TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Dua kasus kekerasan seksual terhadap anak oleh orangtuanya, ayah kandung dan ayah tiri, terungkap di Kota Tangerang Selatan, Banten. Rumah dan orangtua yang seharusnya menjadi tempat berlindung yang aman dan nyaman bagi anak-anak justru berbalik menjadi ancaman.
Belum lama ini Kepolisian Resor Tangerang Selatan (Tangsel) mengungkap pemerkosaan dan pencabulan di Pondok Aren, Tangsel, yang dilakukan JS (31), ayah tiri PA (10) dan ROR (7). PA diperkosa, sedangkan ROR dicabuli sejak Februari 2017 yang dilakukan ketika ibu mereka, ES (25), berdagang sayuran.
Kemarin, polisi juga menangkap Nisin (44) di rumahnya di Kelurahan Ciater, Kecamatan Serpong, Tangsel. Nisin dituduh menghamili anak kandungnya, IN (17), sejak lebih dari dua tahun lalu. Akibat perbuatan itu, IN telah melahirkan dua kali.
Kedua pelaku tersebut, kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tangsel Ajun Komisaris Ahmad Alexander Yurikho,
Jumat (21/7), telah ditangkap dan ditahan. Keduanya dijerat dengan ketentuan mengenai persetubuhan anak di bawah umur, seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pada kedua kasus tersebut, tersangka sama-sama mengancam korban untuk tidak memberitahukan perbuatannya kepada
siapa pun. Korban juga tidak kuasa menolak meski selalu merasa ketakutan hingga akhirnya dapat menceritakan hal tersebut kepada orang lain.
Pada kasus JS, PA akhirnya menceritakan pengalaman buruk yang dialaminya kepada ES karena mengalami sakit pada alat kelaminnya. JS yang sempat melarikan diri ke Grobogan, Jawa Tengah, akhirnya ditangkap dan saat ini sudah ditahan.
Demikian juga IN yang akhirnya mau terbuka setelah didekati para tetangga. Ayu (41), yang rumahnya bersebelahan dengan IN, mengatakan, para tetangga mulai curiga sejak tubuh IN membesar. Lalu, pada Selasa (11/7), IN dibawa ke Puskesmas Rawabuntu oleh ayahnya. Kepada tetangga yang bertanya, ayahnya mengatakan bahwa IN mengalami sakit perut.
Rabu pagi, IN sudah kembali ke rumah dan para tetangga berdatangan saat Nisin tidak ada. Hingga Rabu sore, IN akhirnya mau mengaku kalau ia baru saja melahirkan dan ayah dari bayinya tersebut adalah ayahnya sendiri. Setelah itu, para tetangga dan kerabat menunggu kedatangan Nisin dan sempat memukulinya sebelum melaporkan perbuatannya ke polisi.
Tertutup dan pendiam
Ayu menceritakan, jauh sebelum kejadian itu, tetangga sempat curiga pada 2014 akhir. Tidak lama setelah istri Nisin meninggal karena sakit, beberapa bulan kemudian IN dinikahkan secara siri dengan seseorang. Namun, kemudian laki-laki tersebut tak pernah muncul.
Dua bulan kemudian, IN melahirkan seorang anak yang kini masih diasuhnya. Di rumah itu, IN tinggal bersama Nisin, adiknya, dan nenek dari ibunya. ”Kami tidak pernah tahu apa yang terjadi karena IN sangat tertutup. Sangat pendiam,” kata Ayu.
Kalau ditanya, IN nyaris tidak pernah menjawab. Dia juga tidak pernah keluar rumah. Yang keluar rumah untuk belanja sayuran biasanya adiknya. Itu pun jarang sekali.
Saat ibunya meninggal dunia, IN baru saja lulus SD. Sejak mengandung, ia otomatis tidak mendapatkan pendidikan lanjutan. Ia terisolasi di dalam rumah, mendapat perlakuan buruk ayahnya, tetapi tidak berani mengungkapkan hal tersebut kepada siapa pun.
Ketika ditemui di rumahnya, IN hanya diam. Anaknya yang baru saja dilahirkan tidak ada di rumah milik neneknya tersebut. Ayu mengatakan, bayinya sudah diadopsi entah oleh siapa. ”Sudah sehat,” kata IN ketika ditanya kondisinya.
Hancur
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, mengatakan, masih adanya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri menunjukkan bahwa benteng terakhir pertahanan bagi anak, yaitu orangtua, telah hancur. Tidak ada komitmen yang kuat pada orangtua untuk melindungi anak.
”Kesehatan reproduksi mendesak diajarkan kepada anak. Anak juga perlu diajarkan menjaga diri dari ayahnya sekalipun. Ibu, apalagi jika menikah lagi dengan orang lain, harus memiliki fungsi kontrol yang baik,” ujar Rita.
Dalam kasus kekerasan yang dilakukan orangtuanya sendiri, anak sebagai korban membutuhkan rehabilitasi segera untuk menyembuhkan traumanya. Selain itu, pelaku kejahatan seksual, apalagi orangtua, harus dihukum maksimal.
Orangtua, termasuk ayah tiri, seharusnya mendapat pemberatan hukuman. Masalahnya, kata Rita, sejauh ini pemberatan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak ini belum berjalan. (UTI)