu. Dengan unggahan yang hanya mengejar popularitas, keterlibatan itu tak punya relevansi pada hal-hal yang substansial dalam kehidupan warga.Menurut Robertus, sifat-sifat simulakra-nya filsuf Jean Baudrillard kian kentara. Realitas sosial masyarakat Jakarta saat ini reaksi pada relasi sesuatu yang sebenarnya tak nyata. Namun, dampaknya nyata. "Kita bertengkar dan putus hubungan, saling caci maki terhadap apa yang terjadi atau diunggah di media sosial. Namun, dampaknya terjadi di dunia nyata," katanya.Semua fenomena itu membentuk masyarakat Jakarta yang saling bercuriga, tukang intip hidup orang lain, dan ketakutan. Masyarakat menyukai sensasi, tanpa mengorganisasi diri. Rewel di media sosial, minus solusi konkret. Cukup dengan viral. (IRE)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000