Sepekan terakhir, informasi tentang kemacetan yang bertambah parah di Bekasi cukup menarik perhatian. Bertambahnya kemacetan diyakini imbas dari aktivitas proyek infrastruktur jalan tol dan angkutan publik di kawasan tersebut. Pemerintah dan pelaksana proyek dituduh amat minim sosialisasi dan kurang menyediakan informasi bagi warga sehingga bisa mengantisipasi dampak proyek tersebut.
Masyarakat sejatinya senang melihat proyek-proyek itu. Proyek light rail transit (LRT) alias kereta ringan rute Cawang-Cibubur dan Cawang-Bekasi Timur gagah dengan tiang-tiang menjulang dan jalur layang yang tengah dalam pengerjaan.
Warga menyambut gembira pengembangan jaringan jalan tol, mulai Tol Becakayu, juga rencana Tol Layang Cikampek. Warga Bekasi sebentar lagi juga mendapat tambahan layanan kereta rel listrik (KRL) commuter line sampai Cikarang. Jaringan bus transjakarta pun telah menembus Bekasi. Semua itu diyakini akan mengakhiri neraka kemacetan di Bekasi.
Kondisi seperti itulah yang ideal. Semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan warga tersedia. Dengan pertimbangan biaya, kecepatan, kenyamanan, dan lainnya, warga bebas memutuskan pakai angkutan publik atau kendaraan pribadi.
Namun, saat bicara dalam tataran kota, kepentingan bersama yang lebih diutamakan. Dengan demikian, penggunaan angkutan publiklah yang didorong menjadi pilihan utama warga bermobilitas. Hal ini setidaknya agar volume kendaraan yang merayap di aspal dikurangi, kemacetan tidak terus mendera, irit penggunaan bahan bakar, dan polusi udara direduksi. Kota menjadi lebih efektif dan perekonomian berputar lebih maksimal.
Di banyak kota di negara maju, angkutan publik didukung beragam kebijakan sehingga makin menarik peminat. Selain ongkos murah, tepat waktu, nyaman, antarmoda juga terintegrasi.
Di sisi lain, penggunaan kendaraan pribadi dibatasi dengan kebijakan jalan berbayar, giliran ganjil genap sesuai pelat nomor, bahan bakar mahal, tarif parkir selangit, pajak tinggi, dan pembatasan usia kendaraan yang berlalu-lalang di kota. Ini bukan anti-industri otomotif, tetapi mengatur penggunaan produknya di jalanan. Kawasan pengembangan kota diatur ketat dengan sejumlah regulasi karena ini salah satunya akan terkait dengan perubahan dan penambahan aliran mobilitas warga.
Di Indonesia, khususnya di Jakarta, sebagian kebijakan di atas mulai diberlakukan. Namun, segala sesuatunya masih terasa berjalan tak selaras. Ini karena kita begitu terlambat menerapkan dan membangun sistem serta infrastruktur yang dibutuhkan.
Sekarang saja tak diketahui apakah jalan tol baru dan moda transportasi publik anyar itu hanya memenuhi kebutuhan perjalanan saat ini? Sudahkah ada prediksi menampung lonjakan jumlah perjalanan 5-20 tahun mendatang? Seberapa siap kebijakan kita mengantisipasi kondisi kini dan nanti?
Padahal, nyata gencarnya pertumbuhan kawasan di sekitar Jakarta, seperti kota-kota baru di Cibubur dan Cikarang. Ribuan unit mobil baru tiap tahun hadir siap memenuhi jalanan Jabodetabek bergabung dengan jutaan mobil yang telah ada.
Jadi, tak ada pilihan lain, pemerintah kota dan pusat harus bekerja sama keluar dari ketertinggalan. Jangan terus tergagap. Jika tidak, harapan kemacetan akan terurai pupus sudah.